PART 28

23 10 0
                                    

Happy reading ❤

Seisi rumah dikejutkan dengan pemandangan Adira duduk rapi di meja teras. Dia sudah siap berangkat ke sekolah. Biasanya eyang harus marah-marah terlebih dahulu karena dia tidak pernah bangun tepat waktu. Beda sekali dengan hari ini, masih pagi sekali tetapi dia sudah mengenakan seragam lengkap, sudah menyantap sarapan, dan motornya sudah dipanaskan sendiri. Hari-hari sebelumnya urusan memanaskan motor adalah tugas Vito.

Sebenarnya hanya Adira yang tahu alasan atas dirinya yang mendadak tepat waktu itu. Alasannya sederhana sekali. Semalaman dia tidak bisa tidur. Jadinya saat ayam mulai berkokok, Adira langsung beranjak dari tempat tidur dan bersiap ke sekolah. Tanpa harus berseteru dengan eyang, Adira juga melakukan tugasnya dengan baik. Tugas yang dimaksud adalah membantu eyang memberi makan ayam di halaman belakang rumah.

“Lo kesambet apaan dek?” Vito membawa segelas susu lalu duduk di samping Adira.

“Didi kan lagi proses menjadi pribadi yag lebih baik, Bang.” Didi mencoba terkekeh.

Vito mengusap bibirnya yang terdapat bekas memar baru. Adira tahu abangnya itu pasti berkelahi lagi. Sejak Vito punya cewek dia sering sekali terlibat perkelahian. Cowok itu memang suka sekai adu otot. Bahkan eyang sudah sering menghadap guru BK karena kenakalan abangnya itu. Tapi sebandel apapun Vito di sekolah, dia tetap abang terbaik di rumah.

“Lo lagi galau kan?”

Kening Adira berkerut. “Maksud bang apaan sih?”

“Mata lo hitam tuh, lo pasti nggak tidur.”
Adira terdiam. Di hadapan Vito dia paling tidak bisa bohong. Tatapan Vito selalu saja berhasil mengintimidasi Dira sehingga bibirnya tidak sanggup berkilah.

“Kenapa bisa begadang? Galau kenapa sih? Karena cowok tadi malam atau yang kemarin pernah nganterin kebab?”

Adira melotot karena Vito bisa tahu semua tentangnya. “Abang tau darimana cowok tadi malam?”

Vito mendengus. “Lo pikir gue nggak liat dari balkon kamar eyang. Dia megang-megang tangan lo. Gue pengen banget ngejar dia pake golok. Maju banget tuh anak pake modusin elo.”

“Tapi dia baik sama Didi, Bang.”

Vito memutar bola mata. “Tapi nggak usah pake pegang-pegang adek gue dong.”
Adira tertawa. “Abang aja tuh yang posesif.”

“Jadi siapa yang nyakitin Didi. Si kebab?”
Adira tertawa lagi. “Namanya Rama bukan kebab, bang.”

“Terserah deh namanya siapa. Tapi menurut gue si kebab anaknya baik ya.”
“Lo salah terus deh, Didi nggak tau Rama baiknya dari sisi mana. Udah deh Didi mau berangkat.” Adira berdiri tapi tasnya langsung ditarik oleh Vito. “Kenapa sih, Bang?”

“Gue anterin.”
***

Orang yang paling heboh ketika Adira tiba di sekolah adalah Ega. Cewek rempong itu melihat Adira dihantar oleh Vito. Ega langsung menghampiri kedua kakak beradik itu dan cewek itu langsung senyum selebar mungkin pada Vito. Meski wajah Vito kaku seperti balok bangunan rumah, Ega tidak peduli, dia tetap bersikap selembut mungkin.

“Halo Bang Vito, udah sarapan belum?”
Vito mengangguk lalu bersiap menyalakan motornya.

“Ya udah kalo udah sarapan, Bang Vito hati-hati ya di jalan. Bawa motornya fokus, Bang. Kalo mau bayangin Ega, ntar aja di sekolah.”

Vito mau tak mau tersenyum melihat wajah polos teman adikya itu. “Ntar kalo gue putus ama cewek gue, lo jadi pacar gue ya.”

Ega berteriak histeris sehingga beberapa murid melirik mereka. “Ega doain deh Bang Vito cepat putus.”

Vito menahan senyum lalu menoleh pada Adira yang diam saja menyaksikan kegilaan sahabat dan abangnya itu. “Gue berangkat. Baik-baik di sekolah. Titip calon kakak ipar lo ini ya.”

Adira menggelengkan kepala. “Gini amat ya punya abang sama temen sama- sama nggak waras.”

Ega terus saja tersenyum kemudian dia menggandeng lengan Adira memasuki koridor kelas sepuluh.  Adira sempat melirik ke arah tempat dimana motor Rama biasa terparkir, namun pencariannya tidak membuahkan hasil. Motor trail cowok itu belum kelihatan padahal motor Kemal dan James sudah terparkir manja di tempatnya. Ada sedikit kekecewaan karena cowok itu belum datang.

“Kak Hana gimana?” tanya Ega saat mereka berada di depan kelas X9.
“Tadi malam udah sadar kok.”

Ega mengangguk. “Syukur deh. Kak Hana itu senior idola gue. Cuek tapi manis. Dia juga anggak pernah nindas junior. Cantik lagi.”

Adira merasa sulit sekali menelan salivanya. Seperti ada yang menyayat hatinya saat Ega memuji Hana. Memang benar Hana itu cantik, meski wajahnya jutek tapi dia sangat rendah hati. Di organisasi OSIS, dia yang paling terkenal karena sering sekali memberi ide-ide yang cemerlang. Namanya juga sudah mengaharumkan sekolah karena sudah memenangkan berbagai perlombaan debat. Bahkan dia sudah pasti mewakili debat tingkat nasional yang diadakan di Manado dua bulan lagi. Membayangkan semua itu, Adira yakin Rama pasti sangat sayang pada Hana.

“Lo kok lesu banget sih, Dir?” Ega baru menyadari ada yang beda pada sahabatnya itu. Adira yang dilihatnya bukan Adira yang bawel.

“Gue baik-baik aja.”

Ega menghela nafas. “Lo bohong. Kalo cewek bilang lagi baik-baik aja itu artinya sebaliknya. Lo nggak suka gue jadi kakak ipar lo ya?” canda Ega.

“Sok tau lo. Gue beneran nggak kenapa-kenapa kok. Serius.”

Ega mangut-mangut walaupun dia jelas tidak percaya sepenuhnya. “Itu ada Kak Kemal. Masih pagi gua udah dicarrin aja sama yang ganteng-ganteng.”

“Lo ge-er banget deh.”

“Dira!” pangil Kemal.

Adira dan Ega berhenti. Mereka sudah sampai di depan kelas sehingga Wiwid dan Ningrum langsung keluar ketika menyadari kedatangan kakak kelas tampan.

“Pagi Kak Kemal,” sapa Ega.

“Pagi,” balas Kemal.

“Ada apa nh, Kak?” tanya Ningrum.

Kemal mengangkat paper bag yang ada di tangan kirinya. “Mau ngasih ini buat Dira.”

Mata Wiwid dan Ega langsung berbinar melihat papar bag pink itu. “Masih pagi udah dapet hadiah aja lo, Dir.”

“Buat gue Kak?” Adira memastikan bahwa Kemal tidak salah alamat.

Kemal mengangguk lalu menyerahkan paper bag-nya. “Sebenarnya ini dari Rama tapi nggak sempat dikasih jadinya nitip ke gue.”

Ega paham sepertinya percakapan Kemal dan Dira bersifat serius. Dia menarik tangan Ningrum dan Wiwid pamit masuk ke dalam kelas. Tinggallah Adira dan Kemal berdua.

“Kak, emang Rama kemana? Kenapa harus nitip?”

“Nanti deh kalo ketemu lo tanya sendiri dia kemana. Gue ditugasin ngasih ini doang. Udah ya gue ke kelas dulu. Biasalah PR gue belom selesai.”

Adira membuka paper bag pink pemberian Rama. Mata Adira terbelalak mendapati satu lusin headband aneka warna di dalamnya. “Dia tau gue suka pake headband.”

Aduhhh Dek Dira gimana ya hari harinya tanpa Bang Rama? Bakalan nyaman dan aman nggak ya? Atau malah gegana?

GAYA TOLAK-MENOLAK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang