Harry's POV
Tanganku bergerak menekan tombol play sebelum pikiranku menyusul untuk memikirkannya lebih jauh lagi.
Tidak apa-apa. Aku terus mengingatkan diriku sendiri.
Hai, selamat malam natal.
Ini rekaman suara?
Gue baru aja pulang dari toko barang klasik dan pas gue liat tape ini, gue jadi mikir kalau ini waktu yang tepat.
Apa yang sedang ia bicarakan?
Terdengar tarikan dan helaan napas perlahan sebelum suaranya kembali terdengar.
Oke gue ragu, tapi kalau lo udah denger rekaman ini, itu artinya gue udah ga ragu lagi. Lo itu.. well, lo baik, lo mau peduli dan selalu mau bantuin gue. Gue minta maaf karena gue selalu kasar dan bersikap seolah-olah gue ga suka sama lo. Gue ga tau kenapa, tapi bukan itu yang sebenernya gue rasain.
Sebenarnya untuk siapa ini?
Gue suka sama lo, Harry.
Rahangku turun saat mendengar pengakuannya. Dia apa?
Maksudnya, lebih dari suka.
Kini ia mengatakannya dengan lantang dan tanpa disadari ujung bibirku terangkat tanpa perintah.
Tapi lo ga harus. Kalo lo emang ga ngerasain hal yang sama, itu bukan masalah. Kita masih bisa jadi temen dan ngobrol kaya biasa. Mungkin gue kedengeran aneh banget ngomong kaya gini, di sini, sama lo, tapi gue udah terus yakinin diri gue buat ngomong hal ini.
Gue ga berharap apapun dari lo. Gue cuma pengen lo tau dan gue ga mau nyesel.
Suara klakson menghentikan perkataannya dan aku masih bisa mendengar umpatannya. Mungkin ia menaiki sebuah kendaraan umum atau semacamnya. Aku tidak tahu persis.
Aku masih harus memproses pengakuan yang sangat tidak sempurna, tetapi penuh kejujuran dan keyakinan tersebut.
Saat aku merebahkan tubuhku di kasur, tanganku menekan tombol play sekali lagi atau mungkin beberapa kali lagi. Aku suka mendengar pengakuannya dan aku bersumpah tidak akan pernah bosan dengan itu.
Setelah mengulanginya lebih dari lima kali, aku melirik ke arah jam. Pukul sepuluh malam. Aku harus menemuinya, mengatakan semua yang ingin kukatakan, memberitahu semua yang harus diketahuinya. Aku tidak yakin ia masih terjaga selarut ini, terlebih aku tidak mau berbicara di panggilan telepon sialan tentang hal ini, tapi aku tidak punya pilihan yang lebih baik selain menekan nomornya.
"Apa?"
Dia tidak menyapa dan aku terkekeh mendengarnya. Kenapa semuanya terasa berbeda sekarang? Setelah aku tahu bahwa ia memiliki perasaan yang sama denganku, itu terasa jauh lebih baik.
"Lo dimana?"
"Rumah. Kenapa?" katanya dengan cepat.
"Oh." Aku terdengar bodoh.
"Lo ga mungkin nelepon gue cuma buat nanya itu, kan?" Dia berujar dan aku membayangkan dirinya sedang memutar kedua bola matanya.
"Maksudnya, lo ada acara?" Aku bertanya dengan tenang.
"Kapan? Sekarang?"
"Ya, sekarang." Aku menyadari betapa bodohnya itu terdengar.
"Ga ada. Gue bakal ngerayain tahun baru besok," katanya dan aku terkesiap.
"Tahun baru?" Aku mempertanyaan.
Bagaimana aku bisa lupa bahwa ini malam menjelang tahun baru? Well, itu tidak penting sebenarnya. Setiap tahun aku hanya akan menonton pertandingan bola dengan Niall dan Louis hingga tengah malam dan terjaga sampai pagi karena ledakan-ledakan sialan yang hampir membuatku mengalami serangan jantung terkutuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect
Fanfiction[Completed] Segala sesuatu yang kalian lihat di media belum tentu sepenuhnya benar, banyak diantara mereka yang suka sekali memanipulasi berita. Ini adalah kisah yang menceritakan kehidupan nyata para selebriti yang selama ini selalu kalian harapkan...