Happy reading ❤
Penyesalan selalu datang di akhir. Begitulah kata pepetah lama namun memang benar adanya. Kini, Adira telah jauh. Bukan karena terpisah oleh jarak ribuan kilometer. Dia tetap dekat di mata tapi hati sudah membuat jarak. Tak ada yang paling mengecewakan Rama selain senyum Adira untuknya sudah redup. Gadis itu benar-benar memilih pergi.
Rama menjatuhkan dirinya di kasur. Perlahan dia mencoba memejamkan mata. Sudah dua minggu lebih dia tidak bisa tidur dengan nyenyak karena sesak ringan yang dideritanya mulai kambuh. Emosinya sedang tidak stabil menjadi pemicu utamanya. Harusnya Rama tidak diperbolehkan stress tapi kejadian di taman belakang sekolah menjadi pemicunya.
Saat itu dia sudah bersiap menanti kedatangan Adira. Rama sengaja memilih tempat itu karena mereka pernah punya kenangan buruk di sana. Dia juga membawa KFC karena Adira pernah mengerjainya saat MOS dengan mengatakan dia tidak bisa makan nasi bungkus. Rama ingin mengenang masa-masa mereka sering berkelahi yang menjadi awal mereja jatuh cinta.
“Kak Rama,” panggil seseorang.
Rama menoleh dengan senyum paling lebar yang pernah ia tunjukkan. Sayangnya yang datang bukan Adira. “Ega?”
Ega mengangguk kecil. Di sebelahnya ada Ningrum sedang menenteng laptop milik Rama. Cowok itu mendekati kedua adik kelasnya itu. “Didinya mana?”
“Udah pulang tadi,” jawab Ningrum. “Dijemput abangnya.”
Rama merasa ada yang disembunyikan oleh Ningrum. Dia melirik Ega namun gadis itu memilih menundukkan kepalanya. Rama semakin curiga kalau kedua cewek itu pasti berbohong.
“Lo berdua jujur, Didi kemana?”
Ningrum menggeleng. Dia menggigit bibir bawahnya agar tidak salah bicara. Pandangan Rama sangat mengintimidasi. Sorot matanya tajam mengisyaratkan dia sedang tidak main-main.
“Kak,” panggil Ega lirih.
“Sebenarnya tadi,”Ningrum menyenggol bahu Ega “Ga, kita kan udah janji sama Dira.”
Rama menghela nafas karena sedikit kesal dengan tingkah keduanya. “Tolong gue dong, cerita Didi kenapa?”
Ningrum memutar bola mata. Dia sendiri tak kalah marah karena harus terjebak dalam situasi seperti itu. Baru pertama kali dia melihat wajah Rama memelas. Dia jadi tidak tega. “Tadi abis ngeliat file di laptop dia tiba-tiba murung terus pulang sekolah nagis. Pas kita nanya dia minta tolong kita balikin laptop.”
DEG
Nyali Rama seakan menciut. Adira pasti sudah tahu bahwa selama ini Rama menyembunyikan sesuatu. Bagaimana Rama harus menjelaskan pada Adira. Dari mana dia akan bercerita jika dia akan pergi. Dia akan meninggalkan cewek itu di saat mereka mulai saling terjebak dalam satu rasa yang disebut cinta.
“Terus dia bilang gak usah deketin dia lagi, Kak,” timpal Ega.
Rama tidak mengiakan ucapan Ega. Dia berlari menuju pelataran parkir kemudian memacu motornya menuju rumah Adira. Cewek itu tidak ada di rumah. Rama menunggu sampai malam namun dia tidak kunjung muncul. Bahkan hari berikutnya Rama masih mendatangi rumah itu namun hasilnya tetap nihil. Rama tidak menemukan cewek itu.
Ratusan pesan sudah terkirim ke nomor Adira. Tidak ada yang dibalas. Jangankan untuk mendapat balasan, tak ada satu pesan pun yang dibaca. Awalnya masih dua centang. Tiba-tiba pesan berikutnya hanya centang satu dan poto Adira hilang. Apalah Rama sudah diblokir?
Di sekolah Rama terus berusaha mengajak Adira bicara dan masih sama. Cewek itu menghindar. Dia sengaja datang beberapa menit sebelum bel. Ketika istirahat, entah diamana dia bersembunyi, Rama tidak menemukannya. Mereka berdua seperti sedang bermain kucing-kucingan.
Begitulah terus menerus hingga ujian semester tiba. Rama semakin sulit menemukannya karena jadwal ujian kelas XII dan kelas X tidak pernah bertemu. Ketika kelas XII ujian maka kelas X diliburkan. Begitu pula sebaliknya. Hari ini hari pertama libur, Rama langsung mencari ke toko bangunan milik eyangnya. Namun Rama terlambat. Kata Eyang, cewek itu akan menghabiskan waktu liburannya di Solo. Itu berarti tiga minggu kedepan tak ada harapan bertemu dengannya.
***Lari dari kenyataan mungkin terkesan bodoh dan tidak bertanggung jawab. Namun kadang seseorang butuh waktu untuk sendiri. Saat itu, bukannya menghindar dari masalah, namun hati butuh waktu untuk merenungkan apa yang sebenarnya diinginkannya. Apalagi ketika ada yang menyakiti dengan sebuah rahasia maka tak salah jika ada kecewa. Saat itulah Adira butuh berunding dengan diri sendiri. Rama mendekatinya seola-olah memberi harapan ternyata menurut Adira, Rama menyembunyikan hal besar yang seharusnya dia bagikan pada Adira jika dia memang dianggap penting.
Bukannya ingin egois tapi jika Rama memang serius, tak salah untuk menceritakan sesuatu yang bukan hal remeh pada Adira. Andai dia tidak pernah mengatakan dia sayang pada Adira, mungkin dia tidak akan semarah sekarang.
“Kalo dia beneran sayang, kenapa dia gak jujur, Bang?” Adira menyandarkan kepalanya di bahu Vito.
Kedua saudara itu menghabiskan liburan di Solo. Setiap semester keduanya memang disuruh oleh Papa dan Mama tinggal bersama mereka.
Vito mengusap pundak Adira. Dia sudah tahu semua cerita Adira. Ketika adiknya itu pulang sekolah dengan mata sembab, dia langsung memaksa Adira cerita. Dia juga yang mengatakan pada Rama, Adira tidak ada di rumah padahal kenyataannya Adira ada di kamarnya. Selama ujian, Vito jugalah yang menghantar dan jemput Adira ke sekolah. Dia benar-benar memantau adik kesayangannya itu agar tidak ada yang menyakiti.
“Mungkin dia gak mau negliat lo patah hati, Di.”
“Tapi gue jadi gak yakin sama dia, Bang. Dia pernah bilang suka ke gue tapi masalah sebesar itu dia sembunyiin.”
Vito menyeruput jus tomat buatan Mama. “Cara mikir cowok sama cewek kan beda sih, Di.”
Adira mendongak. “Abang belain Rama?”
“Gue gak bela siapa-siapa. Menurut gue, lo perlu denger penjelasan dia. Lari gak akan jadi solusi masalah. Lagian dia ngelakuin itu buat masa depannya, Di. Kalo lo egois berarti lo yang gak beneran sayang.”
Adira tertegun. Dia sayang pada Rama. Bahkan bisa dikatakan Rama adalah cinta pertamanya. Hanya Rama yang mampu meluluhkan hatinya. Namun pada akhirnya Rama akan meninggalkannya. “Jadi gue harus gimana?”
“Ya lo dengerin alasan dia kenapa gak cerita terus kalo pun dia pergi ya lo relain lah. Tapi seharusnya selagi dia masih deket elo, ya kasih support-lah. Katanya cinta tapi kok lari-lari. Cemen lo.”
Adira mengusap air matanya yang jatuh karena terharu dengan rentetan kalimat Vito yang menyejukkan hati. Tak biasanya abangnya itu bisa memberikan motivasi.
“Lo Bang Vito gue kan? Atau lagi kesambet nih?” Adira menepuk pelipis Vito tiga kali lalu dia tertawa.
“Kalo lo ketawa kan cakep kaya gue.”
Adira semakin menjadi-jadi menjitak kepala Vito. “Pede banget nih abang, Didi.”
“Woi, pada ngapain sih bocah?”
Vito dan Adira segera berhenti bergurau karena Sagara baru saja sampai dari Bogor. Dia menenteng platik besar berisikan bolu talas. Vito langsung menyambar bungkusannya.
“Bang sultan pulang! Bagi duit dong, bang. Mau jalan-jalan nih.” Adira sengaja senyum seimut mungkin.
Sagara merogoh sakunya mencari keberadaan dompetnya. “Susah banget sih jadi orang kaya tapi punya dua adik melarat kaya lo berdua.”
Secepat kilat, Vito menarik beberapa lembar uang seratus ribu dari tangan Vito. “Bacot lo. Melarat gini tapi gue ganteng.”
Adira menahan senyum. “Bang Sagara sultan tapi jomblo.”
Vito merangkul Adira lalu berjalan menuju gerbang.
“Woi kaum melarat mau kemana?” tanya Sagara.
Vito melambaikan tangan. “MAU NEMENIN ADIK KITA YANG LAGI GALAU!”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
GAYA TOLAK-MENOLAK [TAMAT]
Teen Fiction[ON GOING] Ibarat magnet, Rama dan Dira itu punya kutup yang sama. Sama-sama Utara atau sama-sama Selatan. Sesuai sifat magnet, kutup yang sama tidak akan pernah bersatu atau disebut 'gaya tolak menolak'. Mereka punya kepala sekeras batu dan hati se...