BAB 20

44 15 33
                                    

Happy reading ❤

Awan hitam menyelimuti pagi ibukota. Adira mendesah di tengah-tengah mengendari motornya. Dia bukan pencinta hujan seperti kebanyakan orang. Bukan penikmat aroma hujan juga seperti di cerita roman. Apalagi hujannya pagi-pagi. Semua kegiatan bisa berantakan. Bukannya romantis tapi malah jadi repot. Jemuran ibu-ibu komplek juga bisa basah terguyur hujan.

Tidak ada gunanya mengeluhkan pagi yang mendung. Tetap saja harus berangkat sekolah. Walapun gelap seolah-olah masih jam enam pagi, sebenarnya jam tangan Adira sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh. Dua puluh menit lagi bel. Bayangan Bu Fatma menghantui kepala Adira. Dia menambah kecepatan motornya.

Jalanan lengang. Mungkin jam sibuk sudah lewat atau bahkan terlambat. Biarlah Adira tidak peduli. Bukankah bagus jika sepi. Adira dijauhkan dari kemacetan. Sebuah pemandangan aneh mengharuskan Adira menghentikan motor. Di bawah pohon nangka besar di pertigaan jalan, Rama duduk santai di atas motornya.
Adira penasaran. Dia mendekati Rama. Bukannya cepat-cepat ke sekolah,cowok itu malah duduk tanpa beban. Tangannya menggenggam cup kopi. Asap kopinya mengepul ke udara. Ternyata bukan hanya kopi, ada roti bakar juga.

Adira membuka helmnya. “Woi Bambang, lo ngapain nongkrong di sini?” Adira kembali melirik jam tangannya. “Udah mau bel, mau hujan juga lho ini.”

Rama meniup kopinya lalu menyeruput  minuman itu. “Cie perhatian.”

Adira memijat kepalanya. Masih pagi tapi kenapa dia harus dipertemukan dengan Rama. Seingatnya tadi malam dia berdoa agar paginya menyenangkan. Tapi pagi ini jauh dari kata senang. Malah yang ada paginya apes.

“Nyesal gue berhenti.”

Rama memasukkan roti bakar ke mulutnya. Tidak ada raut takut maupun cemas di wajahnya. Mana peduli Rama terlambat. Kalau gerbang tutup, dia bisa main game di warnet Mbak Jubaedah. “Motor gue mogok.”

“Ohhh gue duluan deh kalo gitu.”

Adira tidak berniat membantu Rama. Sepengetahuannya tidak ada bengkel motor di daerah itu. Lagipula tidak ada gunanya menambah urusan di pagi hari yang kurang cerah ini. Adira menyalakan mesin motornya.

“Ih beneran macan emang lo. Bantuin gue dong.”

Adira menggelengkan kepalanya. “Minta tolong sama pihak berwajib. Udah ya, gue barangkat. Selamat pagi.”

Rama melempar cup kopinya ke tempat sampah terdekat. Setelahnya, dia turun dari motor. Dia mendekati Adira. Tanpa meminta izin kepada pemiliknya, Rama duduk di atas motor Adira.

Adira menoleh ke belakang. “Eh, apa-apaan lo main nyelonong naik motor gue. Gue nggak mau nolongin elo. Turun cepat!”

Rama memutar kepala Adira kembali menghadap ke depan. Dia tidak mengizinkan cewek itu mengomel. “Jalan!”

“Apa salah dosa gue? Kenapa sih pagi gue harus dirusak sama lo.” Adira memajukan motornya dengan berat hati. “Motor lo gimana?”

Rambut Adira berantakan tertiup angin. Cewek itu tidak sempat memakai helm setelah berdebat dengan Rama. Rama mencium aroma rambut Adira. Wangi permen karet. Adira melihat tingkah Rama dari spion. Dia bergidik melihat Rama mengendus rambutnya.

“Woi, motor lo gimana. Ditanya malah nyium rambut gue.”

“Gue udah telpon supir rumah. Lagian kalo hilang ya tinggal beli baru. Repot banget sih lo. Fokus bawa motor aja.”

Adira menarik nafas dalam-dalam. Belakangan ini kesabarannya benar-benar sedang diuji. Pertemuannya dengan Rama semakin sering. Sambil fokus ke jalan raya, Adira teringat sesuatu sampai-sampai dia rem mendadak. Helm Rama membentur kepalanya. Roda sepeda motornya berdecit.

“Aduh kepala gue.” Adira memijat kepala belakangnya.

Rama mengusap kepala Adira. Benturan helmnya cukup keras. Cewek itu pasti kesakitan. “Lo kenapa ngerem mendadak. Bahaya tau.”

Adira meminggirkan motornya. “Rumah lo ke sekolah nggak perlu lewat jalan tadi kan?”

“Ngomongnya sambil jalan aja deh. Entar telat. Gue sih gampang tinggal bolos. Elo yang repot.”

Adira setuju. Dia kembali menjalankan motornya. “Lo belum jawab pertanyaan gue,” teriak Adira. Mereka harus bicara kuat karena angin kencang. “Lo ngapain lewat dari depan gang yang tadi? Lo nginap di rumah Kak Kemal?”

“Lo mau jawaban jujur atau bohong?”

“Jujur lah ,bego.”

“Gue sengaja lewat situ karena gue tau lo pasti dari jalan itu. Gue kempesin motor gue, terus gue ngopi deh nungguin elo. Semalam kan gue bilang kita bakal ketemu. Sekarang kita boncengan kan.”

Sudah Adira duga. Rama pasti merencanakan sesuatu. Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang tugas Adira cukup bawa motor hati-hati. Mereka memasuki kawasan sekolah. Gerbang masih terbuka lebar. Itu tandanya mereka belum terlambat. Adira tidak menurunkan Rama di gerbang. Biar saja cowok itu ikut ke parkiran. Adira memarkirkan motor di samping motor Pak Arifin. Tempat itu sudah menjadi lapak parkirnya.

“Buruan turunnya, nggak usah sok manis gitu.”

Rama memajukan bibirnya tapi tetap mengikuti perintah Adira. “Bilang apa?”

Adira mendongak. Pasalnya dia sedang menggembok ban motornya. “Maksud lo?”

“Lo kan udah bantuin gue terus lo harus bilang apa?”

Adira menjitak kepala Rama. “Lo yang harus bilang makasih, lutung. Gue ke kelas, PR gue belum beres.”

“Pipipipp calon mantu lewat. Eh, ada calon bini gue.”

Kemal baru saja lewat bersama Prabu dan Geri. Di belakang mereka, ada Hana juga.

Adira terkekeh. “Kak Kemal calon suami gue.” Sejak berteman dengan Kemal, Adira suka menyahuti gombalan cowok itu. Dia sadar Kemal cuma bercanda. Adia tidak pernah menganggapnya serius.

“Apaan sih lo, Mal. Kurang dibelai lo, nyet.” Rama bergabung dengan sahabatnya. Dia langsung merangkul Hana. “Pagi, Hana. Gue anterin ke kelas ya.”

Hana mengangguk. “Dira, kita duluan ya.”

“Oke Kak,” balas Adira.

Hana senior yang baik. Adira menghargai senior yang seperti Hana. Selain cantik dia juga pintar dan berprestasi. Tidak pernah merendahkan junior. Adira cukup ngefans pada wakil ketua OSIS itu.

Prabu tersenyum. Kemal melambaikan tangan. Adira membalas keduanya dengan senyum tipis. Setelah senior-seniornya itu menjauh, Adira sadar Rama pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Dasar si lutung nggak tau diri. Udah gue boncengin malah nyelonong pergi,” gumam Adira.

Uwuuuu modusmu parah, Ram. Awas lo jadi beneran naksir.
See you on the next chapter

GAYA TOLAK-MENOLAK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang