01: How about?

797 121 79
                                    

And I,
I'm officially missing you

Suara petikan senar terakhir gitar memenuhi seisi kafe, tak lama diikuti oleh tepukan tangan yang meriah. Pria yang sudah beberapa menit berada di atas panggung itu mengangkat benda panjang bersenar yang bertengger di pahanya. Ia menunjukkan senyumannya seraya menundukkan badan terima kasih.

"Selamat menikmati makanannya," ujar pria berkacamata itu lalu turun dari panggung.

Saat turun, Jae merasakan tepukan di pundaknya. Tanpa repot-repot bertanya, ia sudah tahu siapa yang melakukannya. Lyra—teman sekaligus pemilik kafe—sudah berdiri di belakang Jae dengan membawa sebuah nampan yang berisi minuman.

Lyra menunjuk salah satu meja di pojok kafe, mengisyaratkan untuk duduk di sana.

"Thanks for coming," kata Lyra seraya menyodorkan Jae sesuatu sebagai tanda terima kasihnya.

"No problem," balas Jae sambil menyesap minuman pemberian Lyra yang disediakan gratis, bayaran dari live music-nya tadi.

"Mana temanmu? Katanya dia mau datang?" tanya Lyra sembari menegakkan lehernya menatap sekeliling kafe untuk mencari keberadaan teman Jae, walaupun belum tahu wajahnya seperti apa.

Jae melihat jam tangannya. Sudah hampir enam menit berlalu sejak ia bernyanyi tapi temannya itu masih belum datang.

"Dia telat, lagi." Suara helaan nafas keluar bersama dengan decakan lidah.

Lyra mengerutkan bibirnya. Ia sungguh penasaran dengan teman Jae yang satu ini. Setiap kali ia ada waktu, pasti teman Jae—yang wajahnya tak pernah ia lihat—selalu datang terlambat. Kalau pun datang, pasti Lyra sedang ada urusan di luar kafe. Jae bilang temannya ini tampan, Lyra yang senang cuci mata ingin sekali untuk melihatnya. Setampan apa pria itu sampai Jae yang cuek bebek bisa bilang begitu.

"Ly, di mana toiletnya?"

"Di ujung lorong." Lyra menunjuk ke arah persis seperti ucapannya. "Kau sudah beberapa kali ke sini tapi masih tidak ingat letak toiletnya?"

"Sorry. I only remember my schedule." Setelahnya Jae berjalan ke tempat yang ditunjuk.

Selagi Jae pergi, Lyra menangkup wajahnya dengan satu tangan. Ia sudah membayangkan betapa tampannya teman Jae yang satu ini. Tempat kerja Jae terkenal bermuka unggul semua. Mungkin wajahnya seperti aktor dan aktris di televisi yang sering ia tonton? Atau seperti artis media sosial yang sering ke sana kemari di laman media sosialnya?

"Kak Lyra!"

Teriakan dari seseorang membuat lamunan Lyra buyar. Perempuan ini membalikkan badannya dan langsung melihat wajah panik seorang gadis di belakangnya.

"Taeri? Ada apa?"

Taeri, pegawai yang sudah dianggap sebagai adik perempuannya sendiri menatapnya dengan mata bergetar ketakutan dan tangannya saling bertautan.

"I–itu, Kak. Ada yang sedang se–sekarat," gagapnya.

Lyra membelalakkan matanya kaget. "Apa? Sekarat? Siapa?"

Taeri menunjuk kerumunan di bagian depan kasir kafenya. Lyra yang panik setengah mati dengan kata 'sekarat' langsung bergegas berlari ke arah segerombolan orang di bagian pintu masuk kafenya. Lyra menerjang masuk ke kerumunan. Begitu sampai di pusat kerumunan, matanya menangkap seorang pria paruh baya sedang tergeletak lemas di lantai kafenya.

Lyra berjongkok dan melambai-lambaikan tangannya di depan wajah pria paruh baya itu.

"Ahjussi! Ahjussi! Apa bisa mendengarku?"

Days Gone ByTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang