"Ceng!" Ipang memanggil sahabatnya itu dengan mata yang sayu. Aceng yang sudah beranjak pun langsung berbalik.
"Kenapa Pang?"
"Buatkan Kopi!" Dengan polos Ipang menjawab memasang wajah cengengesan.
"Kampret kirain apaan. Ya sudah tunggu disini gue beli dulu ke warung."
"Ini Ceng uangnya, sekalian beli kretek." Ipang menyodorkan uang sepuluh ribuan. Pagi ini si anak orang kaya membayarnya dua kali lipat karena setelah sampai buku PR anak itu tertinggal. Jadi mereka kembali kerumah.
"Oke!" Aceng berlalu meninggalkan Ipang yang sedang memetik-metik gitar di kamarnya.
Beberapa menit kemudian Aceng kembali dengan dua cangkir kopi hitam dan beberapa batang kretek. Siang itu mereka berdua pulang lebih cepat karena Pak Yitno yang seharusnya mengajar itu tidak masuk ke kelas karena mengantar anak-anak yang mengikuti lomba perakitan mesin motor teknologi terbaru.
"Mama sama Bapak kemana Ceng?"
"Tadi pagi mereka ke Bandung Pang. Jenguk adek gue yang di pesantren."
"Oh ya, si Aep kelas berapa sekarang?"
"Kelas dua SMP Pang. Gimana kemarin magangnya Pang? Ah untung saja Pak Yitno nggak masuk, kalo ada bisa kena Bogem lu berdua." Memang selama satu minggu beberapa guru menanyakan keberadaan Ipang dan Lintang yang tidak masuk kelas bengkel. Kalau guru umum sih mereka sudah yakin tidak akan ada yang menanyakan. Berbeda dengan guru bengkel. Seperti memang ada kedekatan diantara guru dan murid-murid. Bagaimana tidak, pelajaran biasa paling lama itu 2 jam dikelas. Sedangkan pelajaran bengkel bisa 4-6 jam. Bahkan bisa lebih jika terjadi trouble mesin yang meledak.
Ipang tertawa saat mendengar penjelasan Aceng. "Tenang Ceng, semua sudah diatur."
"Maksud lu?" Aceng mengernyitkan dahi mendengar jawaban Ipang yang begitu kalemnya menghadapi Pak Yitno. Semua anak juga tahu jangan sampai berurusan dengan guru yang satu itu.
"Jadi gini. Ternyata Pak Yitno itu sahabat baik Ibunya Lyra. Dan Ibunya Lira sudah bilang tentang gue dan Lintang. Gue sih dengernya gitu pas kemaren-kemaren nganter Lyra pulang Ibunya bilang sudah aman terkendali."
"Ah gila, enak banget ya." Aceng menyeruput kopinya dan menyulut kretek yang dibelinya ecer.
"Tapi ada yang lebih gawat Ceng!" suara Ipang melesu. Dia menyimpan gitar merah yang sedari tadi dipetik-petik tanpa menghasilkan lagu apapun. Ia mengambil kretek yang dibungkus plastik kecil itu. menyulutnya dengan batang korek api. Mempertahankan nyala api dan menyesapnya dalam-dalam sebelum ia keluarkan asap putih dari hidungnya.
"Apa?" Aceng terlihat antusias. Jemarinya memainkan batang kretek. Sesekali kembali menghisapnya.
Ipang mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang sudah penuh dengan robekan. Sebuah toples kecil dengan tinggi sekitar 15 cm. Didalamnya berisi kertas berwarna-warni yang terlipat-lipat. Ipang menyerahkan toples itu pada Aceng.
"Apa ini Pang?"
"Buka aja!"
Aceng pun segera membuka tutup toples itu dan mengambil sebuah kertas yang bertumpuk didalamnya. Perlahan ia buka lipatan kertas itu. "Gila lu Pang!" Reaksi Aceng saat kertas itu terbuka dan membaca tulisan di kertas itu.
"Gue gak tahu harus gimana Ceng. Hanya itu yang bisa gue lakuin selama ini."
"Sejak kapan?" Aceng menyelidiki. Ipang terdiam mendengar pertanyaan itu. Wajahnya tertunduk lemas.
"Pang! Jawab gue, sejak kapan?" kali ini Aceng bertanya dengan nada yang lebih tinggi.
Perlahan Ipang mengangkat wajahnya. "Sebulan yang lalu Ceng."
"Ah, cari masalah aja lu."
"Ya, mana bisa gue menolak. Tiba-tiba saja rasa itu ada dan semakin hari semakin dekat dengannya semakin menjadi."
"Lu, ah benar-benar keterlaluan lu Pang!" Aceng memasukan kembali kertas itu, menutup toples dan mengembalikannya pada Ipang.
Ipang menceritakan dengan sangat detail kejadi sebulan lalu. Hari dimana ia mulai jatuh hati pada Lyra. Hari dimana kopi yang biasa diseduhnya akan terasa lebih pahit dari biasanya. Hari itu pula Ipang mulai menuliskan nama Lyra dan menyimpannya di dalam Toples. Setiap hari ipang melakukannya.
"Terus ngapain lu bawa-bawa toples itu? kalau si Lintang sampai tahu gimana?"
"Gue baru bawa kali ini kok. Itu juga karna mau gue tunjukin sama lu." Ipang berkilah.
"Buku biru lu mana? Jangan sampai ditulis disana. Lintang pasti bakal buka-buka buku lu suatu saat."
"nggak, gue gak pernah menuliskan tentang Lyra di buku itu. Cuma toples ini yang jadi penjara bagi perasaan gue sama Lyra."
"Avnita gimana?"
"Ceng!" Ipang menatap sahabatnya dengan serius. "Bahkan dimana dia sekarang, bagaimana kabarnya, apaka dia sudah bersama orang lain atau tidak. Gue gak pernah tahu Ceng! Tapi bukan berarti perasaan gue sama dia hilang Ceng. Apa gue salah mencintai dua perempuan diwaktu yang sama? Toh dengan dua-duanya pun gue gak menjalin hubungan apa-apa."
"Salah, karna lu jatuh cinta sama pacar sahabat lu sendiri."
"Tapi kan dia gak tahu Ceng. Hanya lu yang tahu!"
"Suatu saat dia bakal tahu. Yang datang dari hati akan sampai kehati. Meskipun lu gak pernah bilang sekalipun hatinya akan merasakan."
"Ceng!" Ipang menepuk pundak sahabatnya. "Cuma kita yang tahu. Lintang jangan sampai tahu, apalagi Lyra." Ipang sadar perasaannya pada Lyra hanya akan menghancurkan persahabatan yang selama ini mereka bangun. Namun disisi lain Ipang tidak bisa mengabaikan hatinya.
"Lu bisa pegang kata-kata gue Pang! Gue berada di pihak lu."
"Thanks Ceng. Gue janji gak akan pernah mengatakan perasaan gue sama Lyra sampai datang saat yang tepat. Entah berapa lama itu gue akan nunggu kesempatan itu. Untuk sekarang gue hanya bisa menabung rindu buat Lyra dalam toples ini. Dan entah berapa banyak toples lagi akan terus gue isi sampai semua rindu itu bisa membeli temu. Pertemuan hati yang sejak lama merindu."
"Sial, rokok gue sampe abis gak keisep. Konyol lu Pang. Kan gue udah bilang hati-hati sama hati." Aceng meninju pelan lengan Ipang. Mereka pun tertawa bersama. Mereka sadar, mencintai kekasih sahabat sendiri adalah suatu kebodohan. Tapi siapa juga yang bisa menepis kenyataan bahwa hati tak bisa berbohong.
Terlepas dari apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Bagi Ipang, mencintai Lyra dan secangkir kopi yang biasa diseduhnya adalah sama. Sama-sama tentang menikmati pahit yang disengaja. Bagaimanapun juga tak mungkin cintanya terbalas. Siapalah Ipang dibandingkan dengan Lintang yang punya segalanya. Sedang Ipang hanya punya toples yang berisi rindu.
Hari berlalu, bulan berganti, musim berubah. Tapi tidak dengan perasaan Ipang pada dua perempuan yang dicintainya. Satu nama mengisi penuh buku biru yang selalu dibawanya. Satu nama lagi mengisi penuh toples-toples yang berjejer rapi di dinding kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lyra dan Toples Rindu
Romance11 tahun aku menabung rindu, 11 tahun aku menyimpan baik-baik rasa yang begitu hebatnya. 11 tahun aku menunggu keinginan yang tak kunjung menemui takdirnya. Kau tahu, sampai detik ini aku sudah mengumpulkan 76 toples yang kutata baik-baik di dinding...