🍃Kekhawatiran Zaidan🍃

161 15 0
                                    

Aku sadar, aku egois dan hanya mementingkan diriku sendiri tanpa aku tahu bagaimana perasaan kamu.

***

Setelah aku mengikuti mobil yang di tumpangi oleh Hanin malam itu, aku segera pulang dan saat sampai di rumah perasaanku tak pernah tenang aku takut dia kenapa-napa apalagi dia pergi dengan seorang laki-laki.

Keesokan harinya aku berniat untuk mengunjungi rumahnya, namun saat aku lewat dari sana aku lihat rumah tersebut kosong hanya ada beberapa security dan asisten rumah tangga yang berkeliaran saja.

Saat aku tanya keberadaan Hanin, mereka mengatakan kalau Hanin sedang tidak berada di rumah dan mungkin akan kembali nanti entah itu kapan. Aku berusaha untuk menelponnya namun nomornya selalu berada di luar jangkauan.

Aku mengiriminya banyak pesan agar ia segera menjawab telepon dariku tapi entah kenapa sampai sekarang dia tak kunjung menjawabnya.  Perasaanku semakin kacau dan hancur entah kenapa aku merasa gelisah yang sangat luar biasa.

Aku terus saja menghubungi dirinya tapi hasilnya nihil, tiba-tiba aku mendapat telepon dari kedua orangtuaku yang sekarang sedang melakukan perjalanan bisnis.

"Assalamu'alaikum sayang, bagaimana kabarmu putraku."ucap mamah

"Wa'alaikumsalam aku baik mah, mamah sendiri."ucapku

"Mamah baik-baik saja sayang, mamah ada kabar gembira buat kamu sayang."ucap mamah

"Apa mah,"tanya ku.

"Mamah dan papah akan kembali ke Indonesia kami sudah memutuskan untuk menetap di Jakarta. Rumah di new York akan mamah dan papah berikan ke sepupu mamah yang akan tinggal di sini."jelas mamah

"Tapi kan Zaidan tinggal di apartemen sendiri,"ucap ku.

"Ia kamu akan tetap tinggal di apartemen sedangkan mamah dan papah akan membeli rumah di daerah Bandung."jelas mamah

Aku hanya bisa pasrah dengan keputusan yang telah mamah dan papah ambil. Karena semuanya akan sia-sia jika aku tak mengalah.

Aku menuju balkon kamarku sekarang jam menunjukkan pukul dua dini hari namun mata ku tak kunjung merasakan kantuk aku melihat pemandangan sekitarku yang masih ramai oleh orang-orang yang masih saja melakukan aktivitas mereka di malam hari.

Aku mencoba lagi menghubungi Hanin dan tepat saat itu juga nomor ponsel Hanin aktif aku pun menunggu dirinya mengangkat telpon dariku.

"Assalamualaikum,"ucapku saat Hanin mengangkat telpon ku

"Wa'alaikumsalam."jawabnya.

"Lo kemana aja sih nin, dari kemarin gue telepon tapi gak lo angkat."bawel ku.

"Maaf aku lagi pulang ke rumah, sehabis party itu aku langsung di jemput sama abang aku dan langsung balik ke Cirebon."jelas Hanin.

"Apa lo ada di Cirebon sekarang,"ucapku.

"Iya, kan rumah orangtuaku ada di Cirebon dan."ucapnya.

"Aku susul kamu yah besok sekarang kamu siap-siap aja."ucapku tapi langsung terputus oleh suara Hanin.

"Maksud kamu apa dan, aku di sini di rumah orangtuaku. Kamu gak bisa seenaknya ngatur aku, aku juga punya keluarga dan."ucap Hanin ia langsung mematikan telepon dariku, aku mengacak rambutku dan menggeram frustasi aku seharusnya tidak melakukan hal bodoh seperti itu.

Aku mencoba menghubungi nomor itu lagi namun hasilnya nihil nomor itu kembali di non aktifkan oleh Hanin.

Aku menuju tempat tidurku lalu memejamkan mataku secara terpaksa sikap posesif pada diriku untuk Hanin memang sering membuat gadis itu merasa tak nyaman aku takut Hanin akan menjauh suatu saat nanti.

***

Sinar matahari mulai mengganggu tidurku, aku pun perlahan membuka mataku dan melihat ke arah jam dinding yang berada di depan sana. Jam menunjuknya pukul 10:00 pagi aku pun bangun dari tempat tidurku dan menuju dapur seperti biasa aku akan menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri walaupun banyak asisten yang menjagaku tapi aku tetaplah menginginkan untuk mandiri.

Aku mulai berkutat dengan masakan yang sedang aku kerjakan setelah selesai aku segera menaruhnya di atas meja dan menuju ke kamar mandi untuk mambersihkan diri.

Kegiatan pagiku tak pernah spesial selalu saja seperti ini dari kecil kedua orangtuaku terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka hingga mau tak mau aku harus bisa mandiri.

Ilmu agama yang di tanamkan pada diriku hanya sekedar saja dan memang keluarga dari mamahku juga biasa saja.  Aku tak pernah mengenal siapa orang tua kandung dari papahku karena yang aku tahu papah adalah anak satu-satunya dan entahlah aku tak tahu di mana keberadaan kedua orang tua papahku.

Aku tak perduli hal itu. Aku melangkah menuju lapangan basket di taman dekat dengan apartemen yang aku tepati, di sana sudah ada Fawwas yang mengajakku untuk bermain basket.

Sesampainya aku di sana,  Fawwas sedang duduk bersama dengan Jinan salah satu adek kelas yang masuk ke jejeran para siswi most wanted sekolah, aku mendengus kesal karena ini untuk kesekian kalinya aku melihatnya bersama dengan wanita yang berbeda beda.

"Siapa ini Was?."tanyaku saat sampai di hadapan Fawwas, Fawwas menggerlingkan matanya dan aku tahu apa artinya, aku tersenyum samar dan.

"Kemarin lo jalan sama Dinda, kemarinnya lagi sama Kristy dan sekarang gue liat lo malah jalan sama Jinan sebenernya lo tuh suka sama siapa sih Was."ucapku sambil tersenyum devil. Fawwas mati kutu sedangkan Jinan sedari tadi menahan emosi saat aku menceritakan apa yang terjadi.

"Lo bohongin gue kak, gue gak suka yah! Mulai hari ini kita putus."tegas Jinan lalu bangkit dari tempat duduknya.

"Oke kalau li mau putus gue juga gak perduli."ucap Fawwas sengit. Jinan pergi sambil terus menghentak-hentakan kakinya di tanah aku hanya tersenyum melihat kejadian seperti ini.

Setelah Jinan pergi aku duduk di samping Fawwas, aku hanya terdiam sambil terus melihat ke arah ponsel milikku. Fawwas tahu apa yang aku rasakan kepada sahabat kecilku.

Dia menepuk pundakku mencoba membuatku merasa lebih baik serta menguatkan aku.

"Sampai kapan lo kaya gini dan."ucapnya.

"Entahlah Was, gue kaga tahu. Dia selalu tertutup baik pribadi dan keluarganya bahkan yang aku tahu dia hanyalah seorang gadis penerus perusahan keluarganya."ucap ku.

"Lalu?."tanya Fawwas.

"Aku salah.  Kayanya Was, aku yakin dia bukan hanya sekedar keluarga yang memiliki perusahaan tapi aku yakin ada sesuatu yang besar selain itu namun aku tak tahu apa itu."jelasku.

"Terkadang gue juga heran sama si Hanin, gue lihat si Hanin tuh berasa dia itu seorang santri dan bahkan pembawaan dia itu kalem banget layaknya gadis-gadis Jawa yang anggun dan lembut."ucap Fawwas.

"Dia memang keturunan Jawa, aku juga baru tahu itu saat dia mengangkat telpon ku dan mengatakan kalau dia sedang berada di Cirebon."ucapku.

"Oh,"ucap Fawwas lalu terdiam dan. "What, dia asli Cirebon tapi yang gue tahu keluarga dia orang jakarta."ucap Fawwas lagi.

"Entahlah aku tak tahu itu adalah kebenaran atau kebohongan."ucapku.

Aku dan Fawwas pun memulai permainan basket ini dan seperti biasa banyak anak dari sekolah lain maupun sekolah sendiri yang melihatku bermain di taman ini dan sudah sangat biasa jikalau faoto ku sudah tersebar di media sosial.

After Rain ( Squel Senja Di Pesantren ) EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang