"Pang balik sama siapa ntar?"
"Sendiri ceng, kenapa?"
"Gue nebeng ya, sekarang rumah gue pindah."
"Wah serius lu, dimana?
"Selang. Anterin dikit lah ya hahaha"
"hahaha, siap ceng."
"Lu ga jadi ikut kerumah Lyra pang?" timpal Lintang. Melemparkan tas selempangnya ketembok samping Ipang.
"Hahaha, lu pacaran masa ngajakin si Ipang terus Lin?" balas Aceng.
"Gak gitu men, seru aja ngobrol bertiga. Iya gak Pang?"
"Ah gak juga, hahaha" Sanggah Ipang.
"Sialan lu."
"Lu darimana emang Lin?" tanya Ipang.
"Kumpulan Klub Basket. Udah pada sholat belum men?"
"Udah lah daritadi."
"Heh baceng, lu gak ikut Klub Sepak Bola lagi?" tanya Lintang sambil menggulung celananya.
"Males ha, udah sana lu sholat malaikatnya udah mau cabut." Aceng menyapukan handuk kecilnya ke arah kaki Lintang. Sementara Ipang sibuk menatapi lembaran buku keramatnya, buku bersampul biru kain velvet yang pebuh dengan coretan. Lintang melongos dan menuju kamar mandi.
Mushola memang menjadi tempat rebahan terbaik bagi anak-anak STM. Hampir disetiap penjuru berkumpul anak-anak lain dengan berbagai pembahasan dan obrolan-obrolan anak sekolahan. Jeda istirahat dari pelajaran ke 4 cukup lama dan itu biasa dimanfaatkan perkumpulan Klub untuk membahas klub masing-masing atau waktu istirahat bagi mereka yang tidak ikut klub apapun.
"Sebenernya siapa sih Avnita?" Aceng memecah kebisuan yang sejenak terjadi antara Ipang dan dirinya. Ipang melirik aceng tanpa melepaskan fokus pada kertas putih bertuliskan nama AVNITA ditengah-tengahnya.
"kata anak-anak dia cewek imajinasi lu?" Aceng menambahkan. Selama ini memang semua teman sekelas Ipang tahu kebiasaannya menulis puisi dan syair di buku tebal itu. Semua orang menganggap Avnita adalah gadis ciptaan Ipang. Tidak pernah ada foto, tidak pernah ada yang tahu seperti apa rupanya jika itu memang benar-benar gadis nyata. Hanya Ipang yang tahu kenyataannya apakah Avnita itu ada atau sekedar imajinasinya saja.
"Ya, kalau anggapannya begitu. Bener kali" Ipang mengiyakan.
"Gak mungkin lah." Aceng balik tidak percaya.
"Mungkin saja, penyair bisa membuat kata-kata hidup. Gak sulit membuat karakter seorang gadis terlihat hidup dalam tulisannya" Ipang berusaha meyakinkan.
"Gue emang belum pernah baca semua tulisan lu Pang, tapi masa iya lu cinta gadis khayalan? Lu gak gila kan?"
Ipang hanya tersenyum tipis lantas menutup bukunya. Menyimpannya baik-baik dalam Tas kuning pemberian sepupu kesayangannya.
"suatu saat lu bakal tahu ceng gue gila atau tidak!"
"Dia emang sudah gila ceng." Lintang menghampiri dan merebahkan tubuhnya ditengah-tengah antara Aceng dan Ipang. Bahkan teman terdekatnya Ipang menganggap Gadis itu hanya khayalan Ipang saja.
"Lu cepet amat sholat Lin."
"ya gue kan makmum, tanya imamnya noh anak gambar!" Lintang menunjuk seorang yang sedang mengikat tali sepatu di teras mushola.
"Udah ah, gue mau tidur bentaran bangunin kalo udah masuk kelas." Lintang menutup matanya dengan handuk kecilnya.
Memang sudah menjadi kebiasaan anak-anak STM membawa handuk kecil seperti tukang becak. Handuk itu biasa dikaitkan di leher mereka. Handuk itu multifungsi tidak hanya mengelap keringat, tapi dipakai juga untuk mengeringkan tangan usai berjibaku dengan oli dan mesin-mesin mobil. Beberapa mengikatkannya dikepala. Dengan handuk itu dan pakaian wearpack mereka terlihat seperti para montir sungguhan.
_______
"Rumah lu enakeun ceng" setelah memarkirkan tunggangannya Ipang mengedarkan pandangan kesekitar. Rumah aceng sangat luas pagar depannya tinggi dan kokoh. Di halaman depan ada pohon mangga besar yang rindangnya hampir menutupi seluruh pekarangan. Beberapa pojokan tanah berlumut dan lembab tidak terkena matahari. Disampingnya sebuah gedung beratap tinggi dengan tiang-tiang penyangga besar. Ada beberapa mobil tua di ujung bangunan. Sedangkan pintu ruang tamu utama terlihat seperti sudah lama tidak terpakai. Ada pintu lain disamping dengan beberapa pasang sandal di muka. Aceng mempersilahkan Ipang masuk melalui pintu kedua itu.
"Ini bukan rumah gua Pang, bosnya bapak nyuruh nempatin sambil jagain showroom mobil miliknya." Aceng menjelaskan sambil menunjuk ke arah mobil-mobil tua itu.
"Bapak lu kemana ceng?"
"Gatau, pergi kali ama boss nya."
"Emak lu?"
"ada di dalam. Ayo masuk."
Seorang perempuan tua dengan jilbab yang hampir menutupi seluruh tubuhnya keluar dari balik pintu kamar. Wajahnya tertutup kain hitam hanya terlihat matanya dan jidatnya yang penuh keriput disana-sini.
"Siapa de?" Tanya perempuan itu.
"Temen mah, ini Ipang, orang Bandung mah." Aceng memperkenalkan Ipang yang terlihat canggung dengan situasi ini. Biasanya kalau diperkenalkan dengan orang tua mesti salim. Ipang kebingungan harus bagaimana.
"Hehee, salam bu." Akhirnya Ipang hanya terkekeh kecil dan memasang salam di dada.
"Wa'alaikumussalam, sok mangga kalebet." Jawabnya sigap. Tidak terlihat ekspresinya. Tapi Ipang bisa erasakan dari sorot matanya yang ramah. Segera Ibunya menawarkan minum. "Bade ngopi?"
"Mangga bu, nuhun" Jawab Ipang berusaha sopan.
"Ka kamarkeun we mah." Pinta Aceng pada ibunya.
Ruangan berukuran 3x3 meter. Terlihat cukup luas, hanya ada lemari kecil sepinggang di pojok dan kasur lipat yang tergulung disampingnya. Di pojok lainnya bertengger sebuah gitar berwarna merah dengan kabel yang menjuntai berserak. Terminal kuningan yang penuh dengan colokan menambah ruwet kekusutan dikamar itu. Jendela yang tertutup tirai merah membuat suasana terlihat gelap dan mencekam.
"Wuih, Less Paul Ceng?" Ipang tertarik dengan gitar merah itu dan meraihnya. Bergaya seperti curt cobain.
"KW Pang, aslinya mah mahal. Colokin aja kalau mau cobain."
"Anjir, gue gak bisa ngegitar." Ipang menyimpan kembali gitar merah itu dengan hati-hati.
"hahaha, masa pujangga gak bisa main gitar?"
Ipang hanya merungut memasang wajah kesal. "Gue ngantuk" Menyimpan tas kuning nya dan merebahkan tubuhnya diatas tikar anyaman.
"yaudah tiduran dulu aja. gue mandi dulu ya." Aceng melepas seragamnya dan berlalu meninggalkan Ipang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lyra dan Toples Rindu
Romansa11 tahun aku menabung rindu, 11 tahun aku menyimpan baik-baik rasa yang begitu hebatnya. 11 tahun aku menunggu keinginan yang tak kunjung menemui takdirnya. Kau tahu, sampai detik ini aku sudah mengumpulkan 76 toples yang kutata baik-baik di dinding...