Bagian 14

10 2 0
                                    

"Sudahlah Ra, itu bukan salahmu!"

"Kamu itu nggak ngerti Ipang. Ayu tuh..." Lyra tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Rasa sedih kehilangan teman terbaik dan juga saingan terberatnya memaksa mulut Lyra untuk bungkam. Hanya isak tangis dan air mata yang tak tertahan sebagai bukti bahwa ia benar-benar bersedih. Wajahnya tertunduk pilu. Ia berusaha menyembunyikan airmatanya.

Ipang mendekatinya dengan ragu-ragu ia mengusap lembut kepala Lyra. "Menangislah Ra, jangan kamu tahan." Memang dirinya tak pernah kehilangan teman baik selama hidupnya. Terlebih apa yang terjadi pada Ayu yang sungguh mengerikan. Tapi untuk mengerti apa yang Lyra rasakan Ipang tak harus pernah kehilangan juga. Perasaan yang dalam mampu menyentuh apa yang tengah dirasakan sahabatnya itu. dalam batinnya Ipang berkata "Ah, aku tak sanggup melihatmu seperti ini Ra."

Mereka berdua terdiam di kursi rotan teras rumah Lyra. Tempat biasa mereka bercanda, tertawa, menceritakan kekonyolan-kekonyolan, menceritakan pengalaman hidup, tentang cita-cita dan angan-angan mereka. Kini tempat itu menjadi saksi bahwa Lyra benar-benar sedang terluka. Bahkan pohon jambu di depan yang tak pernah berbuah itu seakan ikut merasakannya.

Perlahan Lyra mengangkat kepalannya, menyeka airmatanya dengan ujung kaos tangan panjang berwarna hijau. Warna kesukaan Ayu. "Terimakasih Ipang, kamu selalu ada saat aku membutuhkan teman."

Ipang hanya membalasnya dengan senyuman. Sore itu Lintang memang tidak bisa kerumah Lyra untuk menghiburnya. Ibunya menyuruh dia lekas pulang. Mendengar hal tentang kematian Ayu, meski tak mengenalnya Ipang dengan segera meluncur kerumah Lyra. Dia merasa Lyra butuh seseorang ada disampingnya. Meskipun dia tahu benar bukan dia yang diharapkan Lyra untuk ada disisinya saat itu.

"Mending ngerujak yuk Ra" ajak Ipang sembari mengeluarkan beberapa buah dari tasnya. Ipang tahu rujak adalah kesukaan Lyra. Meski bukan suatu hal yang mewah tapi rujak mampu membuat mereka bertambah akrab. Saat salah satu merasa kepedasan mereka biasa saling ejek yang berakhir tawa.

"eh gila ya kamu Pang udah kaya mandi." Lyra tertawa terpingkal-pingkal saat melihat wajah Ipang yang penuh dengan keringat efek rujak yang terlalu pedas.

"Iya lah, kamu coel sambalnya sedikit. Aku banyak. Payah ah."

"Aku juga berani kok." Sejurus kemudian Lyra mengambil sepotong mangga muda dan mencolekan sambal sangat banyak. Dengan mulut yang penuh dengan sambal Lyra membuktikan kalo dia sama kuat makan pedas. Sambil mengunyah dia berkata. "Tuh kwaaan akkku kua... okheek." Lyra tersedak.

Ipang tertawa terpingkal-pingkal melihatnya. "Makanya telen dulu baru ngomong."

"Kamu bukannya ambilin minum malah ngejek." Lyra menepuk-nepuk dadanya, menyeringai merasakan cabe yang masuk ke orngga hidungnya. "Panas tau hidung aku ih parah kamu." Dengan segera ia meraih botol minum yang ada di dekat Ipang. Menegaknya seperti orang yang habis marathon.

Ipang hanya terbahak-bahak melihat sahabatnya. Sesekali mulutnya meng-ss-hah kepedasan. "Ye salah sendiri siih."

"kamu mah nggak ada kasihan-kasihannya sama aku." Lyra menonjok pelan lengan Ipang.

"Sakit tahu." Ipang mengaduh dan mengusap-usap lengannya yang baru saja ditonjok.

Sedang asik-asiknya mereka berdua menyantap rujak. Ibunya Lyra datang dengan motor bebek merahnya. Ia mengenakan jaket kulit. Tas dijepitnya di leher motor. Helemnya full face. Dengan anggunnya melepas helm dan mengibaskan rambut panjangnya. Bergaya bak pembalap wanita profesional.

"Wiih, Ibu. Aku sampe terpesona lihatnya." Ipang terkekeh memperhatikan tingkah Ibu Lyra.

Ibu Lyra tertawa melihat wajah Ipang yang melongo. "Ah, Ipang bisa aja." Balasnya sambil menuruni motor bebeknya. "Wah, Asik nih ngerujak."

Lyra dan Toples RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang