"Jika kamu merasa kamu lebih hebat dari mereka dan menyombongkan dirimu di depan umum serta menjatuhkan mereka yang diam. Maka kamu harus tahu banyak orang yang membenci dirimu dari belakang."
***
Hatiku bergetar kencang, aku tak bisa mendeskripsikan bagaimana diriku saat ini berdiri di hadapan para bu nyai dari berbagai pesantren. Mereka semua akan menyimak hafalan ku sebelum akhirnya aku akan menyandang gelar sebagi seorang Hafidzah.
Aku melihat ke arah pintu masuk di mana berdiri seorang pria yang tak lain adalah Hanif Yasser Syathibi Abang ku. Ku lihat dia membuang muka saat aku menatapnya, entahlah aku sangatlah sedih dia seperti ini harusnya saat ini ia mendukung dan memberiku semangat.
Aku memegang mikrofon yang ada di hadapanku, aku menarik nafas dalam lalu memulai hafalanku. Aku menitihkan air mata saat aku masuk pada ayat pertama entah kenapa hatiku bergetar hebat air mata tak bisa ku bendung lagi.
Aku berhenti menarik nafas, aku coba menguatkan hatiku dan fokus pada hafalanku.
***
"Gus, saya dengar kamu dan Ning sedang bertengkar?"tanya Faris
"Saya pingin, Hanin tinggal di pesantren selama ini Abi dan umi memang membiarkan dia hidup bebas di luaran sana tapi aku gak bisa tenang jika berjauhan dengan dirinya."ucap Gus Hanif.
"Apa yang kamu takutkan Gus, bukankah kamu cerita sama kita kalau dia di sana manut sama kakek dan nenekmu."ucap Nabil.
"Iya, bahkan dia sudah hafal Al-Qur'an sedari dulu hanya saja dia baru di tampilkan di depan umum itu sekarang."ucap Faris.
"Bagaimana pun seorang kakak pasti takut terjadi sesuatu pada adiknya."ucap Gus Hanif.
"Aku dengar dari para santri putri Ning Hanin besok akan kembali ke Jakarta. Apa itu benar?"tanya Nabil.
"Aku dengar pun begitu. Tapi belum ada yang berbicara langsung kepadaku."ucap Gus Hanif.
Mereka sama-sama saling terdiam. Setelah, acara hataman tadi mereka tidak keluar dari kamar mereka karena kelelahan semalaman mereka harus bergadang mendekorasi sekitar pondok pesantren.
Faris perlahan sudah tertidur di atas kasurnya sedangkan Nabil sibuk dengan buku-bukunya. Gus Hanif bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas memakai pakaian lengkap ia berniat akan kembali ke ndalem hatinya sungguh tak tenang memikirkan Hanin.
"Mau kemana Gus?"tanya Nabil.
"Ke ndalem."balas Gus Hanif.
"Oh iya Gus, mau tidur di sini apa di ndalem Gus."ucap Nabil
"Kayanya aku tidur di ndalem jadi kunci aja pintunya."ujar Gus Hanif.
"Oh iya kalau begitu."ucap Nabil.
Gus Hanif keluar dari kamar, dan Nabil pun segera mengunci pintu kamar mereka. Namun belum sampai ke tempat tidurnya suara ketukan pintu terdengar sangat jelas ia pun berjalan gotai ke arah pintu baru saja pintu terbuka Gus Hanif langsung bergegas masuk ke dalam kamar tanpa melihat Nabil yang sedang berdiri di samping pintu.
"Sorry yah jam ana ketinggalan."ujar Gus Hanif.
Tanpa mendengar balasan dari Nabil Gus Hanif pergi hal itu membuat Nabil sedikit kesal dengan sikap Gus Hanif. Nabil pun segera mengunci pintu kamar lagi dan bergegas naik ke tempat tidurnya. Baru beberapa saat ia memejamkan mata ketukan pintu kamar terdengar lagi dan itu membuat Nabil semakin kesal dan bangkit sedikit berlari ke arah pintu namun saat pintu terbuka di depannya ternyata Gus Rafka.
"Hanif, mana?"tanya Rafka.
"Pulang ke ndalem."ucap Nabil.
"Oh,"gumam Rafka yang langsung berjalan perlahan meninggalkan kamar. Nabil membanting pintu kamarnya ia sangat kesal dengan kedua sahabatnya itu.
Nabil mengunci pintu kamarnya namun belum sempat ia melangkah pintu kamarnya kembali di ketok oleh seseorang. Nabil yang memang sudah sangat kesal akhirnya membuka pintu kamar secara kasar dan apa yang terjadi?
"Eh, ustadz abu, apa kabar ustadz."ujar Nabil berbasa-basi.
"Kamu tau kan ini waktunya tidur kenapa tadi kamu banting pintu sesukamu."ucap ustadz abu yang memang terkenal sangat galak dari pengurus lainnya.
"Maaf ustadz."ucap Nabil.
"Ya sudah silahkan kamu tidur, dan ingat jangan buat keributan apapun."ujar ustadz abu, setelah itu langsung berbalik memuju kamarnya. Nabil akhirnya bisa tidur dengan tenang sekarang.
Di sisi lain, Gus Hanif masuk ke dalam kamar Ning Hanin yang terbuka di sana sudah ada beberapa oleh-oleh yang akan di bawa ke Jakarta. Ning Hanin menoleh ke arah Gus Hanif dan langsung berlari memeluk Gus Hanif.
"Abang, maaf yah Hanin udah ngecewain Abang."Gumam Ning Hanin.
"Iya,"balas Gus Hanif.
Gus Hanif pun membantu Hanin membereskan oleh-oleh yang akan dibawanya ke Jakarta, lusa Hanin sudah akan masuk sekolah dan itu menjadi alasan Hanin ingin segera kembali ke Jakarta. Berat rasanya tinggal jauh dari kedua orang tua, tapi ini adalah jalan yang sudah ia ambil saat ini walaupun ia mengeluh akan hal ini pada akhirnya semua telah terjadi dan ini adalah jalannya.
Ning Hanin mengerti betapa kecewanya Gus Hanif terhadapnya tapi disisi lain ia tak bisa menetap di sini, ia sudah sedari kecil tinggal di Jakarta dan dan menetap di sana.
"Nah, gitu dong Abang jangan ngambek Mulu sama kembarannya ini sudah jalan yang di pilih oleh adek kamu tak perlu kamu memaksanya untuk tetap di sini umi sangat mengerti dengannya biarkan dia menuju jalannya."ucap umi.
"Tapi, bukannya Abi sangat menentang umi."jawab Gus Hanif
"Iya abimu memang sangat menentang keputusan adek mu ini, tapi ini sudah menjadi jalannya lama kelamaan nanti juga dia akan ikhlas dengan keadaan ini."jelas umi.
"Umi, ini udah lebih dari tiga sampe empat tahun dan Abi masih bersikap seperti itu pada Hanin."ucap Gus Hanif
"Insya Allah Abi mu ikhlas nak"ujar umi.
Ning Hanin hanya diam saja ia sudah lelah tentang perdebatan ini, ia yang selalu menghindar untuk pulang memang karena hal ini Abinya yang tidak setuju jikalau Ning Hanin ikut dengan keluarga umimya yang di Jakarta.
Takut akan pergaulan bebas ia tak ingin putrinya terjebak pada jalan yang salah, tapi dia Hanin yang punya prinsip kuat tentang agama dan hidupnya walaupun kedua orangtuanya selalu berdebat seperti ini dia berusaha meyakinkan bahwa dia bisa berjalan sendiri.
Ning Hanin yang memang selalu menghindar akan gelar yang dimilikinya, dan juga martabat dari kedua orangtuanya ia selalu menghindar dari hal itu karena hidupnya yang memang ingin terlepas dari bayang-bayang Abi dan uminya.
Batin dan pikirannya sangat lelah bila ia mengingat betapa keputusan yang diambil oleh dirinya hampir membuat keluarga besar dari pihak Abi dan uminya bertengkar tapi dia berusaha terus meyakinkan bahwa dia bukan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Rain ( Squel Senja Di Pesantren ) End
ChickLitPersahabatan yang menjadi cinta namun gagal karena sebuah perjodohan, mengantarkan keduanya terhadap pilihan yang sangat sulit dan memutuskan untuk keduanya saling mengikhlaskan satu sama lain. Cinta mereka tumbuh lewat persahabatan sehingga tak mam...