Happy reading ❤
“Kak Dareen?”
“Gue tadi lihat motor lo rusak. Mau gue anter?”
Mulut Adira terbuka. Baru saja Dareen manawarkan pulang bersama. Adira harus cepat-cepat mengiayakan. Tapi cowok itu tersenyum sehingga lesung pipinya muncul. Jantung Adira berpacu dengan cepat. Mulutnya ingin bicara. Sayangnya, tidak ada satu kalimat pun terucap.
“Mau nggak?” tanya Dareen lagi. Dia gemas melihat Adira melongo.
“Sayang, babe, cinta, jantung hatiku. Udah dong ngambeknya.”
Adira menoleh ke arah sumber suara. Rama sedikit ngos-ngosan mendekat. Cowok jangkung itu merangkul Adira. Kening Adira berkerut. Barusan Rama manggil gue apa?
“Adira, udah dong marahannya. Kita pulang ya?” Rama mengeratkan rangkulannya. Tidak peduli pada tatapan orang-orang lewat. Rama sempat melirik Dareen.
“Dir, gue duluan ya.” Dareen menghidupkan mesin motornya lalu berlalu tanpa menunggu jawaban Adira. Dia malas berurusan dengan Rama.
Setelah Dareen tidak terlihat lagi, Adira menghempaskan tangan Rama. Dia mengusap pundaknya sambil mengeluarkan cairan antiseptik dari ranselnya. Rama mengernyit. Dia tidak percaya Adira membersihkan bekas tangannya dengan cairan pembersih kuman.
“Aduh, bisa gatal-gatal kulit gue. Lo ngapain sih ngejar gue?”
Rama tertawa. Sebelah alisnya terangkat. Seringai iblis muncul di wajahnya sehingga Adira kesal. “Ayo dong pulang bareng biar nggak sia-sia gue nyuruh orang ngempesin ban motor lo.”
Adira memukul bahu Rama. Tebakannya bahwa Rama mengerjainya benar. “Emang beneran lo nggak waras. Gila lo!”
Rama mengacak rambut Adira. Headband motif batiknya jadi miring. “Gila gini tapi gue kan ganteng. Tajir lagi. Lo aja nggak mau ngaku.”
“Astaga, udah ah. Bye.”
Adira meninggalkan Rama. Dia berjalan cepat-cepat. Adira melirik ke belakang untuk memastian Rama tidak mengikutinya. Adira tersenyum ternyata Rama menyerah. Dia menyusuri trotoar menuju halte busway. Mata Adira terbuka lebar. Di depan warung tempat anak Tunas Bangsa sering nongkrong, Rama duduk di atas motornya. Cowok jangkung itu melambaikan tangannya pada Adira.
“Halo Adira. Matanya nggak usah keluar gitu. Biasa aja ngeliat gue.”
Adira menjambak rambutnya sendiri. Dia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. “Mau lo apa sih, Ram?”
“Gue maunya nganter lo pulang pake motor gue. Cepat naik.”
“Gue nggak suka dipaksa. Gue mau pulang. Laper nih gue.”
Rama tidak mau menyerah. Dia menjalankan motornya dengan kecepatan rendah, mengikuti Adira dari belakang. “Kali ini gue minta tolong nggak maksa. Please Adira, gue anter ya.”
Adira berhenti. Perutnya keroncongan. Jika menolak, Rama pasti akan terus mengikutinya, maka semakin lama dia sampai rumah. Adira memicingkan mata mengamati Rama. Cowok itu tersenyum.
“Oke. Lo menang.” Adira menaiki motor hitam Rama.
Rama tersenyum penuh kemenangan. Adira menepuk pundak Rama. Seniornya itu belum juga melajukan motornya. Rama melepas hoodie marun yang dipakainya.
“Pake nih nutupin paha lo. Enggak mulus juga. Nggak usah dipamerin.”
Adira menerima jaket Rama. Ternyata Rama tidak terlalu buruk. “Makasih.”
Rama mengangguk. Setelah Adira menutup pahanya dengan jaket, Rama melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Adira merasa aneh. Selama perjalanan Rama tidak ada bertanya di mana alamat rumahnya. Adira merasa panik. Dia memukuli bahu Rama. Rama kaget menerima pukulan Adira. Dia menepikan motornya di depan warung sate.
“Lo mau nyulik gue kan?”
“Maksud lo apaan sih, cewek bawel?”
“Kenapa lo nggak nanya rumah gue dimana? Ini lo bawa gue ke mana coba? Jangan-jangan lo sindikat penculikan anak di bawah umur. Atau lo penjual ginjal? Makanya lo maksa gue pulang bareng, kan?”
Rama menutup kuping. Suara cempreng Adira menusuk pergendangan telinganya. Setelah memastikan cewek itu tidak mengamuk lagi, Rama menoleh ke belakang.
“Gue mau ngajak lo makan sate. Noh liat warung sate. Lo tadi bilang laper kan?”
Adira melirik warung yang ditunjuk Rama. “Maaf deh. Gue salah sangka.”
“Turun!”
Kali ini Adira menurut. Dia mengikuti Rama masuk ke dalam warung. Keadaan warung sate itu ramai. Adira melirik jam dinding. Sudah lewat jam makan siang, tapi warungnya masih dipenuhi orang.
“Mas, menu biasa dua.”
Adira duduk di hadapan Rama. Dia mencubit lengan Rama kuat-kuat. Rama mengaduh sambil mengusap bekas cubitan Adira.
“Lo kesurupan?”
“Kenapa lo nggak nanya gue mau pesen apa?”
Rama tertawa sehingga wajah Adira semakin kesal. “Menunya sate kambing doang.”
Adira mendengus. Namun kesalnya hanya sebentar. Dua porsi besar sate terhidang di meja. Aromanya merasuk penciuman Adira. Tampilan satenya juga menggiurkan dengan taburan bawang goreng ditambah sambal kacang.
“Selamat makan.”
Adira langsung mencomot satenya. Dia tidak peduli tatapan Rama. Warung sate langganan Rama benar-benar enak menurutnya. “Enak banget. Makasih ya.”
Rama mengangguk. Dia melempar sebuah serbet ke hadapan Adira. “Mulut lo belepotan. Malu-maluin gue aja.”
“Nggak sweet banget sih lo pake serbet.” Adira menarik selembar tisu basah dari kotak pensilnya.
“Lo ngarepnya gue ngelap bibir lo kayak FTV? Ngimpi deh lo di siang bolong.”
Adira tidak menanggapi. Dia memilih melahap satenya. Rama juga melakukan hal yang sama. Mereka makan sambil diam-diaman. Setelah makan, Rama membayar sate mereka. Adira menunggu di luar. Rama menghampirinya. Cowok itu menanyakan alamat Adira. Adima menjelaskan di mana rumahnya. Rama membawa motornya ngebut.
Mereka berhenti di depan rumah Adira. Rama mengamati rumah Adira. Dua rumah rumah minimalis dengan desain modern berdampingan. Halamannya luas ditanami bunga mawar aneka warna. Di pinggir ada dua pohon mangga sedang berbuaah rambis. Ada juga kolam kecil di sudut halaman. Sepertinya keluarga Adira ada yang arsitek atau sejenisnya. Rama suka desain rumahnya.
“Rumah lo yang mana?” tanya Rama.
“Yang pintunya kebuka. Sebelahnya itu rumah eyang gue.”
Rama mengangguk. Dia turun dari motornya lalu membuka gerbang Adira.
“Gue nggak ngajak lo masuk.”
Rama menepuk pundak Adira. “Gue harus mastiin lo masuk dengan aman sentosa.”
Rama masuk halaman Adira seolah-olah dia sudah biasa berkunjung ke rumah itu. Adira geleng-geleng sambil mengikuti Rama. Tanpa dipersilahkan, Rama duduk di kursi rotan yang terletak di terasnya.
“Buatin minum, Dir. Gue haus.”
Adira memiringkan kepalanya. Kelakuan Rama barusan benar-benar tidak bisa dipercaya. “Sabar Adira. Orang sabar bakal dapat pacar ganteng.” Adira meletakan tas birunya di meja. “Lo mau minum apa kakanda Rama?”
“Air putih aja.”
Adira melangkah ke dalam rumah tapi tangannya ditarik Rama. “Apa lagi?”
“Air putihnya kasih gula dua sendok sama perasan jeruk ya. Kalo ada es batu masukin aja.”
Astaga Rama, kelakuanmu itu lho nak. Nggak ngerti lagi aku nengok kau. Hahahaha apaan sih aku?
Oh iya ada yang rindu Kemal? Dia nitip salam katanya see on the next chapter.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAYA TOLAK-MENOLAK [TAMAT]
Teen Fiction[ON GOING] Ibarat magnet, Rama dan Dira itu punya kutup yang sama. Sama-sama Utara atau sama-sama Selatan. Sesuai sifat magnet, kutup yang sama tidak akan pernah bersatu atau disebut 'gaya tolak menolak'. Mereka punya kepala sekeras batu dan hati se...