Chapter 9

58 12 3
                                    

Harry memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah Kendall. Sesuai janjinya kemarin, hari ini ia dan Kendall akan pergi menonton film bersama. Harry memencet klakson beberapa kali saat melihat Kendall hanya memperhatikan wajahnya dari balkon kamarnya dan tak kunjung turun.

Mendengar hal itu, Kendall langsung turun menghampiri pria berambut ikal yang sudah bersandar di mobil miliknya, sembari melihat tangan di depan dada.

"Udah puas merhatiin gue?" tanya Harry menyadarkan Kendall dari lamunannya. Sedetik kemudian Kendall memukul pelan lengan Harry dan terkekeh sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam mobil Harry, diikuti sang pemilik di sebelahnya.

"Lo tadi kemana dulu?" tanya Kendall melirik ke arah pria di sebelahnya. Harry belum menjawab karena sibuk menyalakan mesin dan yang terjadi selanjutnya adalah Harry memajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membuat Kendall sedikit terkesiap.

Harry tertawa puas melihat ekspresi Kendall yang terlihat terkejut akibat ulahnya barusan. "Kaget?" tanyanya hingga melupakan pertanyaan Kendall beberapa saat lalu.

Kendall menggeleng, menatap pria itu dengan malas. "Gue biasanya juga lebih kenceng dari ini," tukas gadis itu dengan angkuh.

"Oh ya? Terus kenapa tadi kaya kaget gitu?"

"Ya karena lo ga kasih aba-aba dulu sih," sunggut gadis itu tanpa menatap lawan bicaranya sedikitpun dan hanya terfokus melihat jalanan kota London.

Pria bermata biru itu hanya terkekeh saat mendengarnya. "Mau nonton film apa? Lo suka komedi, horor atau—" Harry menggantung kata-katanya membuat Kendall beralih menatapnya.

"Romance," jawab Kendall sambil tersenyum.

"Serius?" Harry tampak tak percaya dengan pilihan Kendall barusan. Ia pun mengangguk, membenarkan pertanyaan Harry.

"Oke bagus, selera kita sama."

❄❄❄

Taylor menghela napasnya berulang kali. Sejak kepulangan Harry, pikirannya benar-benar menjadi kacau. Bukan, ini bukan tentang Calvin lagi. Taylor sendiri bahkan terheran mengapa ia lebih mengkhawatirkan Harry ketimbang Calvin.

Sejak tadi gadis itu sudah ingin menekan nomor Harry di kontaknya, hatinya sangat ingin berbicara dengan pria itu dan meminta maaf atas perlakuannya tadi sore, namun entah kenapa pikirannya selalu menahan niat baiknya itu.

"Buat apa gue minta maaf? Siapa coba yang salah? Dia datang juga atas kemauan diri dia sendiri, jadi tanggung aja resikonya." Gadis itu bermonolog sambil menenggelamkan wajahnya di bantal. Sekarang ia benar-benar bingung. Haruskah ia datang menemui Harry dan meminta maaf karena telah bersikap kasar padanya?

Gadis beriris biru laut itu membuka matanya. Setelah itu membenarkan posisinya menjadi terduduk. Ia memijat pelipisnya sejenak. Baik, keputusannya sudah bulat sekarang. Ia akan datang ke flat One Direction dan menemui Harry di sana.

Dengan pergerakan cepat, ia mengambil jaket serta kunci mobil di atas nakas dan melenggang pergi.

Sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan kata apa yang tepat sebagai permohonan maafnya pada Harry. Sekarang ia benar benar menyesal, padahal tujuan Harry baik. Ia ingin menolong Taylor, meskipun sejujurnya Taylor sendiri tidak percaya jika ada seseorang yang benar-benar peduli padanya tanpa maksud apapun. Katakanlah Taylor memiliki masalah kepercayaan karena nyatanya ia memang tidak pernah bisa mempercayai setiap niat baik seseorang.

Tak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di flat One Direction. Kurang dari lima belas menit, mobilnya sudah terparkir dengan sempurna di gedung tinggi yang diyakininya sebagai tempat singgah pria itu. Taylor menghela napasnya, memejamkan matanya sejenak hingga akhirnya memberanikan diri untuk keluar dari mobilnya. Ia sengaja memarkirkan mobil miliknya di halaman belakang agar ia dengan mudah masuk ke pintu belakang, menghindari sorotan kamera tentunya.

PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang