BAB 22

38 16 30
                                    

Happy reading ❤

Ibukota sepertinya mulai dilanda musim penghujan. Pagi mendung, siang hujan deras, dan malam hujan gerimis disertai angin kencang. Rama duduk di balkon kamarnya. Rambut ikalnya tertiup angin. Rama tidak peduli dinginnya malam ini. Pikirannya kacau tidak menentu. Mungkin dia perlu ke dokter atau psikolog. Akhir-akhir ini emosinya tidak stabil. Dia mudah marah. Tiba-tiba bahagia. Mirip anak cewek lagi PMS.

Pikirannya melayang pada kejadian tadi siang. Dia melarang Adira membandingkan dia dengan orang lain. Sejak kapan Rama si super narsir merasa tersinggung jika dirinya dibandingkan dengan cowok lain. Yang paling menyulut emosi Rama, Adira membawa-bawa nama Kemal.

Rama mengacak rambutnya. “Gue kenapa sih sebenarnya?” gumamnya.

Kebetulan malam ini Prabu dan James menginap di rumahnya. Mereka bertiga tergabung dalam satu kelompok tugas Fisika. Jadi, kerja kelompok diadakan di rumah Rama. Tapi hanya judulnya saja yang kerja kelompok. Aslinya, hanya Prabu yang bekerja. Jangan harap James akan membantu. Dia lebih memilih main PUBG di samping Prabu.

Prabu melirik Rama. Dia geleng-geleng melihat Rama merengut sendiri. “Woi kenapa lagi lo?”

Rama melipat tangan. Dia mulai merasakan dinginnya malam ini. “Tadi siang si Dira bandingin gue sama Kemal. Masak gue dibilang mirip monyet sih.”

James tidak sengaja mendengar curahan hati Rama. Dia menyudahi gamesnya dan memilih duduk di samping sohibnya itu.

“Faktanya Kemal emang paling ganteng di antara kita.”

Prabu mengacungkan jempol. “Dan gue punya otak paling encer di antara lo semua.”

Rama tersenyum sinis. “Paling encer tapi tetap aja masuk IPA 7 bareng gue.”

“Kembali ke topik. Gue pikir lo mulai ada rasa Adira,” ujar James sambil menaik-naikkan alis menggoda Rama.
“Enggak lah. Ini itu efek fobia gue kalau ada cewek yang nggak tertarik sama gue,” balas Rama. “Pokonya misi gue harus berhasil. Dia harus tertarik sama gue.”

Prabu merapikan buku-buku Fisika di hadapannya. “Udah lah, Jems susah berurusan sama manusia kalo kepalanya terbuat dari batu granit.”

“Ram, si Dira buat instastory nih.” James mengusap layar ponselnya.

“Lo temenan sama dia di Ig?” tanya Prabu tanpa menoleh pada James.

James mengangguk bangga. “Dira yang follow gue. Si Geri juga difollow. Elo?”

Prabu terkekeh. “Gue juga seminggu yang lalu. Foto-fotonya bagus ya walaupun hitam putih semua.”

Alis Rama terangkat sebelah. Otaknya mencerna omongan James dan Prabu. Adira mengukti semua temannya di IG tapi dirinya tidak. Rama semakin bingung. Benarkan Adira sangat membencinya? Bahkan di dunia maya pun cewek itu tidak mau berteman dengannya.

“Dia buat story apaan?” tanya Rama. Dia mengesampingkan egonya demi menjawab rasanya penasarannya.

James menunjukkan layar ponselnya ke hadapan Rama. Sebuah layar gelap berisi tulisan ‘pengen kebab’.

“Emang cewek jaman sekarang pada aneh. Pengen kebab malah dijaiin story. Tinggal keluar rumah aja bertebaran tuh jualan kebab.” James meletakkan ponselnya.

Rama mengabaikan ocehan James. Kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Diraihnya sebuah hoodie kuning lemon dari lemari lalu dia mengambil kunci motor di meja belajar. Setelahnya, Rama berlari menuruni tangga meninggalkan James dan Prabu kebingungan.
***

Dia dalam sebuah kamar yang didominasi warna abu-abu, seorang gadis menenggelamkan dirinya ke dalam selimut tebal. Udara dingin di luar mengungdang kantuk Adira, padahal jam masih menunjukkan pukul sembilan malam. Sebenarnya di meja belajar buku-bukunya masih berantakan. Tadinya Adira ingin menyelesaikan tugas Pak Arifin yang banyaknya melebih jumlah ikan si Samudra Hindia. Tapi kantuk yang tak terkondisikan mengharuskan Adira berpindah ke tempat tidur. Tapi dia sudah membuat alarm jam sebelas malam ahar bisa melanjutkan PR.

“Nak Didi?” panggil Bik Arum dari balik pintu kamar.

Adira mendengus. Baru saja matanya hendak terpejam ada saja yang mengganggunya. “Iya Bik?”

“Neng dipanggil Nak Vito.”

“Bilangin Didi udah tidur, Bik.” Adira menarik selimut sampai menutupi wajahnya. Dia tidak berniat ke luar kamar. Apalagi urusannya berhubungan dengan Vito, paling disuruh mencatat PR.

Sudah tidak ada suara di luar kamar. Itu tandanya Bik Arum sudah pergi. Adira bisa kembali melanjutkan tidur. Ketenangan Adira tidak berlangsung lama. Pintu kamarnya diketuk lagi.

“Bik, bilang aja Didi udah bobok cantik.”

Pintu kamar Adira terbuka. Wajah dingin Vito menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Bibir Adira komat-kamit karena menyadari dia lupa mengunci pintu. Vito duduk di pinggir tempat tidurnya.

“Masih bocah udah bisa bohong,” cibir Vito.

Adira menendang selimut. “Abang sih ganggu aja. Didi mau tidur.Keluar dari kamar Didi.”

“Di bawah ada temen lo.”

“Siapa? Ningrum?”

Vito geleng-geleng kepala. “Cowok yang pernah nagterin lo.”

Cowok dan pernah menghantarnya pulang. Adira langsung bergidik membayangkan wajah Rama. “Males ah. Bilangin aja gue udah tidur. Atau gue lagi ke luar.”

“Tega banget sih lo jadi bocah. Temen lo itu ke sini naik motor nggak pake jas hujan. Lo tau kan di luar gerimis terus dingin. Lo turun gih.” Vito mendorong Adira ke pingir tempat tidur agar Adira bangun.

Dorongan Vito terlalu keras sehingga Adira terjatuh. Bokongnya yang pertama kali mendarat di lantai. Adira meringis. Vito langsung membantu dia berdiri sebelum adiknya itu marah dan mengadu ke eyang.

“Sori gue nggak sengaja. Udah deh lo turun ke bawah. Temen lo di teras.”

Adira mengangguk. Sesampainya di teras, Adira mendapati Rama duduk di kursi rotan. Rambutnya basah dan hoodienya juga. Adira berdeham, Rama langsung menoleh.

“Eh, Didi. Lo ngapain garuk- garuk bokong? Lo nggak mandi ya?”

Mata Adira melotot. “Lo nggak perlu tau. Ngapain lo ke rumah gue?”

Di meja sudah ada secangkir kopi panas. Itu pasti buatan Bik Arum. Adira tersenyum, dia tidak perlu repot membuatkan minum untuk Rama.

“Gue mau nganterin ini buat lo” Rama meletakkan plastik di atas meja.

Adira penasaran. Dia mengintip bungkusan Rama. Tanpa sadar mulutnya terbuka setelah mengetahui apa yang dibawakan Rama untuknya.

“Lo hujan-hujanan buat nganterin kebab buat gue?”

Rama mengangguk sambil tersenyum.

“Ya ampun. Gue emang lagi pengen ini. Tapi ini negrepotin banget. Makasih ya.”

Rama mengangguk dan tersenyum lagi.

“Lo jangan senyum terus dong. Gue kan jadi…”

“Jadi naksir?” potong Rama.

Adira memukul siku Rama. “Bukan naksir. Gue jadi nggak enak. Lo geer banget. Nggak mungkinlah gue naksir elo. Lo kan musuh gue.”

“Kali aja lo berubah pikiran. Kebabnya udah nyampe ke elo. Gue balik ya.”

“Tapi lo tau dari mana gue pengen kebab?”

Rama menarik ikat rambut Adira. Hari ini ikat rambutnya kabel telepon warna pink. “Lo nggak perlu tau. Kalo nggak keberatan pinjem jaket lo dong. Hoodie gue basah nih.”

Aku nggak ngerti deh sama Rama. Emang sefobia itulah di tolak cewek. Belain belain jadi Rama yang perhatian biar Dira jatuh hati. Ntar anak orang naksir lo mau apa Ram? Cuma PHP? Udah deh ke lau aja kamu nak. Wkwkwwk
See you on the chapter.

GAYA TOLAK-MENOLAK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang