Sang Pengacara "Yakuza"

"Ciburial"

Hening.

Rumah itu sangat nyaman. Terlihat perapian ditengah ruang tamu dan ada tiga kamar tidur dilantai satu rumah itu. Namun udara sangat dingin menusuk tulang. Alex merapatkan sarungnya. Bu Henny nampak memeluk Nindya dan Dian terlihat sedang menyalakan perapian. Ia masih menggigil walau telah menggunakan sweater tebal serta tutup kepala ala pecinta alam.

Mereka memang memutuskan untuk menginap di rumah kakek Dian di kawasan Ciburial yang terletak di Dago atas. Dian menyakinkan semua orang bahwa rumah tua itu bisa memberikan ketenangan dan menyembuhkan semua kepenatan hidup yang mendera.

"Tersembuhkan!" ujar Dian dengan tatapan pasti.

"Lebay" batin Alex.

Tapi ia setuju saja. Ciburial adalah tempat favoritnya saat kuliah dulu. Ia sudah berencana pagi ini akan melakukan napak tilas menyusuri kawasan pegunungan itu. Ia sudah tidak sabar.

Namun sarapan yang sudah tersedia di meja makan itu sangat menggiurkan. Seorang bibi yang menjaga rumah itu terlihat mondar-mandir menghadirkan aneka macam masakan yang membuat air liur menetes. 

Ikan goreng, tahu, tempe, ikan asin dan lalap. Puncak kenikmatan semua  itu adalah sambal terasi yang dihidangkan langsung dari ulekan. Alex pun segera menyerbu.

Sambil makan pikiran Alex teringat dengan cerita Bu Megan tentang budaya Jepang yang sangat menjunjung tinggi estetika. Bahkan sampai urusan seppuku alias ritual bunuh diri ala Jepang. Disana, bunuh diri pun punya banyak arti dan wajib dilaksanakan sesakral mungkin. 

Bahkan, setelah acara bunuh diri itu selesai, ada sebuah upacara teh untuk menunjukan bahwa pelaku seppuku sadar yang telah dilakukannya.