Happy reading ❤
Hujan deras mengguyur separuh ibokota. Tetes-tetes hujan jatuh keroyokan. Tidak peduli pada seorang gadis yang sudah setengah jam lebih menunggu reda. Adira berdiri di depan UKS, gedung yang berhadapan langsung dengan parkiran roda dua. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri. Terpaan angin yang menyentuh kulitnya membuatnya menggigil. Beberapa murid ikut berteduh di sampingnya, menunggu kesempatan bisa pulang dalam keadaan tetap kering.
“Itu junior gatel bukan sih?”
Sayup-sayup Adira mendengar obrolan beberapa orang gadis tidak jauh darinya. Adira tidak berniat melirik. Mungkin saja orangitu membicarakan orang lain. Tapi dari suaranya, Adira mengenalinya. Suara melengking itu milik Dwi, satu geng Vio.
“Siapa itu namanya, Vi. Adira ya?”
Adira menghela nafas. Akhirnya namanya tersebut. Ingin sekali dia menjambak rambut seniornya itu tapi Adira berusaha untuk mengontrol emosi. Dia tidak ingin ada keributan. Sudah cukup siang ini diramaikan oleh gemersik air hujan.
“Lo tau nggak, Wik. Tadi pagi dia ngebonceng Rama. Caper banget kan?”
Haruskah Adira menghampiri mereka. Adira menghela nafas mencoba menahan diri. Sayangnya kakinya tidak bisa diajak kompromi. Naluri pantang ditindas bergejolak di kepalanya. Dia melangkah mendekati empat orang cewek yang bersandar di sebuah ruangan di samping UKS.
“Gue ada masalah apa sama kalian?” tanya Adira sambil mengamati Vio, Wike, dan Dwi.
Ada satu yang Adira hindari. Senior yang dia juluki sebagai manusia serigala. Cewek itu melipat tangan sambil mengamati tetesan hujan yang turun dari genteng. Dia tidak peduli pada kehadiran Adira. Tatapannya kosong. Matanya redup. Wajahnya pucat.
Vio berdecak. Mata tajamnya menusuk manik mata Adira. “Kita nggak suka lo deket-deket sama anak kelas XII.”
Adira mengacak rambutnya sendiri. Kepalanya selalu berdenyut jika berurusan dengan makhluk berbedak tebal di hadapannya itu. “Woi Jubaedah, emang gue deket sama siapa?”
Wike cewek paling kecil di antara mereka mendorong bahu Adira sehingga punggungnya mengenai tiang koridor. Tidak ada siswa yang melerai. Mencari masalah dengan cewek-cewek itu sama saja mengancam keamanan diri sendiri.
“Lo kira gue nggak liat lo boncengan sama Rama. Dua kali malah,” ujar Wike.
Dwi tertawa sinis. “Dia juga deketin Kemal. Gue aja yang udah tiga tahun mepetin Kemal nggak pernah secaper nih cewek.”
Adira tersenyum. “Ngak nyangka ternyata gue punya fans di sekolah ini. Nggak tau ya, gue pernah jalan sama Kak Kemal. Gimana ya kalo gue gebet Kak Prabu juga?” Adira menaikkan alis lalu menyeringai seperti ekspresi antagonis di film azab. “Atau gue caper ke Kak Geri. Tajir tuh cowok. Eh, Kak James aja kali?”
Emosi Vio memuncak. Dia paling tidak suka ada yang mendekati geng Rama. Tidak ada yang boleh lebih hebat darinya. “Dasar sialan.”
Tangan Vio terangkat. Dia hendak menampar Adira. Adira refleks menutup mata. Tapi tidak ada yang terjadi padahal beberapa detik dia menunggu tamparan Vio mendarat di wajahnya. Vio menoleh ke samping. Adira mebuka mata melihat apa yang terjadi. Tangan Vio ditahan cewek manusia serigala.
“Lo apaan sih, Nin?”
“Hujan udah reda, kita pulang.”
Adira melirik si manusia serigala. Ternyata namanya Nin, entah Nin apa, masih belum jelas. Baru saja cewek itu menolongnya dari Vio. Adira ingin mengucapkan terimakasih tapi wajah judesnya menghempas niat Adira ke dasar jurang.
“Kenapa nggak dihabisin aja sih, Nin?” Wike mengulang pertanyaan Vio.
“Karena Rama nggak akan suka kalo ada yang gangguin nih anak.” Cewek manusia serigala berjalan ke parkiran. Ketiga temannya menghentakkan kaki tapi tetap mengikutinya.
Setelah empat orang itu berlalu, Adira merapikan rambutnya, mengikat model ekor kuda. “Kok bisa sih ada manusia titisan mbak kunti di sekolah ini,” gumam Adira pada dirinya sendiri.
Beberapa murid terkekeh mendengar ocehan Adira. Banyak di antara mereka yang sudah kenal cewek imut itu. Semenjak MOS disusul dengan adegan saling menjatuhkan dengan Rama, Adira mendadak famous.
“Apa lo ngetawain gue? tanya Adira pada seorang anak kelas X.
Adira mengerucutkan bibir pada orang-orang di sampingnya. Dia ingin cepat-cepat pulang. Adira menembus gerimis. Baru saja ingin melangkahkan kaki dari koridor, ada yang manarik ikat rambut Adira yang mirip kabel telepon. Rambut sebahunya tergerai. Adira menoleh ke belakang. Cengiran Rama adalah pemandangan pertama dilihatnya.
“Mau pulang?”
Adira membalikkan badannya sehingga dia berhadapan dengan Rama. Ikat rambutnya sudah bertengger di pergelangan tangan Rama. “Mau gue pulang. Mau gue semedi ke Mahameru. Mau gue berenang di Laut Pasifik. Mau gue nyungsep di segitiga bermuda. Terserah gue. Emang lo siapa gue?”
Rama menaikkan sebelah alisnya. Tindakan kecilnya yang sangat dibenci Adira. “Didi kok marah-marah sih?”
“Jangan panggil gue Didi!”
“Kenapa?” tanya Rama.
Adira melipat tangannya di depan dada. Kepalanya harus mendongak agar bisa melihat si jangkung Rama. “Karena Didi panggilan khusus rang-orang spesial di hidup gue.”
Rama mengacak rambut Adira. Secepat kilat cewek itu mengelak. “Lo anggap dong gue spesial. Biar gue nggak salah manggil nama lo Didi.”
“Lo spesial? Nggak punya kaca ya di rumah? Katanya orang kaya. Lo ngaca deh di cermin besar pinggiran jalan. Atau di kaca spion gue noh. Spesial dari sisi mana sih lo? Lebih spesial nasi goreng.”
Rama pura-pura memegang jantungnya. “Terkejut batin gue. Lo sadis banget. Gue ganteng gini lo suruh ngaca. Si Kemal tuh cocok lo paksa ngaca.”
“Kak Kemal mah udah top markotop. Diliat dari Tugu Pancoran tetap keren. Lah elo, mirip yang suka nongkrong di Ragunan.”
Adira meninggalkan Rama. Dia memilih mendekati motornya. Sudah waktunya pulang. Adira mengelap tempat duduknya. Ternyata Rama mengikutinya. Rama menahan tangan Adira. Wajahnya serius. Adira menarik tangannya lalu manaikkan alisnya sebagai tanda menanyakan maksud Rama.
“Lo serius Kemal lebih oke dari pada gue?”
Adira mengagguk. “Iya.”
Rama menarik nafas. “Gue nggak suka lo muji-muji orang lain. Bahkan Kemal sahabat gue sekalipun, gue nggak suka.” Rama memutar badan lalu pergi.
Adira menggaruk keningnya. “Seharian ini gue nemu manusia aneh terus deh. Gue minta eyang nemenin gue beli semedi ke Bromo kali ya?”
See on the next chapter.
Aku lagi nggak tau ngomong panjang lebar. Soalnya Rama sama Adira berkelahi terus. Pusing aku ngeliat dua anak muridku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAYA TOLAK-MENOLAK [TAMAT]
Teen Fiction[ON GOING] Ibarat magnet, Rama dan Dira itu punya kutup yang sama. Sama-sama Utara atau sama-sama Selatan. Sesuai sifat magnet, kutup yang sama tidak akan pernah bersatu atau disebut 'gaya tolak menolak'. Mereka punya kepala sekeras batu dan hati se...