BAB 19

47 16 41
                                    

Happy reading ❤

Rama meneguk air jeruk buatan Adira. Rasanya manis dan segar. Adira mengamatinya dari samping. Tidak ada rasa bersalah di wajah cowok itu karena sudah merepotkannya. Setelah minumannya tandas, Rama merapikan tasnya. Adira menarik nafas lega. Akhirnya cowok menyebalkan itu pulang. Sudah waktunya rebahan di kasur dengan nyaman dan tenang.

"Makasih air putih pake perasan jeruknya. Gue mau balik. Nggak usah kangen gue karena besok lo masih akan ketemu gue yang ganteng ini. Besok juga gue masih keren dan tajir kok."

Adira mengelus dadanya. Dia merapalkan doa di dalam hati agar Rama cepat-cepat angkat kaki tanpa basa-basi lagi. Sebuah mobil sedan memasuki halaman. Eyang pulang lebih cepat dari biasanya. Adira meremas jarinya. Apa yang akan eyang katakan mendapati Rama di rumah.

"Orang tua lo?" Rama mengurungkan niatnya pulang.

"Eyang gue. Baru pulang dari toko. Ortu gue di Solo ngurus toko material yang di sono."

Rama mangut-mangut. Seorang lelaki berumur keluar dari mobil. Walaupun sudah lanjut usia tapi badannya masih tegap. Rambut putihnya tersisir rapi. Rama langsung berdiri. Eyang menatap Rama lekat. Rama tersenyum lalu mengulurkan tangannya.

"Selamat sore, Eyang. Saya Rama, temannya Adira."

Adira terpaku. Rama Adelio, cowok semena-mena sedang berperan jadi anak baik di hadapan eyangnya.

Eyang menjabat tangan Rama. "Kamu temennya Didi. Sudah dibuatkan minum?"

"Sudah Eyang. Oh iya, sebenarnya saya mau sekalian pamit."

"Lain kali kamu mampir lagi ya. Saya suka nama kamu. Saya itu penggemar kisah pewayangan. Makanya Didi nama belakangnya Sinta. Saya suka cerita Rama Sinta."

Rama mengangguk sopan. Eyang dan Rama tampak akrab. Adira hanya mengamati sambil tutup mulut. Andai saja eyangnya tahu aslinya Rama berbanding terbalik dengan Rama di cerita wayang, pasti dia tidak akan seramah itu.

"Pasti eyang. Saya akan mampir lain kali." Rama berkata sambil melirik Adira. Dia tertawa dalam hati karena Adira cemberut. Setelah salim pada eyang, Rama mendekati motornya.

Rama mendorong motornya ke luar gerbang. Dia tidak mau eyang Adira terkejut mendengar suara mesin motornya. Dua minggu lalu, Rama memodif knalpot motor trail itu. Suaranya akan meraung jika mesinnya hidup.

"Lo siapa?" Motor Vito menghentikan Rama.

Rama mengamati Vito. Cowok itu menatapnya tajam. Wajahnya kaku tanpa senyum sama sekali. Rama melihat mata dan hidung cowok itu sangat mirip dengan Adira.

"Gue temennya Adira. Gue nganter dia karena motornya kempis."

Vito mengangguk. Tentu saja dia tahu motor Adira kempis. Dia barus saja menghantar motor itu ke bengkel.

"Bukan lo kan yang ngempesin?"

Rama geleng-geleng. Kalau sempat dia mengaku, Rama yakin cowok di hadapannya itu tidak segan baku hantam. Cowok itu pasti sering berkelahi. Sekarang saja ada bekas memas di sudut bibirnya. Bukan berarti Rama takut, tapi malas saja harus menambah masalah.

"Bukan gue lah. Lo abangnya Dira?"

Vito mengangguk. "Gue Vito." Vito memindai penampilan Rama. "Lo tau nggak siapa yang nyeburin adek gue ke lumpur?"

Rama tersedak. Adira masuk ke lumpur pelakunya hanya satu. Dia sendiri yang melepaskan Adira masuk ke dalam kubangan kotor. Rama tidak mungkin menyerahkan diri. Vito bukan orang ramah.

"Mana gue tau."

"Bantu gue jagain Didi ya."

"Gue?" tanya Rama memastikan.

"Iya."
***

Rama berada dalam mood yang sanagt baik malam ini. Dengan seragam sekolah yang masih melekat di badannya, dia melajukan motornya. Sudah pasti dengan kecepatan tinggi tapi tidak ugal-ugalan. Dia berniat ke rumah James. Keempat sahabatnya sudah berkumpul di sana. Malam ini mereka ada agenda nonton pertandingan Mancherter City vs Chelsea.

"Papa pulang." Rama langsung masuk ke kamar James.

James dan Geri duduk di balkon sambil mendendangkan sebuah lagu dangdut terbaru. Prabu rebahan di kasur sambil membaca meteri ulangan harian besok. Kemal bersandar di meja belajar. Cowok itu tidak belajar. Dia sedang video call dengan seseorang.

"Jam berapa mainnya?" Rama duduk di samping Prabu.

"Jam satu pagi."

Rama meneguk soda. "Masih bisa tidur dong gue."

Prabu meletakkan bukunya. Dia duduk sambil menyandarkan tubuhnya ke sandran tempat tidur. "Lo dari mana aja? Seragam juga belum diganti."

Rama bangkit dari tempat tidur. Dia membongkar lemari James menarik sebuah celana pendek dan baju kaos bertuliskan merk HP. Rama mengganti pakaikannya di balik lemari. Prabu tidak habis pikir dengan kelakuan makhluk berjakun itu. Badan besar, tampang badboy tapi tidak tahu malu ganti baju tidak ke kamar mandi.

"Gue habis dari rumahnya Adira," bisik Rama.

"Udah baikan lo berdua?"

Rama kembali duduk di dekat Prabu. "Gue lagi ditantang sama James. Gue harus buat Adira mengakui gue."

Prabu menepuk pundak Rama. Dia tersenyum penuh arti. Walaupun Rama tidak tahu artinya. "Hati-hati, Ram."

Alis Rama terangkat sebelah. Kebiasaan kecil yang selalu diklakukannya saat bingung. "Hati-hati kenapa?"

"Hati-hati elo yang mengakui dia."

Rama memukul Prabu dengan guling. "Lo tau tipe gue bukan kayak itu cewek. Mantan gue top model semua. Lah si Dira mah jauh."

"Gue ngingetin aja. Pokoknya lo yang hati-hati. Awas jatuh hati. Ditolak terus patah hati." Prabu terbahak lalu meraih bukunya lagi.

Rama terdiam sejenak. Suara Kemal tertawa mengagetkannya. "Kemal telponan sama siapa sih?"

"Gebetan barunya."

"Bukannya dia mepetin Dira?" tanya Rama.

Prabu mendengus. Baru tadi sore Kemal bercerita punya kenalan baru. Cewek lembut dari SMA tetangga. Perihal Kemal mendekati Adira, Prabu yakin mereka hanya berteman. Kemal memang suka gombal tapi Adira juga tidak tipe baperan.

"Kemal kan suka tuh sama Dira. Iya nggak sih?" tanya Rama lagi.

"Elo, Kemal, sama si James kan buaya darat. Kayak nggak kenal Kemal aja deh lo."

Rama melemparkan bantal tepat ke kepala Kemal. Kemal terkejut. Dia langsung mematikan sambungan ponselnya.
"Kenapa lo, njing?"

"Lo beneran nggak sih suka sama Dira?"

Kemal menggulum senyum. "Gue sama dia temenan. Lo sensi banget."

"Lo jangan nyakitin dia ya."

"Nggak mungkin lah Kemal anak Pak Aji nyakitin cewek. Emang kenapa sih?"

"Dia urusan gue."

Prabu menjewer telingan Kemal dan Rama. Dia paling benci mendengar cewek jadi bahan mainan. "Lo berdua nggak ada yang berhak mainin Adira. Gue nggak akan diem kalo lo nyakitin dia. Awas lo, Ram kalo sempat buat dia nangis."

"Iya iya. Rama akan dengerin Bapak."

Rama, dengerin tuh Pak Prabu hati-hati kamu yang jatuh hati. Entah kalo sakit hati jangan sakiti diri sendiri ya. Eh ini apaan sih. Hahahaha. See on the next chapter

GAYA TOLAK-MENOLAK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang