Bagian 9

15 2 0
                                    

Hari itu tiba. Hari dimana semuanya berubah bagi Ipang. Hari dimana ia mulai menabung rindu dan menyimpannya dalam toples. Hari dimana ia mulai merasakan pahitnya tenggelam dalam cinta yang terpendam. Hari dimana kopi dan kreteknya mulai menjadi juru diplomasi bagi perasaannya yang tak menentu. Hari dimana ia jatuh cinta untuk kedua kalinya. Siapa pula yang bisa menghalangi rasa? Seperti gula yang meleleh perlahan dalam cangkir berisi kopi panas. Larut begitu saja bahkan tanpa diaduk sekalipun.

"Bu, aa mau ke rumah Aceng ya." Pagi sekitar jam 8 Ipang meminta izin pada Ibunya yang sedang sibuk memasak untuk makan saudara-saudara dari kampung yang berdagang cimol dikota ini. Setidaknya ada 9 orang yang berasal dari satu kampung. Beberapa adalah sepupunya Ipang sisanya masih saudara Jauh dari satu garis keturunan yang sama. Mereka sudah 4 tahun merantau di kota ini berdagang dengan roda-roda yang hampir sama karna memang datang bersama, membuatnya bersama dan dagang pun produk yang sama. 

Dikampung  tak ada apapun yang bisa mereka kerjakan. Menjadi petani seperti bapak-bapak mereka adalah keengganan yang mereka setting sendiri dalam pikiran mereka. Tadinya mereka biasa makan nasi bungkus dari warteg atau nasi padang. Tapi salah satu dari mereka mengusulkan biar Ibu Ipang yang memasak dan mereka bayar. 

Di kampung budaya makan bersama memang sudah menjadi hal yang biasa, lebih nikmat katanya dan yang pasti bisa nambah nasi sedangkan nasi bungkus tidak bisa. Ibu Ipang setuju saja sebab dengan begitu ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk makan sehari-hari karna bayaran dari para pedagang cimol itu lebih dari cukup untuk membiayai belanjaan sekeluarga.

"gak makan dulu a?" Ibu Ipang segera menoleh menanggapi Ipang.

"Iya pang makan dulu weh, biar bareng mah nikmat." Timpal seorang pedagang yang sedang sibuk mencuci gerobak dagangannya biar terlihat mengkilap. Memang kontrakan mereka tepat di depan kontrakan Ipang. Sudah seperti dikampung satu gang isinya orang sunda semua jadinya.

"nggak ah lama, nanti weh dirumah Aceng bu." Ipang sedikit mengeraskan suaranya menjawab Ibunya sebab di dapur pasti bising dengan suara masak. Belum lagi adik Ipang Jejeh yang sedari pagi berisik dengan mainan mobil-mobilan barunya. Dia terus saja meracau berimajinasi dengan mainannya. "Nanti weh a, belum lapar." Ipang membalas ajakan pedagang itu yang perhatiannya tetap fokus pada gerobaknya yang sudah sangat licin dan mengkilap.

Ipang menyalakan motor berisiknya, memarkirkannya dan lalu menarik gas kuat kuat. Sudah seperti motor jambret atau maling yang sering dilihatnya di sinetron-sinetron.

Tiba dirumah Aceng Ipang sudah tidak canggung lagi. Bahkan dia sudah merasa seperti penghuni rumah besar itu. pagar tinggi rumah itu terbuka sedikit dan memberikan celah untuk motor masuk. Ipang langsung masuk dan mematikan mesin motornya tepat sebelum pintu rumah Aceng. Aceng sudah sangat mengenal suara motor itu. di sekolah hanya Ipang yang punya motor besutan Yamaha RX keluaran tahun 78 itu. suaranya yang khas dan memekakkan telinga sudah menjadi identitas yang melekat pada motor itu. Aceng langsung keluar untuk menyapa Ipang.

"Weh, pagi banget. Ada apa nih?"

"Mau numpang sarapan." Ipang tergelak menjawab pertanyaan Aceng.

Aceng membalasnya dengan tawa terbahak. "kebetulan mama baru selesai masak. Ayo masuk!"

"Nggak Ceng, gue bercanda kali. Tapi boleh juga kalau sudah siap mah." Merasa memang sudah agak lapar dan bair gak jajan nanti Ipang pun menerima tawaran Aceng. Mereka berdua masuk dan menuju ruang keluarga yang dekat dengan dapur.

"wah, ada Ipang. Lempeng tikoro. Sini pang, ikut makan!" Bapa Aceng yang sudah birsila didepan piring dan setumpuk nasi di bakul. Posturnya yang gendut membuatnya agak kesulitan untuk duduk.

"Muhun pak, mangga." Setelah menyalami Bapak Aceng mereka berdua ikut bersila di depan piring dan bakul nasi yang sudah tersaji. Ibu Aceng datang dengan dua mangkuk cah kangkung dan ikan asin. Ini benar-benar menu kesukaan Ipang. Benar kata Bapak Aceng bahwa Ipang "lempeng Tikoro" yang artinya adalah rejekinya bagus. Datang di saat yang tepat. Bapak Aceng yang humoris membuat rumah itu terasa nyaman dan menyenangkan. Tak jarang ia membuat semua orang tertawa dengan candaannya.

Seperti biasa, setelah makan yang paling nikmat adalah menyesap kretek. Ipang mengeluarkan dua batang kretek dari saku kemejanya. Mereka berdua pindah ke teras depan yang jauh dari ruang keluarga. Agar Ibu dan Bapaknya Aceng tidak melihat mereka merokok. Sebenarnya itu hal yang sia-sia saja. 

Mau bagaimanapun sembunyi-sembunyi, bau tembakau dan cengkeh akan melekat dimulut dan di nafas setiap penghisapnya. Tapi setidaknya mereka menghargai tidak merokok tepat didepan kedua orang tuanya. Pun Ipang di rumah tak pernah kelihatan merokok. Setelah makan ia pasti akan ke kontrakan para pedagang cimol itu dan ikut membakar tembakau bersama mereka.

Sambil menyesap kretek dan menghembuskan asapnya Aceng bertanya pada Ipang. "Mau kemana Pang rapi bener?"

Dengan kretek terjepit dijarinya Ipang pun menjawabnya. "Gue mau nganter Lyra ke kota Ceng. Dia mau ke festival Costplay."

"Gila lu Pang mau aja lu nganter-nganter pacar orang."

"Ya, mau gimana lagi. Permintaan Lintang itu juga."

"Ya kan lu bisa nolak Pang. Atau jangan-jangan lu suka sama Lyra?"

Ipang segera menepis pertanyaan konyol Aceng. Bagaimana mungkin dia menyukai Lyra yang merupakan kekasih sahabatnya. Suka mungkin saja tapi tentu perasaan suka sebagai teman. Tak lebih. Ipang pun sadar posisinya. "Nggak lah ngaco, mau dikemanain Avnita?"

"Ya, Avnita tetap jadi penghuni buku biru lu itu lah."

"Udahlah, lagi males bahas itu." Ipang melirik arloji yang dipinjamnya dari salah satu pedagang cimol. Masih ada waktu setengah jam lagi untuk menemui Lyra sesuai dengan janjinya.

"Jam berapa emang mau pergi?"

"Jam 10 Ceng! Nanti pulangnya gue kesini lagi ya, lu gak kemana-mana kan?"

"Lah, gue mau kemana emang?"

"Ya kali aja mau kencan." Ipang tertawa geli.

"Mana ada kampret."

Ya, memang mungkin akan sulit bagi Aceng mencari pacar. Motor tak punya, uang tak ada. Bagaimana dia akan berani mendekati wanita. Memang pada masa ini motor adalah tunggangan wajib jika ingin mudah dapat pacar. Mau motor butut sekalipun asal bisa jalan kesana kemari pasti mudah dapat pacar. Dan itu tak mungkin buat Aceng. Tapi sebenarnya diapun menyadari sekalipun punya motor memang ada gadis yang mau sama dia? Aceng berperawakan tinggi bongsor dengan kulit hitam legam seperti kulit singkong. Sekali pandang orang akan takut dengannya.

Mereka berdua terlarut dengan candu nikotin pada sebatang kretek yang mereka hisap sejak tadi. "Gue berangkat dulu Ceng!" Ipang bergegas mengenakan helmnya dan beranjak mendekati motor kesayangannya.

"Oke deh, hati-hati dengan hati." Jawab Aceng menggoda.

"Sialan lu!"

Lyra dan Toples RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang