Happy reading ❤
Geri dan James dangdutan di ruang tamu Rama. Tidak peduli dengan tiga orang yang sedang tutup kuping karena suara cempreng mereka. Untung saja kedua orangtua Rama sedang berkunjung ke rumah kakak Rama di Surabaya. Rama punya dua orang kakak perempuan. Keduanya sudah menikah. Jadi jika kedua orang tuanya bepergian hanya ada Rama dan asisten rumah tangganya di rumah. Hari ini, Rama mengajak temannya menginap.
Prabu refleks berhenti membaca ketika James berdiri di sofa sambil goyang pinggul. Kemal hanya geleng-geleng kepala. Dia sudah maklum dengan kelakuan sahabatnya itu. Rama baru datang dari dapur membawa satu kardus cemilan.
Rama duduk di lantai. James lompat dari sofa menghampiri Rama. Lebih tepatnya kardusnya. “Stop dulu, Ger. Kita nambah asupan micin dulu.” James membuka keripik kentang.
Geri mematikan seperangkat alat karokenya. Dia duduk di samping James. “Gue masik ngakak sendiri kalo ingat kelakuan cewek kelas X yang ngerjain lo.” Geri melirik Rama.
Rama menjatuhkan dirinya di sofa panjang. Kaki panjangnya menggantung di ujung sofa. Dia memeluk sebungkus keripik. “Gue lagi butuh ide cemerlang nih buat ngerjain dia. Harga diri gue udah terinjak.”
Kemal berhenti mengunyah. Alis matanya terangkat. “Sejak kapan lo suka ngerjain junior cewek?”
Rama melempar keripiknya ke arah Kemal. “Sejak dia masuk ke sekolah kita.”
Prabu melempar buku bacaannya ke meja. Dia berpindah tempat duduk. Dari sofa tunggal ke lantai. “Udahlah Ram. Enggak baik ngerjain orang. Apalagi cewek. Mereka itu berhati lembut jadi harus disayang.”
Rama melayangkan tinju kecil ke pundak Prabu. “Susah emang punya teman pelindung kaum hawa. Pantes aja banyak yang beper sama lo. Emak-emak sampe balita. Nggak tau aja sifat asli lo gimana.”
Kemal terbahak. Dia setuju dengan Rama. Dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas banyak yang bawa perasaan dengan sifat lembut Prabu. “Eh, tapi lo jangan nyakitin Dira dong, Ram.”
“Lho nggak usah ikut campur,” ujar Rama dengan penuh penekanan.
James menjauh dari ruang tamu. Dia ada urusan mendadak ke toilet. Panggilan alam. Geri menjatuhkan Rama dari sofa panjang. Gantian dia yang tidur. Rama hanya menghela nafas lalu duduk di antara Kemal dan Prabu.
Kemal membuka bungkusan keripik lagi. Pilihannya jatuh pada keripik tempe. “Adira kan calon bini gue. Dia gemesin.” Kemal terkikik. Tidak peduli dengan tatapan mengejek Prabu. “Gue baru inget, Ram. Ada temen gue di IG pengen kenalan sama lo.”
Raut wajah Rama berubah senang. Dia menaik-naikkan alis. “Ajak ketemuan aja. Hari Sabtu. Udah lama ue nggak jalan bareng cewek.”
Kemal memasukkan segenggam kripik ke mulut Rama. “Anjir lo playboy cap kacang tanah.”
Rama membersihkan remahan keripik dari bajunya lalu melirik Prabu sambil tersenyum. “Besok amanin absen gue ya, gue mau bolos. Gue males pelajaran Fisika.”
***Semua siswa kelas X-3 sudah berkumpul di laboratorium Biologi. Mereka semua sudah mengenakan jas praktikum. Setiap siswa membawa seekor kodok di dalam box transparan.
Ketua kelas mengabari Bu Syifa datang terlambat karena ada rapat mendadak di kantor kepala sekolah. Adira sangat senang karena dia tidak suka pelajaran bedah-membedah. Apalagi objeknya kodok.
Dia mengambil tempat duduk di sudut lab bersama Ega. Sedangkan Wiwid dan Ningrum paling depan sambil menceritakan pengalaman mereka menangkap kodok kepada lima cowok.
“Gue denger- denger kalo dicium ntar kodonya jadi pengeran.” Adira mengamati box kodoknya.
Ega menggangguk-angguk. Sebuah ide tiba-tiba muncuk di benaknya. Dia mengeluarkan kodoknya. “Coba deh lo cium.”
“IHHHH JOROK.” Mata Adira terbelalak melihat ada kodok di depan matanya. Refleks, box di tangannya tercampak ke sembarang arah. Tutupnya terbuka. Seekor kodok keluar. Beberapa murid cewek heboh menjauh sedangkan cowok terbahak-bahak menonton tanpa berniat menolong.
Adira sadar kodoknya melarikan diri. Dia menepuk kening sambil berlari ke luar. Sayang kodoknya sudah tidak terlihat. Adira jongkok di depan pintu sambil meringis.
“Adira, sedang apa kamu?”
Adira mendongak. Bu Syifa berdiri dengan tatapan bingung. “Anu… itu.. aduh kodok saya kabur, Buk.” Adira berdiri.
Bu Syifa menghembuskan nafas. Dia tidak marah. “Adira, kamu tahu kodoknya penting?” Adira mengangguk. Bu Syifa tersenyum. “Karena kodok kamu lari, kamu harus cari penggantinya.”
Adira kaget. Dia menggaruk kepalanya. Menemukan kodok di area sekolah tidaklah mudah. “Tapi dimana, Buk?”
“Di taman belakang sekolah.”
***Taman yang dimaksud Bu Syifa lebih tepat disebut rawa-rawa. Banyak rumput- rumput liar. Ada beberapa pohon tua di pinggir. Di dekat tembok ada bangku tua. Kabarnya dulu sebelum pembaharuan gedung, taman belakang ini tertata rapi. Namun sekarang sudah tidak terawat.
Adira melangkah hati-tati. Takut ada duri atau serangga-serangga nakal. Di tengah taman terdapat kubangan cukup lebar. Mungkin itu adalah bekas galian yang sudah tergenang air, lebih tepatnya lumpur. Adira mendekat. Pinggirannya ditumbuhi rumput menjalar. Tak bisa dibayangkan betapa joroknya kubangan itu. Dia mencari-cari keberadaan seekor kodok.“Selain pembangkang ternyata lo tukang bolos juga ya.”
Adira tersentak. Dia pikir dia hanya sendiri. Adira membalikkan badan. Rama berdiri di hadapannya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku. Senyum songongnya membuat Adira mual. “Siapa yang bolos? Lo tuh yang bolos.”
Rama menaikkan alisnya sebelah sehingga Adira semakin kesal. “Emang. Kita berdua ada di sini. Berarti kita sama-sama bolos. Atau jangan-jangan…”
Rama menggantung kalimatnya. Adira melihat sebuah seringai licik. Rama semakin mendekat sehingga jarak mereka semakin kecil. “Jangan-jangan apa?” tanya Adira.
Rama tidak menjawab. Dia menatap Adira tepat di matanya. Adira tiba-tiba dilanda cemas. Sebuah ketakutan muncul, takut jika Rama melakukan hal aneh. Rama melangkah lagi. Refleks Adira mundur.
“Jangan-jangan lo ngariin ini.” Rama menyodorkan kodok ke muka Adira.
“IHHH KODOK,” teriak Adira. Kakinya menginjak sesuatu yang licin di pinggir kubangan besar itu. Dia terpeleset.
Satu, dua, tiga.
Seharusnya Adira sudah tercebur ke lumpur. Tapi sepertinya tidak. Adira merasa seperti sedang melayang. Pelan-pelan ia membuka mata. Ternyata tangannya ditahan Rama. Adira mengebuskan nafas lega. Beberapa menit barusan ternyata dia menahan nafas. Rama tersenyum. Adira berjanji kali ini dia akan mengucapkan terimakasih dengan tulus untuk Rama.
Senyum Rama tiba-tiba berubah menjadi senyum iblis. Ia mengedipkan mata pada Adira. “Kita impas Adira.” Rama melepaskan tangan cewek. Setelah itu ia pergi tanpa sepatah katapun.
“RAMAAAAA!!!!” Adira berteriak dari dalam kubangan. Ternyata lumpurnya mencapai pundaknya.
Adira berusaha keluar namun gagal. Seragamya menyerap lumpur terasa berat. Seluruh sumpah serapah Adira ucahkan untuk Rama. Dia menutup mata menahan air matanya keluar. Saat membuka mata, sebuah tangan terulur de depan Adira. Dia mendongak. Seorang cowok tersenyum ramah.
“Sini gue bantu.”
Adira mengangguk. Dia menerima bantuan cowok itu. Beberapa detik kemudian Adira sudah keluar dari genangan lumpur. “Thanks ya.”
Lai-lagi cowok itu tersenyum. Lesung pipi kecil muncul di pipinya. Dia mengeluarkan sepasang seragam olahraga dari tasnya. “Gue rasa lo butuh ini.” Setelah Adira menerimanya, dia berbalik badan lalu pergi dengan cepat.
Adira menepuk pipinya. Kesadarannya belum benar-benar pulih. “Cowok itu nyata nggak sih cepet banget ngilang. Bukan malaikat kan? Tapi kok serasa di surga ya.” Adira bergumam sendiri.
Jahat ya Rama. Kasian kan Adiramya kecebur. Ya udah deh tunggu aja pembalasan Dira. See on the next chapter
KAMU SEDANG MEMBACA
GAYA TOLAK-MENOLAK [TAMAT]
Teen Fiction[ON GOING] Ibarat magnet, Rama dan Dira itu punya kutup yang sama. Sama-sama Utara atau sama-sama Selatan. Sesuai sifat magnet, kutup yang sama tidak akan pernah bersatu atau disebut 'gaya tolak menolak'. Mereka punya kepala sekeras batu dan hati se...