Bagian 11

9 2 0
                                    

Hari semakin sore, mereka terlalu asik membaca buku meskipun tak membeli satupun. Usah shalat ashar yang sebenarnya hampir habis mereka pulang. Ipang tak mau mengantarkan Lyra pulang malam-malam. Takut Mamanya khawatir dan tidak percaya lagi padanya.

Lampu jalanan mulai menyala satu persatu. Semua kendaraan menyalakan lampu utamanya. Hari semakin gelap ditambah awan terlihat kelam tanda hari akan hujan. Seandainya meraka berdua adalah sepasang kekasih dan jika hujan turun mungkin moment ini sangat cocok untuk merekam kenangan mereka. Dibalik sayup-sayup suara adzan magrib dari kejauhan yang kalah bising oleh suara kendaran terlebih suara motor Ipang yang berisik hujan turun begitu saja. banyak motor menepi untuk berteduh dan beberapa tetap menerobos.

"Ipang, menepi!" teriak Lyra dari belakang. Tentu saja tanpa dimintapun Ipang akan berhenti. Tak mungkin lah ia membiarkan Lyra basah kuyup. Perjalanan pun masih jauh. Ia menepi didepan ruko kosong yang atapnya sedikit menjorok keluar. Cukup untuk berteduh meski akan tetap terkena tempias. Mereka berdua berteduh disusul sebuah motor yang ikut berhenti. Sepasang kekasih ikut berteduh di ujung atap.

"Kalo lama gimana Ra hujannya?"

"ya tungguin lah, aku gak mau hujan-hujanan. Masih jauh juga perjalanannya."

Ipang melihat Lyra yang kelimis terkena tempias ari hujan. Lyra mengenakan gaun pendek. Betisnya tentu saja terkena cipratan. Ia pun terlihat kedinginan. Dengen segera Ipang melepas jaket Juventusnya dan memakaikannya dipundak Lyra. Tanpa banyak kata Lyra segera meraih dan mendekapnya. Hening sekali, tak ada percakapan diantara mereka berdua. Hanya ada gemuruh hujan yang sedang mendendangkan lagunya. Sesekali suara petir menggelegar. Sepasang kekasih tadi memutuskan untuk menerobos hujan dan kini tinggal Ipang dan Lyra.

Setengah jam berlalu dan hujan masih lebat. Jalanan sedikit tergenang. Mereka masih tidak bicara sedikitpun. Lyra menyandarkan diri pada rolling door ruko yang agak kotor dengan coretan dimana mana dan beberapa bagian catnya terkelupas dan memperlihatkan besi yang dimakan oleh karatnya sendiri. Ipang membuka telapak tangannya dan meraih kucuran ari hujan dari genteng ruko itu. perlahan ia maju tangannya benar-benar basah sesiku. Semakin maju dan akhirnya seluruh tubuhnya tersiram hujan. Lyra buru-buru menarik Ipang. "Ipaaang, sudah gila ya kamu. Basah kuyup kan!"

Ipang tak menanggapinya dan malah menengadahkan wajahnya kelangit membuatnya terbasuh air hujan, tapi dalam hatinya ia berkata "Ya, Ra. Aku sudah gila memang. Mencintaimu saja aku sudah gila. Mencintaimu sama saja dengan meminum kopi yang biasa kuseduh. Sama –sama tentang menikmati kepahitan yang disengaja." Tapi tak pernah ia ucapkan itu pada Lyra.

Lyra terus berusaha menarik Ipang agar kembali ke sisinya. Berteduh. Sia-sia saja Ipang tetap berdiri ditempatnya membiarkan seluruh tubuhnya basah dibawa hujan yang turun menjemput malam. Tanpa sadar Lyra yang berusaha menarik Ipang sudah berada dibawah langit dan ikut basah juga. Keduanya kini bukan lagi berteduh dibawah atap ruko yang pintunya penuh dangan karat itu. keduanya berteduh dibawah langit yang sedang menurunkan anugrahnya bagi bumi.

Lyra mengikuti Ipang menengadahkan wajahnya kelangit. Keduanya hanyut dalam kesyahduan yang hanya dimiliki oleh hujan. Hanya beberapa menit tapi bagi mereka itu semua lebih dari cukup untuk merasakan sensasi kesyahduan hujan. Soal Mamanya yang akan memarahinya karena pulang basah kuyup itu urusan belakangan.

"Ra, kita jalan lagi ya. Sudah kadung basah."

"Kamu sih Pang!" Lyra menonjok pelan tangan Ipang." Dan tertawa kecil.

Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan dibawah hujan yang semakin syahdu mendendangkan lagunya. Entah sampai kapan. Mungkin sampai shift nya habis.

Perasaan Ipang semakin kacau. Diperjalanan pulang dipayungi awan yang terus meneteskan airmatanya Lyra tak lagi berpegangan pada pundak Ipang tapi ia memegang pinggang ipang. Menyandarkan kepalanya di punggung Ipang dan semakin erat memeluk Ipang. Mungkin bagi Lyra itu hal yang biasa sebagai seorang sahabat terlebih ia memang merasa lelah. Setidaknya dibalik punggung Ipang dia tidak terkena air hujan dari depan. Tapi itu hal yang berbeda bagi Ipang. Perasaannya justru semakin dalam. Jantungnya berdegup kencang. Darah terpompa lebih cepat dari piston motornya yang memompa tenaga motor.

Si Buhun menerobos hujan dengan lincahnya. Menebas genangan demi genangan di tepi jalanan. Dingin sudah tak dirasakannya lagi. Semuan terasa hangat bagi Ipang. Sehangat pelukan kekasih sahabatnya itu. 

Lyra dan Toples RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang