Taylor's POV
Tahun ini akan kunobatkan sebagai malam menjelang natal terburuk sepanjang masa. Baiklah, itu sedikit berlebihan, tapi aku bersumpah tidak ada satu pun hal baik yang terjadi hari ini.
Semuanya sudah tampak buruk sejak aku melihat Calvin dan kedua orangtuanya, ditambah berbicara dengannya berhasil membuat kepalaku semakin pusing dan saat aku berharap bahwa seseorang bisa menghiburku, itu hanyalah menjadi omong kosong karena faktanya ia sedang sibuk bersama orang lain. Kali ini aku berbicara tentang Harry, tentu saja.
Aku tidak bisa berpikir lagi sekarang. Sebagian diriku masih tidak mau mengakui bahwa aku menyukai pria keriting itu, tapi sebagian besar lainnya seakan mengingatkan bahwa itulah kenyataannya. Aku bahkan tidak ingat sejak kapan aku mulai bergantung padanya. Jika tidak, aku pasti tidak akan menangis di jalanan layaknya orang idiot sekarang ini.
Jalanan cukup sepi, tidak terlalu ramai seperti biasanya. Mungkin karena semua orang sedang menghabiskan malam bersama orang-orang terdekatnya. Entah itu dengan keluarganya maupun kekasihnya. Aku selalu merasa jengkel setiap kali memikirkan jika seseorang menghabiskan malam natal bersama dengan kekasihnya, padahal sebelumnya tidak pernah begitu.
Ingin sekali rasanya aku mengutuk seseorang, tapi siapa? Aku bahkan tidak mengerti apa alasan air mata bodoh ini terus jatuh dari pelupuk mataku. Well, aku tahu, tapi aku hanya tidak mau mengatakannya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa benar-benar tidak peduli dengan tatapan orang lain di sekitarku. Sejak aku berjalan dari flat Harry sampai ke sini, aku terus mendapatkan berbagai macam tatapan menyebalkan dari orang-orang. Mungkin mereka ragu bahwa aku adalah Taylor yang sama dengan yang sering mereka jumpai di televisi. Aku tidak berniat untuk sombong, percayalah.
Aku terus melangkahkan kakiku menyusuri jalanan ini. Mungkin aku harus menemukan sebuah penginapan karena jelas aku tidak mau kembali ke rumah. Bisa-bisa aku dibombardir dengan beribu pertanyaan dari Mr. Scott yang terhormat dan nasibku akan bertambah buruk kalau-kalau Calvin beserta keluarganya masih ada di sana.
"Taylor."
Aku seperti mendengar seseorang menyerukan namaku. Namun, aku tidak menghentikan langkahku dan malah mempercepatnya. Aku rasa sesuatu telah merasuki pikiranku karena sekarang aku malah mendengar suara Harry memanggilku, padahal jelas-jelas itu tidak mungkin.
"Taylor, berhenti!"
Suaranya kali ini lebih jelas dan keras, membuatku tersentak. Aku menghentikan langkahku, tetapi belum memutuskan untuk berbalik.
Suara deru mobil berada tepat di belakangku dan aku seperti memiliki keyakinan bahwa itu adalah Harry. Suara pintu mobil dibanting dan langkah kaki yang mendekat semakin memperjelas semua keraguanku.
Dengan sekali pergerakan, aku mengusap pipiku yang basah, menutupi fakta bahwa aku baru saja menangis. Lagi-lagi aku tersentak saat secara tiba-tiba seseorang merengkuh bahuku, memaksaku menatap kedua matanya.
"Lo ngapain di sini?" tanyaku dengan lantang, bahkan nyaris berteriak. Kurasa aku sudah gila dengan membentak seseorang hanya karena ia memiliki seorang kekasih.
Aku yang menyadari kebodohanku, hendak mengucapkan maaf. Namun, itu terhenti saat Harry mulai berujar, "Harusnya gue yang nanya gitu." Ia mengatakannya dengan lembut, berbanding terbalik denganku.
Mataku beralih menatap objek lain, apapun selain iris hijau di hadapanku. Harry seperti menunggu jawabanku. Namun, harusnya ia tahu bahwa aku tidak akan menjawabnya. Ia menatap wajahku yang sudah dapat kupastikan sangat mengerikan. Maskara yang kugunakan mungkin sudah luntur dan itu jelas memperburuk penampilanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect
Fanfiction[Completed] Segala sesuatu yang kalian lihat di media belum tentu sepenuhnya benar, banyak diantara mereka yang suka sekali memanipulasi berita. Ini adalah kisah yang menceritakan kehidupan nyata para selebriti yang selama ini selalu kalian harapkan...