Harry mengerang frustrasi. Setelah itu melemparkan ponselnya ke sofa. Ia sudah berusaha menghubungi Kendall berulang kali. Namun, panggilan terus diarahkan ke pesan suara. Kemarin malam ia juga telah mengirimkan banyak pesan pada gadis itu sebagai permintaan maafnya, tetapi tidak ada balasan apapun sampai detik ini.
"Hi."
Suara itu membuat Harry berbalik. Matanya menangkap seorang gadis pirang yang sedang berdiri tak jauh darinya. Namun, ia tak kunjung membalasnya. Yang ia lakukan hanyalah memperhatikannya dari atas sampai bawah seperti ada sesuatu yang janggal darinya.
Taylor berdeham pelan, guna menarik pria itu kembali ke realita dan itu tampak cukup berhasil.
"Oh, hi." Harry menggaruk tengguknya yang tak gatal. Kemudian melangkahkan kakinya menuju dapur untuk membuat kopi. "Kemarin lo bisa tidur, kan?" tanyanya sambil menyodorkan kopi yang baru saja ia buat.
Taylor mengangguk sebelum menerima cangkir itu dan duduk di sebelah Harry. "Mana yang lain?" Kini gilirannya yang bertanya.
"Masih tidur."
"Wow!" Gadis itu terkekeh sambil menyesap kopinya.
"Ngomong-ngomong, lo keliatan.. bagus pake baju gue." Harry berujar dengan tenang, sementara Taylor menunjukkan reaksi berlebihan dengan memuntahkan kembali kopi yang barusan ia minum.
"Oh, oke." Gadis itu berujar canggung sambil meletakkan kembali kopinya.
"Gimana perasaan lo sekarang?" Taylor langsung menatap Harry kala mendengar pertanyaan itu melesat dari mulutnya. Perasaannya? Perasaan macam apa yang ia maksud? Taylor jadi mulai khawatir kalau-kalau Harry ternyata sudah mengetahui perasaan yang dimilikinya.
"Maksudnya.. lo udah gapapa? Kemarin lo nangis," koreksi Harry. Taylor tak tahu harus merasa lega atau kecewa. Lega karena Harry tidak tahu tentang perasaan yang ia simpan atau kecewa karena maksud Harry sangat berbanding dengan pemikirannya.
"Ya." Ia bernapas.
"Mau cerita? Lo ga harus, tapi ya.. kalo lo mau." Harry berujar dengan sangat canggung dan sekali lagi Taylor harus mengingat bahwa kemarin ia mengatakan tidak ingin memberitahu apapun pada pria ini.
"Gue putus sama Calvin dan gue ngerasa sedih. Itu doang." Taylor berbohong. Ia tidak tahu apakah dirinya sudah putus dengan Calvin atau belum, hanya saja ia menganggapnya begitu dan perlu ditekankan bahwa Taylor tak memikirkan hal itu sama sekali.
"Dan kenapa?" Harry menaikan sebelah alisnya.
Oh tentu saja Harry bingung sekarang. Mengingat ia tahu persis bahwa Taylor memang ingin putus dengan kekasihnya itu sejak lama. Lalu kenapa juga ia harus merasa terluka sampai menangis? Mungkin itulah yang ada di benak Harry saat ini.
Ia meneguk salivanya berulang kali, berusaha meraba-raba kata yang tepat, tetapi ia tidak menemukannya. "Gue.. gue emang mau putus sama dia, tapi lo tau kan dad mungkin bakal sedih, jadi gue ngerasa.. ya lo ngerti, kan?" Gadis itu benar-benar tak pandai berbohong. Dalam hatinya, ia terus merutuki kebohongan dan kepalsuan dalam nada bicaranya yang sangat mengerikan.
"Gue ngerti." Harry berujar secara mengejutkan. Taylor sendiri bahkan tidak mengerti apa yang baru saja ia katakan. Namun, di sini seseorang mengatakan bahwa ia mengerti. Bagaimana bisa itu terjadi? Taylor berasumsi bahwa pria ini terlalu baik sehingga ia mau membantunya agar tidak usah memikirkan kebohongan konyol lagi.
Taylor berdeham sekali sebelum berujar, "Kayanya gue harus balik sekarang."
"Oh ya, nyokap lo telpon gue kemarin."
Taylor menaikkan sebelah alisnya. "Kapan?"
"Dua kali. Pertama, pas lo pergi dan kedua tadi malem, seudah lo tidur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect
Fanfiction[Completed] Segala sesuatu yang kalian lihat di media belum tentu sepenuhnya benar, banyak diantara mereka yang suka sekali memanipulasi berita. Ini adalah kisah yang menceritakan kehidupan nyata para selebriti yang selama ini selalu kalian harapkan...