Taylor's POV
Aku terbangun saat mendengar suara dua orang yang tampak familiar di telingaku. Perlahan aku membuka mataku dan melihat ke sumber suara. Di sana ada Louis dan-Harry. Akhirnya dia datang juga, jadi aku bisa segera menyingkirkan segala rasa bersalahku dan meminta maaf padanya.
Aku mengeliat dan membenarkan posisiku menjadi duduk. Harry langsung menatap kearahku dengan tatapan kesal. "Kenapa bangun sih?" Ia menghela napasnya, kemudian berdecak dan kembali menatap Louis. "Ini gara-gara lo berisik sih!"
"Ini salah lo, Harry! Ketawa lo kenceng banget kek gunderewo ," balas Louis sengit.
Harry menggeleng tak mau kalah. "Kalo lo ga masuk ke sini, gue pasti ga bakal ketawa. Masa iya gue ketawa sendiri, kan ga mungkin."
Aku terkekeh pelan menyaksikan perdebatan antara kedua teman ini. Kenapa juga harus berdebat? Aku justru bersyukur karena mereka membuatku terbangun. Jika tidak, mungkin aku harus tinggal di sini sampai pagi. Kemudian aku bangkit berdiri dan menghampiri mereka. "Gapapa, gue bangun karena mata gue emang pengen ngebuka," tukasku berniat melerai.
Harry tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya. Ia menatapku sambil memiringkan kepalanya. Ada apa? Apa wajahku terlihat buruk saat bangun tidur? Buru-buru aku memalingkah wajahku menatap ke arah lain.
"Lou, keluar sana!"
Kulihat mata Louis membulat seketika. "Kenapa gue harus keluar?" tanyanya nyaris memekik.
"Gue mau ngobrol sama Taylor," jawab Harry membuatku terdiam.
Pria bernama Louis itu berdecak pelan sebelum melangkahkan kakinya hendak meninggalkan kami berdua. Sebelum keluar, Louis sempat berujar,"Pintunya di buka aja, Harr."
Harry memutar bola matanya malas. "Iya, bawel!"
Keadaan menjadi hening dan canggung saat Louis keluar. Mungkin Harry tidak merasa begitu, hanya aku yang jadi canggung karena telah membentaknya sore tadi.
"Mau ngomong apa?" tanya Harry sambil duduk di pinggiran ranjang.
Aku enggan menatapnya. Sialan! Sungguh aku merutuki diriku yang seperti ini. Bayangkan saja, aku seolah kehilangan semua kata yang telah kurangkai sejak tadi. Apakah sesulit ini meminta maaf pada seseorang?
"Ngga, siapa yang bilang gue mau ngomong sama lo?"
"Niall," katanya sekenanya. Aku dapat meraskan tatapannya belum pergi dariku.
"Gue ga mau ngomong apa-apa tuh," bohongku.
Harry menganggukkan kepalanya beberapa kali, tanda bahwa ia mengerti. "Lo mau nginep di sini atau gue anter balik?" ujarnya lagi.
Rasanya ingin sekali menerima tawaran pertama pria itu. Namun, lagi-lagi aku terlalu gengsi. Lagipula aku juga merasa tidak enak jika harus membuat sang empunya kamar tidur di sofa.
"Gue pulang aja."
"Oke, gue anter."
"Tapi gue bawa mobil." Akhirnya aku mengeluarkan suaraku setelah terdiam selama beberapa detik.
"Oh gitu, lo masih ngantuk? Kalo masih, biar gue yang bawa mobilnya."
Sekarang aku baru menatapnya. "Terus lo baliknya gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect
Fanfiction[Completed] Segala sesuatu yang kalian lihat di media belum tentu sepenuhnya benar, banyak diantara mereka yang suka sekali memanipulasi berita. Ini adalah kisah yang menceritakan kehidupan nyata para selebriti yang selama ini selalu kalian harapkan...