Sore itu hari diguyur hujan deras bahkan terlalu deras. Air seakan-akan tumpah dari langit. Awan hitam menyelemuti bumi. Petir menyambar-nyambar dengan gemuruhnya yang tak bersahabat dengan telinga. Angin bertiup sangat kencang, menumbangkan beberapa pohon di jalanan yang akarnya sudah tidak bisa menjamah tanah yang penuh dengan cor beton dan jalan.
Beberapa gubuk non permanen di pinggiran jalan sebagai tempat pedagang tanpa izin mencari rejeki luluh lantah atapnya yang hanya dari seng dan asbes tanpa topangan tiang yang kuat berhamburan tersapu angin. Jalanan yang biasa ramai berubah menjadi sepi. Hanya beberapa kendaraan melaju dengan ragu ditengah amukan hujan dan angin.
Lyra duduk di bangku rotan diteras rumahnya. Memandang hujan yang tak kunjung reda. Petir yang menggelegar tak membuatnya takut. "Ah, untunglah Lintang dan Ipang sudah pulang sesaat sebelum hujan mengamuk." Dalam pikirnya. "Semoga mereka baik-baik saja dan sampai dirumah sebelum hujan." Tapi yang membuat Lyra jauh lebih khawatir adalah Ibu dan Ayahnya yang belum pulang. Sedang hari sudah semakin sore. Arloji putih yang kacanya retak menunjukan waktu hampir jam 6. Arloji Itu adalah kado dari Lintang, meski kacanya retak Lyra tetap memakainya. Dia pun tak memperbaikinya.
"Aduh, Mama kemana ya kok belum pulang juga." Lyra sudah berkali-kali mengirimi pesan singkat, tapi tak ada jawaban. Ditelepon pun tidak di angkat. Ia sangat khawatir mengingat Hujan sebegitu mengerikannya sore itu. Sedangkan Ayahnya yang memang selalu pulang lebih malam tidak begitu dikhawatirkannya. Karna dia tahu pasti Ayahnya masih di Kantor.
'Triing'
Suara pesan masuk dari ponsel Lyra yang sedari tadi terus digenggamnya dengan cemas. Dengan sejurus dia membukanya. Nama Lintang yang terpampang dilayar 2.4 Inchinya.
"Sayang aku udah sampe."
Segera jari lentiknya menari diatas tuts yang sudah sangat dikuasainya. "Kehujanan nggak?"
"Sedikit kok, keburu sampe. Aku bersih-bersih dulu ya. Love you :*"
"Love you too honey, jangan lupa makan :*"
Dalam lamunannya mengkhawatirkan Ibunya Lyra teringat Ayu yang pergi ke toko buku sendiri tadi siang. Dalam benaknya "Apa Ayu sudah pulang. Ah dia kenapa nggak punya HP sih, jadi susah dihubungi." Memang tidak semua anak sekolah sudah memegang barang mahal itu. hanya beberapa saja yang beruntung seperti Lyra dan Lintang.
Sayup-sayup suara adzan maghrib yang terhempas angin dan terbiaskan gemuruh hujan membuat Lyra beranjak dari kursi dan masuk ke dalam rumah. Adiknya Faiq tertidur pulas di depan televisi yang dibiarkan menyala. Dia membiarkannya. Meraih remot dan mematikan tv. Lyra berlalu dari ruang tengah menuju kamar mandi. Meski udara sangat dingin tapi badanya sudah lengket gak nyaman. Lyra melepas ikat rambut berwarna merah yang sedari pagi tetap disitu. Mengibas-ngibaskan rambutnya yang lepek lalu masuk ke kamar mandi.
Hujan baru mereda sekitar jam 9 malam itu pun masih menyisakan gerimis panjang. Jalanan benar-benar sepi. Orang-orang enggan keluar lagi sejak sore sepulang jam kerja. Terlebih beberapa yang memaksakan menebas hujan demi segera sampai kerumah dan beristirahat untuk kembali memburu waktu esok hari, mereka sudah terlelap dalam buaian mimpi tanpa ada beban bagaimana hari esok. Pun Lyra sudah tertidur setelah Ibu dan Ayahnya pulang sejam yang lalu. Pesan singkat dari Lintang yang terus membuat Hpnya berbunyi tak membuat tuannya bangun dari mimpi indahnya.
Di sebuah gubuk kontrakan berdinding bilik bambu Ipang sibuk membantu sepupu-sepupunya membuat adonan Cimol untuk dijual esok paginya. Setiap satu kilo adonan yang dibulat-bulatkan menyerupai kelereng Ipang dibayar 3 ribu rupiah. Selepas Isya sampai jam 10 malam setidaknya Ipang bisa mengumpulkan 12-15 ribu hasil menggeleng adonan Cimol. Disimpannya uang itu sebagian dan sebagian lagi untuk membeli beberapa batang kretek untuk esok.
Sementara itu ditempat lain. Disuatu pertigaan jalanan yang cukup sepi. Gerimis masih turun, sisa hujan menggenang di beberapa jalan yang berlubang. Seorang pedagang kopi keliling mengayuh sepedanya yang penuh dengan berenceng-renceng jenis kopi sachet. Kakinya lincah menaik turunkan kayuh sepeda tua yang sudah tidak jelas apa warnanya.
Gerimis kecil tak mengurungkan tekadnya menjemput rejeki untuk keluarga sederhananya. Pedagang kopi keliling itu hendak menuju kawasan Industri yang cukup jauh dari kontrakannya. Ia mengejar waktu istirahat beberapa gudang di kawasan pabrik yang memang tidak memiliki kantin. Para pekerja yang beristirahat biasa berhamburan mendekati pagar pabrik dan memesan kopi dari balik teralis.
Tepat dipertigaan jalan dekat sebuah gudang yang tak terpakai pedagang itu menghentikan laju sepedanya. Ia menyandarkan sepedanya di trotoar jalan. Buru-buru ia lari mendekat kearah gudang tak terpakai itu. dibalik dinding dia membuka resleting celananya. Kepalanya bergidik sedikit setelah tetes terakhir kencingnya.
Belum sempat ia menutup kembali resleting celananya matanya tertuju ke arah dalam gudang yang tak berpintu itu. keadaan dalam gudang memang gelap tapi ada sedikit cahaya yang masuk dari beberapa jendela bagian atas. Cahaya yang berasal dari lampu jalanan.
Pedagang itu melihat ada sesuatu di dalam gudang kosong itu. dia menengok kanan dan kiri memastikan keadaan sekitar. Ragu-ragu ia melangkahkan kaki kedalam. Tapi rasa penasaran mengalahkan keraguannya.
"Anjriit, ada mayat!" Pedagang itu menjerit dan segera berlari keluar berteriak meminta tolong siapapun yang lewat.
Orang-orang yang lewat dan mendengar langsung berhenti. setelah mendapat penjelasan dari pedagang itu mereka berhamburan masuk ke gudang. Dan benarlah, ditemukan tergeletak mayat seorang perempuan yang mengenakan seragam putih abu-abu yang sudah terkoyak di beberapa bagian. Salah seorang yang melihat segera mengambil Hp dari saku celananya dan menghubungi nomor darurat kepolisan.
Kurang dari 10 menit polisi datang dan segera melakukan tindakan dengan memasang cros line. Orang-orang yang datang melihat segera diamankan salah satu polisi untuk menjauh dari tempat kejadian perkara. Polisi lain langsung menyelidiki dan meminta keterangan pada pedagang kopi keliling yang kini statusnya menjadi saksi. Pedagang itu langsung menjelaskan kronologi penemuan mayat perempuan itu.
Tidak jauh dari mayat itu berada tergeletak tas berwarna hijau tosca yang isinya berserakan. Polisi memeriksa isi tas itu, hanya ditemukan beberpa buku tanpa nama dan sebuah novel yang masih dibungkus plastik, tidak ditemukan dompet dan kartu identitas lain. Identitas mayat itu diketahui dari seragam sekolahnya. Dengan segera pihak kepolisian langsung menghubungi sekolah. Setelah kedatangan dari pihak sekolah barulah Identitas korban dikonfirmasi bernama Rahayu Citra Ningsih.
Berdasarkan hasil autopsi dan olah tempat kejadian perkara dikabarkan Ayu meninggal dua jam sebelum mayatnya ditemukan oleh pedagang kopi itu. dari bekas luka lebam disekujur tubuh dan wajahnya diindikasikan ayu melakukan perlawanan. Dari beberapa sidik jari yang ditemukan diperkirakan ada 4 pelaku yang melakukan perkosaan dan pembunuhan itu.
Keesokan harinya sekolah digegerkan dengan berita kematian Ayu. Wali kelas Lyra Pak Agus dengan nada sedih mengumumkannya di kelas. Mendengar kabar itu sontak Lyra terkejut. Badannya terkulai lemas dan masih tidak percaya atas apa yang baru saja di dengarnya. Tak tertahankan lagi Lyra meneteskan airmatanya. Begitupun yang lainnya merasa terguncang. Apalagi Ayu adalah sosok anak yang suppel, baik dan menyenangkan. Semua pasti merasa kehilangan.
Lyra masih berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang didengarnya barusan adalah mimpi. Tapi sia-sia saja itu memang kenyataannya. Pak Agus mengajak semua orang berdo'a untuk Ayu. Semua tenggelam dalam do'a yang khusuk. Begitupun Lyra, terlintas wajah ayu dan kenangannya selama hampir 3 tahun ini. Air matanya semakin menjadi. Luruh tak tertahankan. Dalam kondisi sesegukan Lyra menengadahkan tangannya berdo'a untuk Ayu.
Pak Agus menerangkan bahwa proses pemakaman Ayu akan dilangsungkan hari itu juga. Dia meminta semua anak untuk bersiap menuju rumah duka dan ikut menguburkan. Khusus untuk anak-anak yang sekelas dengan Ayu diberikan dispensasi hari ini. Anak kelas lain cukup mendo'akan Ayu.
Jiwa Lyra begitu terguncang. Batinnya andai saja kemarin dia menemani Ayu ke toko buku mungkin dia bisa mencegah kejadian ini. Kengerian yang dialami Ayu tak bisa Lyra bayangkan. Bagaimana Ayu meronta kesakitan meminta tolong dan bagaimana Ayu meregang nyawa Lyra tak mampu membayangkan seandainya itu juga terjadi padanya. Lyra merasa bersalah atas apa yang terjadi dengan Ayu.
Lyra sangat menyesali dia telah menolak ajakan Ayu. Dia tak menyangka jika kemarin adalah hari terkahir dia berbincang dengan Ayu dan hari terakhir pula ia bertemu teman baiknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lyra dan Toples Rindu
Romance11 tahun aku menabung rindu, 11 tahun aku menyimpan baik-baik rasa yang begitu hebatnya. 11 tahun aku menunggu keinginan yang tak kunjung menemui takdirnya. Kau tahu, sampai detik ini aku sudah mengumpulkan 76 toples yang kutata baik-baik di dinding...