Hari kelulusan. Hari yang paling ditunggu oleh semua anak kelas tiga setelah menjalani serangkaian Ujian yang panjang dan menguras tenaga, pikiran dan tentu saja uang. Sudah menjadi budaya di negeri ini merayakan hari kelulusan dengan mencoret-coret seragam lalu dilanjutkan dengan aksi pawai motor yang tidak jarang menimbulkan kerusuhan.
Apalagi anak STM yang memang terkenal dengan aksi tawuran antar sekolah. Hari itu menjadi ajang unjuk gigi bahwa mereka telah lulus dari sekolah terfavorit dikota ini. Mereka yang melakukan aksi tawuran itu tidak menyadari bahwa tidak ada jaminan untuk kehidupan mendatang sekalipun mereka lulus dari sekolah unggulan. Bahkan dunia melepaskan seragam putih abu jauh lebih berat dibandingkan dari pemalakan yang dilakukan senior atau penataran yang tidak bisa ditolak di base-base tertentu untuk mempersiapkan aksi tawuran. Ada kenyataan yang harus mereka terima baik itu sesuai dengan keinginan atau justru berlawanan dengan cita-cita mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai lulusan sekolah unggulan.
Kali ini mereka tidak hanya bersaing untuk sekedar mendapatkan deretan angka terbaik di buku laporan hasil belajar. Tapi lebih dari itu adalah persaingan dunia kerja yang lebih keras. Jika pertama masuk sekolah dari seribu pendaftar dan hanya dua ratus orang yang diterima maka kali ini dengan keterbatasan lapangan pekerjaan mereka harus mengalahkan lebih banyak orang untuk satu tempat pekerjaan.
Lyra, Ipang dan Lintang tidak begitu terfokus untuk langsung bekerja. Mereka berencana untuk melanjutkan studi. Lintang sendiri memilih Bandung untuk meneruskan studinya tentang Mesin. Lyra memilih Purwokerto dan mengambil studi Fisika. Sedangkan Ipang memilih untuk mengabdikan hidupnya pada Sastra Bahasa. Aceng yang hidup serba kekurangan tentu saja tidak bisa mengikuti jalan yang diambil sahabat-sahabatnya. Dia memilih untuk segera bekerja. Lagipula ijazahnya tertahan sebab tunggakan biaya sekolah bertahun-tahun yang tak pernah dibayarnya. Tuhan menyayanginya, bahkan sebelum kelulusan pun Aceng sudah lolos seleksi dan diterima di salah satu perusahaan manufaktur di kota ini. Surat keterangan lulus lah yang akan memuluskan jalannya untuk menandatangani kontrak kerja.
Ipang pun sebelumnya tidak berniat untuk kuliah, mengingat kedua orang tuanya pun tak akan sanggup membiayai. Tapi dirinya bertekad untuk mandiri dan membiayai semuanya sendiri. Terlebih dia memiliki tabungan yang cukup selama tiga tahun terakhir dia ikut berjualan dan mengerjakan apa saja untuk memenuhi celengannya. Selain menabung uang di celengan ayamnya Ipang juga masih menabung rindu di toples-toplesnya yang kini semakin bertambah banyak.
Uang hasil dari celengan membawanya ke Bandung. Bahkan pada hari kelulusan pun Ipang tak berada di sekolah. Ia fokus untuk mempersiapkan seleksi salah satu perguruan tinggi ternama di kota kembang itu. Ipang dan Lintang berangkat ke Bandung beberapa hari sebelum berita kelulusan. Mereka tinggal di kontrakan salah satu sepupu Ipang yang sudah lebih dulu kuliah di Bandung. Lyra pun berangkat ke Purwokerto sehari setelah kelulusan untuk mengikuti seleksi.
Terkadang memang kenyatan tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. Apa yang dicita-citakan tidak selalu berjalan mulus. Ipang tidak berhasil membawa pulang tiket studinya. 3 kali ia menjalani seleksi di 3 Universitas yang berbeda. Ketiganya gagal membawanya menyelami dunia sastra. Begitupun dengan Lyra, Prestasinya dikelas selama ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan semua siswa di seluruh negeri ini yang mengambil jurusan yang sama dengan Lyra. Kenyataannya jurusan yang diambil Lyra memang selalu banyak peminatnya sementara kursi yang tersedia tidak lebih dari 5% nya. Sementara itu Lintang berhasil mendapatkan tempat di salah satu Universitas Kota Kembang itu.
Menyadari keterbatasannya Ipang tidak mungkin memilih sekolah swasta yang biayanya jauh lebih mahal. Ia tidak akan punya kesempatan. Ia memilih untuk mencoba kembali peruntungannya di tahun depan. Begitupun dengan Lyra, ia tidak mau mengambil sekolah swasta. Dia pun menyerah untuk tahun ini.
Ipang dan Lyra mulai melamar-lamar pekerjaan. Berbekal surat magang yang di dapatnya beberapa bulan lalu berhasil meloloskan mereka di perusahaan besar. Ipang justru kembali bekerja di pabrik yang sama saat magang. Itupun berkat bantuan Ibunya Lyra yang memberikan berbagai informasi mengenai lowongan dan seleksi. Lyra diterima bekerja di sebuah pabrik yang memproduksi komponen-komponen kendaraan. Sedangkan Aceng, dia sudah bekerja dua bulan lebih dulu setelah mendapat surat kelulusan. Kini dia sedang sibuk menabung untuk menebus ijazahnya.
Tuhan selalu mempunyai jalan yang indah untuk para abdiNya. Sekalipun terkadang kita tidak menyadari bahwa jalan itu sudah dipilihkan Tuhan untuk kita. Ipang menjalani kehidupannya dengan bekerja. Meski impiannya adalah untuk menyelami sastra tapi dia berusaha menerima apa yang telah ditakdirkan untuknya. Ia tetap bersyukur atas apa yang telah diberikan Tuhannya selama ini.
Ipang sudah tidak lagi tinggal di gubuk berdinding bilik. Kontrakan yang selama ini menjadi tempat keluarga sederhananya bernaung. Ayahnya berhasil membelis sebuah rumah kecil diujung perbatasan antara Bekasi dan Bogor. Pun dengan para pedagang cimol yang satu persatu mundur dan kembali ke kampung kini bahkan tidak tersisa satu orang pun. Mereka beralih profesi berdagang yang lain di kota lain yang lebih menjanjikan. Beberapa menetap dikampung sebagai pengangguran sejati.
Aceng juga sudah pindah dari rumah besar itu. pemilik rumah itu menjualnya. Jadi orang tua Aceng terpaksa meninggalkannya. Sekarang mereka mengontrak rumah petakan yang tidak jauh dari kawasan pabrik tempat Ipang bekerja. Bapaknya Aceng sekarang berprofesi sebagai penyalur tenaga kerja. Ia bekerjasama dengan sebuah Yayasan Outsourching untuk menjaring tenaga kerja. Tentu saja melamar kerja disitu akan dikenakan biaya yang cukup menguras kantong. Karena bagaimanapun Yayasan itu adalah perusahan.
Sesekali Ipang mengunjunginya jika kebetulan shift mereka sama. Ya, perbedaan shift kerja tentu saja membuat mereka jarang sekali bertemu.
"Bagaimana dengan toples-toples rindu lu itu Pang?"
"Masih berjejer rapi di dinding kamar baru gue Ceng."
Toples itu semakin lama semakin bertambah banyak. Perasaan yang telah lama dipendamnya kini berubah menjadi rindu yang terpenjara toples kaca di dinding kamar Ipang. Terlebih setelah bekerja Ipang tak pernah lagi bertemu dengan Lyra. Begitupun dengan Lintang yang kini berada di Kota Kembang. "Ah, betapa beruntungnya sahabatnya itu" pikir Ipang. Tapi bukan berarti dirinya tidak beruntung. Harapan itu tetap dijaganya sebagaimana ia menjaga buku biru yang penuh dengan nama Avnita dan menjaga toples-toples yang penuh dengan nama Lyra.
Kehidupan baru mereka jalani tanpa meninggalkan mimpi-mimpi mereka. Mimpi Ipang untuk menyelami dunia sastra lebih dalam. Mimpi Lyra untuk mendalami hukum alam. Dan tentu saja mimpi Aceng untuk menebus Ijazahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lyra dan Toples Rindu
Romantik11 tahun aku menabung rindu, 11 tahun aku menyimpan baik-baik rasa yang begitu hebatnya. 11 tahun aku menunggu keinginan yang tak kunjung menemui takdirnya. Kau tahu, sampai detik ini aku sudah mengumpulkan 76 toples yang kutata baik-baik di dinding...