Happy reading ❤
Langkah Rama terdengar di sepanjang koridor rumah sakit yang mulai sepi. Beberapa orang yang sedang duduk di depan ruangan tampak heran melihat Rama begitu panik bahkan wajahnya sudah bisa disebut pucat. Entah angin apa yang merasuki dirinya sehingga dia begitu tidak sabar untuk sampai di pelataran parkir rumah sakit. Dia ingin menyusul Adira. Cewek itu sudah sangat berjasa padanya tapi dia bahkan lupa mengucapkan terimakasih hingga akhirnya gadis itu dijemput oleh cowok lain. Rama kesal setengah mati. Cemburukah ia?
Kali ini Rama terlambat. Belum sempat dia memanggil Adira, motor yang ditumpangi Adira dan Dareen sudah melaju menjauhi Rama. Satu bagian di hati Rama terasa berdenyut. Terasa perih tapi Rama tidak yakin apa yang menjadi penyebabnya. Angin malam perlahan menyentuh kulit Rama. Dingin sekali. Rama menengadah. Awan hitam memenuhi langit. Semesta benar-benar tega pada seorang lelaki patah hati itu.
“Sakit?”
Rama menoleh ketika seseorang menepuk bahunya dari belakang. Rama mengernyit mendapati wajah Prabu dan Geri.
“Apaan sih lo berdua?” tanya Rama.
“Sakit nggak?” balas Geri lagi.
Rama menggaruk tengkuknya. “Gue nggak ngerti. Yang sakit si Hana bukan gue.”
Geri menaikkan alis. Cowok itu bingung apakah temannya itu pura-pura polos atau memang benar-benar tidak peka. Seingatnya Rama itu adalah playboy kelas menengah ke atas. “Hati lo bego. Sakit atau kagak?”
Rama berjalan ke arah motor Geri bertengger. Kedua sahabatnya menyusul dari belakang. Mereka lalu duduk di atas jok motor. Rama masih diam. Dia kemudian menengadah ke langit. Jarak rumah sakit ke rumah Adira lumayan jauh. Bagaimana jika di tengah perjalanan hujan turun dan deras. Rama menggeram, bayangan Dareen dan Dira berteduh mengganggu pikirannya.
“Hati gue nyeri.”
Kemal dan Geri saling bertukar pandang lalu menatap Rama selama beberapa detik dalam diam kemudian tertawa.
“Lo kok malah ngetawain gue sih?”
“Senjata makan tuan lo, Ram,” ujar Geri.
Kemal mengangguk sambil terus tersenyum. “Dari awal gue udah bilang jangan sok tebar pesona biar si Dira naksir elo. Sekarang lo kena batunya kan. Lo jatuh cinta, si Dira biasa aja. Bertepuk sebelah tangan rasanya, ahhh mantap.”
“Gue harus apa dong?”
“Tumben lo nanya ke kita? Perasaan mantan elo deh yang paling banyak. Biasanya juga lo yang paling jago cari cewek, Ram.” Kemal menoleh pada Rama lalu pandangannya fokus pada dua orang cewek remaja yang baru saja memarkirkan motor di dekat mereka.
“Mata lo tuh hampir copot, Mal.” Geri menjitak kepala Kemal.
“Ada cewek cantik, Ger. Rahmat Tuhan itu mah, harus disyukuri.”
Rama berdecak tak sabar menunggu saran dari Kemal dan Geri. “Gue nanya malah lo kacangin, anjir. Gue harus gimana dong?”
“Lo bego atau goblok sih, Ram? Sejak kapan lo cupu sama cewek. Kalo suka ya dikejar, kalo udah keduluan cowok lain ya lo tikung lah. Gitu aja repot.” Kemal mendengus lalu kembali melirik seorang perawat cantik yang baru saja lewat.
Geri berdeham. “Nggak ditikung juga kali, Mal. Tapi menurut gue sih setidaknya lo harus nyatain lah perasaan lo, Ram. Sekalian lo minta maaf lo udah ngerjain dia selama ini.”
“Kok gue negrasa suasana malam ini galau banget ya?” tanya Kemal semabri bangkit dari motor lalu berlalu dari hadapan Rama dan Geri.
“Menurut lo gue beneran suka sama si bocah tengil, Ger?”
Geri menghela nafas. Dia menatap Rama sekilas lalu kembali menatap langit yang semakin lama semakin gelap. “Lo tanya hati elo lah, Ram. Yang tau isi hati seseorang ya pemiliknya. Mana gue tau lo suka atau enggak karena yang rasain kan elo, gue mah penonton doang.”
“Gue bingung ah. Pinjem motor dong, Ger. Gue mau cari angin dulu. Puyeng pala gue.”
Geri merogoh saku mencari keberadaan kunci motornya. Setelah benda yang dia cari ditemukan, dia melempar pada Rama.
“Yang dicari itu duit bukan angin. Dasar playboy patah hati.”
Rama menghiraukan ocehan Geri. Dia memakai helm lalu membawa motor Geri pergi. Dia bahkan tidak tahu kemana tujuannya malam ini, yang pasti hatinya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Rama butuh menyegarkan pikiran dan perasaannya.
***Adira memeluk tubunya sendiri. Meski sudah memakai hoodie Dareen, tetap saja dinginnya malam ini terasa menusuk sampai ke tulang. Dalam hati Adira terus merapalkan doa agar hujan tidak turun saat mereka masih di perjalanan. Yang Adira inginkan hanyalah sampai ke rumah secepatnya, mandi dan langsung tidur. Dia lelah sekali hari ini.
Sesekali Adira menoleh ke belakang. Dia sendiri bingung karena hatinya seolah-olah berharap ada yang menyusulnya. Dia sepertinya berharap Rama mengejarnya karena dia tidak sempat pamit pada cowok menyebalkan itu. Namun Adira dengan cepat menepis pikiran konyol itu. Tidak mungkin Rama peduli padanya. Cowok itu pasti sedang bahagia karena Hana sudah sadar. Rama pasti sudah lupa atas keberadaan Adira di rumah sakit.
Adira masih ingat bagaimana senangnya Rama saat dokter mengabari bahwa Hana sudah sadar. Adira juga sangat lega ketika kakak kelasnya itu sudah melewati koma, tapi melihat betapa Rama sangat perhatian padanya membuat Adira yang selalu percaya diri mendadak menjadi merasa dirinya menciut. Tepat saat Rama masuk ke dalam ruangan Hana, Adira meminta Dareen menjemputnya dan untung saja cowok itu bisa datang tepat waktu. Adira ingin segera menjauh dari Rama.
“Belok kanan kan?” tanya Dareen membuyarkan lamunan Adira.
“Iya kak. Setelah belok langsung nemu rumah gue kok.”
Dareen mengangguk. Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan rumah Adira.
“Makasih ya, Kak. Gue udah ngerepotin elo malam ini.” Adira berusaha membuka helmnya tapi entah kenapa helm biru itu sangat sulit dilepaskan.
Daren membantu Adira membuka helmnya. Tidak hanya sampai disitu, Dareen juga merapikan poni Adira yang berantakan. Cewek itu terpaku atas tindakan kakak kelasnya itu. Dia ingin menjauh tapi Dareen malah menggenggam jemarinya.
“Tangan lo dingin banget nih. Langsug mandi, makan terus istirahat ya. Jangan begadang.” Dareen tersenyum sampai lesung pipinya kelihatan. Adira semakin salah tingkah. Untung saja Dareen langsung melepas tangannya.
“Sekali lagi makasih. Lo langsung balik, Kak?”
Dareen mengangguk lalu mengacak rambut Adira. Dia terkekeh kemudian menyalakan motor dan berlalu dari hadapan cewek itu. Adira menyentuh kepalanya yang baru saja disentuh Dareen. Persaannya semakin kacau sekarang. Di satu sisi hatinya senang karena cowok semanis Dareen melakukan hal-hal romantis padanya namun di sisi lainnya, Adira terus saja berharap Rama datang menyusulnya.
“Bodoh banget sih gue ngerepin dia datang. Nggak mungkin Didi,” lirih Adira sembari membuka gerbang.
Tanpa Adira sadari, di bawah sebuah pohon yang tumbuh di persimpangan menuju rumahnya, ada sepasang mata sendu sedang mengamatinya lekat-lekat. Si pemilik mata itu menarik nafas dalam-dalam dan memilih pergi diam-diam.
Uluhhh uluhhh ada apa nih sama hati? Mulai gegana ngeliat doi jalan sama yang lain? Tikung dong selagi ada kesempatan hahahha
KAMU SEDANG MEMBACA
GAYA TOLAK-MENOLAK [TAMAT]
Teen Fiction[ON GOING] Ibarat magnet, Rama dan Dira itu punya kutup yang sama. Sama-sama Utara atau sama-sama Selatan. Sesuai sifat magnet, kutup yang sama tidak akan pernah bersatu atau disebut 'gaya tolak menolak'. Mereka punya kepala sekeras batu dan hati se...