BAB 14

51 17 60
                                    

Happy reading

Pandangan Rama fokus ke jalanan ibukota. Cukup lengang untuk ukuran akhir pekan. Sesekali dia melirik James di sampingnya. Cowok itu menghisap dalam-dalam sebuah benda bernama vape. Asapnya sengaja dibuat mengepul. James duduk bersandar sambil mengabadikan semburat senja dengan ponselnya. James si pencinta sunset. Rama membuka kaca lebar-lebar. Dia punya masalah dengan asap karena dia punya riwayat sesak. Tidak parah tapi tetap saja perlu dicegah. Oleh karena itu senakal- nakalnya Rama, dia tidak pernah menyentuh yang namanya rokok atau vape.

“Menurut lo ganteng gue belum pudar kan?”

James mengecilkan volume MP3. Pertanyaan Rama barusan kurang jelas didengarnya. “Lo nanya apa barusan?”

“Menurut lo gue masih ganteng nggak?”

James memperhatikan wajah Rama. Bekas memar di sudut bibirnya masih jelas. Di dekat alisnya ada sedikit goresan. Katanya tergores garpu saat berkelahi di sekolah tadi siang. Di luar itu semua, muka temannya itu masih seperti biasa. Dilihat dari jarak dekat ataupun jauh tetap keren.

“Lumayan sih tapi tetap aja lebih keren gue sama Kemal.”

Rama memukul pahanya sendiri dengan tangan kirinya. Mulutnya komat- kamit bergumam tapi tidak jelas kedengaran. James melihat ada yang aneh dengan sahabatnya itu. Sejak keluar dari ruangan Bu Fatma, Rama marah-marah tidak jelas. Suka uring-uringan sendiri. Anehnya lagi, hari ini Rama jalan dengan cewek yang dikenalkan Kemal tapi cowok itu bersikeras meminta James ikut. Katanya agar suasananya tidak kaku. James bingung sejak kapan playboy kencan ditemani.

“Lo tau nggak sih, Kemal diboncengin Dira.”

“Masalahnya? Jangan bilang lo cemburu. Gue orang pertama motong tuh telinga lo.”

Rama menghirup udara sore. Angin sepoi-sepoi menerpa kulitnya. Rambut ikalnya terbang tak beraturan. “Gue bingung aja sejak kapan mereka sok akrab gitu. Padahal tipe Kemal kan bodinya berisi depan belakang. Si Dira kan tepos.”

James terbahak. “Lo kayak orang kebakaran jenggot tau nggak sih.”

Rama melayangkan tinjunya ke bahu James. “Tapi emang beneran kan muka gue masih oke?”

James mengangguk. Tingkah Rama semakin aneh. Biasanya juga dia yang jiwa narsisnya luar biasa. Hari ini sudah tiga kali memastikan wajahnya masih tampan atau tidak. “Heboh banget lo. Udah kayak model iklan skincare premium.”

“Kalo gue keren kenapa ya si bocah tengil itu nggak terpesona sama gue?” Rama menatap pantulan dirinya di kaca spion.
“Atau dia sebenarnya naksir berat sama gue tapi malu-malu anjing.”

James geleng-geleng kepala. Dia mengganti MP3 menjadi radio. Seorang penyiar mengoceh mengenai ramalan cuaca. “Anjir lo Ram.Selera cewek kan beda-beda sih. Selama ini cewek langsung dibutakan sama muka lo. Dira beda. Itu anak dibutakan sama tingkah lo.”

“Jangan bilang dia nganggep gue lutung.”

Mereka sampai di kawasan Central Park. Setelah mencari tempat parkir, Rama dan James berjalan beriringan mencari foodcourt tempat pertemuannya dengan cewek kenalan Kemal. Ada yang beda, Rama sama sekali tidak tertarik bertemu dengan siapapun. Suasana hatinya sedang kacau tanpa tahu apa penyebabnya. Itulah sebabnya dia memaksa James ikut. Biar saja nanti dia membiarkan James yang bicara dengan cewek itu.

“Ceweknya yang mana sih?” tanya James. Rama hanya jalan malas-malasan.

James memindai sekeliling restoran Jepang. Lima menit yang lalu cewek itu mengabari dia sudah sampai. Rama ikut-ikutan mengitari pandangannya ke sekeliling restoran. Cukup banyak pengunjung yang keluar masuk. Di meja paling sudut, seorang cewek cantik tengah duduk sendiri. Cewek itu elegan dan modis. Dia mengenakan mini dress putih. Jam tangan branded dan sebuah headband putih di kepalanya. Melihat headbandnya, Rama jadi teringat Adira. Cepat-cepat Rama menggeleng mengusir bayangan si cewek tengil itu.

“Woi, malah diem sih. Yang mana sih. Yang ono?” Dagu James menunjuk seorang nenek.

Rama menjewer James. Dia menarik James mengahampiri cewek di pojokan itu. “Nadia ya?”

Nadia mengangguk. Dia berdiri menjabat tangan Rama dan James bergantian. “Nadia.”

“Gue Rama. Ini temen gue.”

James senyum-senyum tebar pesona. Ternyata cewek itu tinggi. Bahkan tinggi mereka beda tipis. James paling tidak  tahan melihat cewek tinggi. Getaran di dadanya langsung bergejolak. “Hai. Gue James.”

“Sorry ya gue ajak dia.” Rama menunjuk James. Nadia mengangguk. Sepertinya dia punya hobi senyum.

“Oh iya kalian mau pesan apa nih. Gue udah pesan duan. Maaf ya.”

Seorang pelayan menghampiri mereka. Rama dan James membaca buku menu. Kedua cowok itu hanya pura-pura serius. Aslinya, mereka tidak tertarik makan makanan Jepang. Biasanya kalau nongkrong pilihan mereka jatuh pada warung bakso atau resoran Padang.

“Mbak, samain aja deh sama temen saya.” Rama memutuskan memilih pesanan yang sama dengan Nadia. James juga.

“Ternyata kamu lebih cantik ya dari di foto,” ucap Rama setelah pelayan berlalu dari meja mereka.

Nadia tersipu. Semburat rona merah timbul di pipinya. Kelihatan sangat jelas di kulit putihnya. “Gombal deh.”

“Kacang goreng nih gue.” James mengeluarkan ponsel.

“Eh, betewe gue nggak lagi jalan sama cowok orang kan?” Nadia memastikan. Dia tidak mau merusak hubungan orang lain.

“Lo lagi jalan sama dua cowok single and available kok,” jawab James dan Rama serempak.

Nadia tersenyum. Ternyata senyuman cewek itu sangat teduh. Tipe cewek lembut. Rama jadi menyesal tadinya tidak niat pergi. Kalau saja dia tahu Nadia manis, dia tidak akan mengajak James.

“Bagus deh, gue nggak suka loh ya dibohongin.”

Rama mengangguk. Pesanan mereka datang. James langgung menyambar. Nadia menikmati sushinya pelan-pelan. Rama memperhatikan tingkah lakunya. Jiwa penakhluk wanita dalam dirinya sepertinya bangkit lagi setelah beberapa minggu terakhir tertidur karena sibuk memikirkan pembalasan terhadap Adira.

See on the next chapter

GAYA TOLAK-MENOLAK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang