Chapter 5

88 15 6
                                    

Setelah beberapa menit berada dalam perjalanan, akhirnya mereka pun sampai di flat dan memutuskan untuk segera masuk.

Liam, Louis, Harry, dan Zayn praktis melenggang ke kamarnya untuk berganti pakaian, sementara Niall dan Taylor terduduk di ruang tamu.

"Tay, sebenernya gue itu fans berat lo tau." Niall membuka percakapannya.

"Oh ya?"

"Iya, serius! Gue ngoleksi banyak banget merch lo, bahkan gue juga punya semua album lo. Intinya gue swifties garis keras deh," kata pria berambut pirang itu sambil tersenyum.

Taylor pun ikut tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Makasih kalo gitu."

Niall terus mengajaknya berbicara beberapa hal acak dan gadis itu tampak tidak keberatan untuk menjawabnya.

"Ayo sini liat." Pria itu bangkit berdiri dan mengajak Taylor untuk melihat semua koleksi film yang baru saja diceritakannya. Saat pintu kamar terbuka, matanya langsung bergerak menuju keempat temannya yang sedang melakukan aksi bodoh itu lagi.

"Kalian lagi ngapain?" ujar Niall malas-malasan di ambang pintu.

"Ini si Zayn! Masa dia ngerusakin lagi pialanya," ujar Louis sambil menimpa tubuh Zayn. Bayangkan saja, tubuh Zayn berada di paling bawah, sementara Liam, Louis dan Harry berada di atasnya.

"Tadi lo sama Niall juga ngerusakin pialanya gapapa tuh," balas Zayn yang berusaha melepaskan diri dari ketiga temannya.

"Itu kan di depan kamera jadi gapapa," ucap Louis sambil tertawa keras.

"Mana bisa kaya gitu! Udah buru pergi, lo mau liat gue sesek napas terus meninggal hah?"

"Minta maaf dulu, baru deh kita pergi."

"Ga mau," jawab pria berambut hitam itu secepat mungkin.

"Apa susahnya sih? Ya udah besok traktir kita semua ke Starbuck, gimana?" Harry menawarkan.

Belum sempat Zayn menjawab, suara Niall telah menyergahnya terlebih dulu. "Udah woi, kasian si Zayn udah mau meninggal tuh." Ia menarik teman-temannya untuk menjauh dari Zayn.

"Um guys?" Taylor akhirnya bersuara, membuat perhatian kelima pria itu terarah padanya. "Gue kayanya harus pulang sekarang." Taylor melirik ponselnya sekali lagi.

"Gue anterin," ujar Harry secepat kilat. "Awas! Gue mau nganterin cecan balik dulu," lanjutnya sambil berusaha menjauhkan dirinya dari keempat pria itu. Detik selanjutnya ia bangkit berdiri dan menarik pergelangan gadis itu untuk segera mengikuti langkahnya.

"Bye!" Taylor sempat mengatakan hal itu sebelum benar-benar pergi.

Harry masih saja menggengam tangannya hingga mereka sampai di parkiran. Pria berambut ikal itu membukakan pintu mobilnya untuk Taylor sebelum masuk ke bangku kemudi dan mulai menanckapkan gasnya.

"Harry." Gadis itu berujar setelah beberapa menit berada dalam keheningan.

"Ya?" Ia menatapnya sekilas.

"Um, gue ga buru-buru, jadi lo bisa pelanin mobilnya," katanya berusaha tenang.

Sejak tadi Harry mengemudi dengan kecepatan di atas rata-rata dan Taylor benci karena ia tidak bisa marah ataupun menegur pria asing di sebelahnya ini.

Harry mengangguk beberapa kali, tanda setuju. Namun, nyatanya ia sama sekali tidak mengurangi kecepatan mobilnya sedikitpun.

"Bukannya ini masih-"

"Lo tenang aja, oke?" Ia memotong perkataan gadis itu dan tergelak. Lagi-lagi Taylor menghela napasnya, berusaha mengabaikan fakta bahwa ia benar-benar ngeri melihat cara mobil ini bergerak dan menyelip.

"Mau mampir dulu buat makan ga?" Harry menanyakan hal itu di sela-sela perjalanan.

"Ga usah deh."

"Kenapa?" Pria itu menatap Taylor sekilas sebelum kembali memfokuskan pandangannya ke jalan.

"Udah malem."

"Gapapa kali, makan doang abis itu balik," ujar Harry belum menyerah, tetapi gadis itu hanya menggeleng menandakan dirinya tidak setuju.

"Harus."

Taylor membulatkan matanya. Kenapa pria satu ini sangat suka memaksa sih? Pikirnya. "Nanti kalo ada paparazzi gimana?"

"Ga peduli," balas Harry sekenanya.

"Lo bisa sendiri kalau gitu." Keputusan Taylor sudah bulat. Lagi pula ia juga tidak terlalu berminat untuk makan malam bersama pria menyebalkan ini.

Harry berdecak pelan. "Ya udah, di mana rumah lo?"

"Lurus aja dulu, nanti gue tunjukin," jawab gadis itu, kembali menatap jendela.

"Udah berasa tukang taksi aja gue." Pria itu nyaris berbisik.

Taylor benar-benar tak habis pikir dengan Harry. Jelas-jelas ia sendiri yang menawarkan untuk mengantarnya dan sekarang ia mengeluh? Apa yang salah dengannya?

"Lo yang minta buat nganterin gue, inget?" katanya dengan penuh penekanan di setiap suku kata.

"Tenang aja kali, harus banget ngegas gitu," jawab Harry sambil terkekeh. Namun, tak ada respon dari lawan bicaranya, yang mana membuat Harry menatap gadis itu sekali lagi. "Lo lucu ya kalo lagi marah gitu."

"Udah gila."

Untungnya tidak ada pembicaraan lagi setelah itu hingga akhirnya Harry menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Taylor. Ya, Taylor mengintruksikan Harry untuk berhenti di sini. Jadi kemungkinan besar ini adalah rumah Taylor, bukan?

Gadis itu sudah cukup lelah akibat percakapan singkatnya dengan Harry, maka dengan pergerakan cepat, ia membuka sabuk pengamannya yang entah kenapa tak kunjung terbuka walaupun ia telah berusaha berulang kali.

Harry yang melihat hal itu langsung menggerakan tangannya dan membukakan sabuk pengaman Taylor dalam sekali percobaan. Gadis itu sempat menahan napasnya beberapa detik akibat wajah Harry yang begitu dekat dengannya.

"Makasih," kata gadis itu setelah sabuk pengamannya terbuka. Detik selanjutnya ia membuka pintu mobil dan segera keluar dari sana dengan degup jantung yang entah mengapa berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Taylor!"

Yang di panggil memberhentikan langkahnya dan menoleh. Ia hanya memperhatikan Harry yang tengah menurunkan kaca dan menunggunya berbicara.

"Bilang makasihnya yang bener. 'Thanks, babe' gitu."

"Lo sakit!" Gadis itu berkata dengan pelan. Namun, cukup keras untuk sampai ke telingga Harry.

Taylor sampai menyesal karena harus menghentikan langkahnya hanya untuk mendengar omong kosong seperti tadi. Jika tahu begitu, ia pasti akan berpura-pura tidak mendengarnya. Sepertinya Harry benar-benar mengujinya karena sedari tadi ia sudah berusaha bersikap sopan, walaupun pria itu menunjukkan hal yang sebaliknya.

Ketika Taylor memutuskan untuk melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti, gelak tawa Harry memenuhi indra pendengarannya dan kali ini ia memilih keputusan yang tepat dengan tidak menghiraukan suara itu.

PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang