Aku mengguyur diriku di bawah shower sambil memikirkan semua kembali. Rasanya ini lebih melelahkan dibanding bekerja seharian di kamar operasi dan menunggui ibu-ibu melahirkan. Bahkan lebih melelahkan daripada menangani ibu-ibu yang mengalami cardiac arrest di tengah-tengah operasi caesar!
Inilah alasan kenapa aku memilih bekerja seperti orang gila daripada memikirkan perasaan yang tidak karuan dan tak berujung! Semua permainan dengan perasaan ini sungguh melelahkan.. Aku lelah!
Lahirnya Nicky, kepergian Anika, pendidikan spesialisku, membesarkan Nicky, pekerjaanku enam tahun ini... dan sekarang?
Huff...
Jika Leo gila karena Alena tidak bangun-bangun dari komanya, dan Ello gila karena Amara menjauhinya.... Aku gila karena BERSAMA ANIKA sekarang!
Apa memang lebih baik kalau Anika tidak pernah kembali? Apa lebih baik Anika pergi dan tidak ada lagi di hidupku? Apa lebih baik tidak pernah ada kata kembali lagi? Apa....
Apa lebih baik kalau semua tidak pernah terjadi???
Entah aku menyesali apa... Tapi sesungguhnya aku tidak menyesal menikah dengan Anika. Tidak pernah menyesal! Aku juga tidak menyesal mempunyai Nicky... Dia anugerah bagiku! Aku tidak menyesal. Sama sekali tidak menyesal!
Hanya saja....
Kejadian demi kejadian. Semua ini membuatku seperti berubah gila mendadak! Anika ada di rumah ini dan .... Apa maksud kedatangannya ke sini?! Tidak mungkin dia mau saja dipaksa Amara datang dan ikut saja dari Paris kan???
Harus ada alasan kenapa dia datang!
Aku yakin pasti bukan untuk berbaikan denganku. Nyatanya dia memiliki kekasih! Lalu diriku siapa baginya???
Tentu saja bukan suami lagi, kan?!
Sungguh... Aku lelah!
Aku tahu ini bukan masalah. Tapi ini lebih sulit daripada sebuah masalah. Ini permainan perasaan!
Aku harus bagaimana menyelesaikan semua? Apa dengan mencuci otakku lalu menghilangkan semua memori yang pernah ada?!
Itu mustahil! Tapi aku ingin semua ini berakhir... Aku benci kalau ini harus berlarut-larut. Aku hanya ingin yang terbaik. Yang terbaik bagi kami berdua.
Jika memang harus merasakan sakit, biar aku saja yang menanggungnya. Anika bisa kembali ke Paris dan melanjutkan semua yang telah dia mulai di sana. Dia bisa kembali bekerja sebagai desainer. Dia bisa terus bersenang-senang. Dia masih dua puluh delapan dan dia masih bisa bahagia...
Dia masih bisa.....
Huff...
Dia masih bisa menikah dengan kekasihnya dan punya anak jika dia menginginkannya.
Jika dia bahagia... Aku tidak masalah. Bukankah cinta tidak egois?
Dan aku tidak ingin egois. Aku mencintai Anika dan aku ingin dia bahagia...
Aku tahu.. cintaku ini menyakitkan!
Rasanya kepalaku sudah cukup dingin. Aku pun sudah pasrah dengan semua yang akan terjadi. Untuk apa aku berubah gila kalau nyatanya gila hanya akan mempersulit hidupku? Toh, masih ada Nicky yang menjadi semangatku untuk hidup kan?
Malu sekali sama Leo dan Ello yang sedang menunggu cinta mereka. Aku menasehati mereka panjang lebar karena wanita yang mereka cintai membuat perasaan mereka menggantung, tapi aku sendiri seperti orang gila saat istriku ada di sini. Ck.
Aku keluar dari bilik shower dan mengambil handuk, melilitkan handuk di pinggang lalu keluar dari kamar mandi. Rasanya sedikit lebih baik...
Ello benar. Aku harus semedi di bawah shower. Air dingin yang mengguyur langsung membuat isi kepalaku dingin. Rasanya semakin deras air yang mengguyur, maka akan semakin baik.
Mungkin ada bagusnya kalau aku mengguyur diri di bawah air terjun, setelah itu aku jadi biksu sekalian!
Bodohnya... Pikiran macam apa itu. Kebanyakan disiram air, otakku malah tidak beres karena terlalu dingin! Ck..
Tiba-tiba saja suara petir menyambar keras tanpa aba-aba dari kilat. Kaca-kaca bergetar hebat. Tidak lama kemudian lampu mati dan diakhiri dengan teriakan keras dari arah kamarku.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaa!
ANIKA !!!
Sial, kenapa aku tidak sadar dari tadi hujan besar???! Ini pasti karena air shower yang mengguyurku sama derasnya seperti hujan. Dan kenapa juga aku lupa kalau Anika takut gelap dan ... benci petir!!!
Ck, bagus sekali cuaca. Suasana lagi runyam, dan akan bertambah runyam!
Aku segera berlari ke kamarku. Mengeluarkan ponsel dan dengan cahaya seadanya dari sana, aku mencari-cari Anika. Walau gelap, tapi aku bisa melihat Anika di samping ranjang. Berjongkok dan ketakutan. Menutup telinganya karena petir terus menerus bersahutan tanpa ampun.
Tanpa pikir panjang, aku memeluk Anika dan menenangkannya dari tangisan. Hanya ini yang selalu ku lakukan sejak aku tahu Anika takut pada petir. Memeluknya sampai petir berhenti menyambar dan suasana lebih tenang.
Ah... aku jadi teringat dulu. Saat itu aku dan Anika hanya berdua di rumah. Hujan deras seperti malam ini dan Anika berteriak ketakutan karena mati lampu. Memang bukan pertama kalinya aku menenangkannya karena ketakutannya itu, tapi itu adalah pertama kalinya aku memeluknya karena takut petir setelah status kami resmi menjadi suami-istri. Aku mendekapnya erat dan berusaha menenangkannya agar berhenti menangis.
Enam tahun yang lalu... sudah lama sekali.
Lalu selama enam tahun itu... Apa dia juga pernah ketakutan? Apa di Paris dia juga ketakutan saat petir menyambar? Saat mati lampu??
Apa ada yang menjaganya, mendekapnya, menenangkannya saat itu? Aku ingin tahu... Apa dia merasa nyaman di tempat yang tidak bisa aku jangkau? Karena aku tidak bisa melindunginya selama enam tahun.
Aku mengeratkan pelukanku di saat tangisannya makin keras karena petir yang terus menyambar keras.
Oh God, tolong hentikan cuaca gila ini. Aku mohon jangan biarkan wanita di pelukanku ini terus ketakutan...
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love Her 3 : Nicholas
RomanceTrilogi 'I Love Her' Mengisahkan tiga orang dokter muda, tampan, dan pujaan di rumah sakit. Leonardo, Marcello, dan Nicholas. Mereka tidak mengenal cinta, sampai suatu kali cinta datang menyapa. Mengetuk pintu hati mereka dan meminta ijin untuk mas...