Chapter 22

43 8 0
                                    

Entah sudah berapa kali Harry mengecek ponselnya hari ini. Ia merasa Kendall benar-benar tidak berniat untuk menghubunginya sama sekali. Namun, Harry berusaha memahami hal itu karena ia sama bersalahnya di sini. Pria itu mencoba meneleponnya untuk yang terakhir kalinya, walau sebagian besar dirinya tahu bahwa ia tak akan mendapat jawaban apapun.

"Harry?"

Ia langsung menepikan mobilnya saat mendengar suara itu.

"Ken, aku-"

"Kalo kamu mau minta maaf, mending ga usah. Aku udah maafin kok," sergah gadis itu dengan cepat. Nada suaranya tak tertebak.

"Makasih. Oh ya, kamu dimana?" Bisakah ini lebih canggung lagi? Harry menggerutu pada batinnya sendiri.

"Di.."

Sejujurnya tanpa bertanya pun, ia sudah mengetahui jawabannya. Kris menyebutkan semuanya dengan sangat jelas, tapi ia tetap ingin mendengarnya secara langsung. Gadis itu terdiam beberapa saat membuat Harry berasumsi bahwa ia sedang memikirkan alasan-alasan konyol untuk diberikan padanya.

"Di?" Harry mengulangi.

"Cambridge." Kendall mengatakannya dengan sempurna dan Harry cukup terkejut dengan kejujurannya itu.

"Ngapain?"

"Itu.. ada kerjaan di sini." Harry hanya menganggukan kepalanya, walau Kendall jelas tak dapat melihatnya. Untuk beberapa alasan, ia tidak yakin bahwa Kendall datang ke Cambridge untuk sebuah pekerjaan. Namun, ia juga tidak punya cukup bukti untuk menyalahkannya.

"Maaf, harusnya aku bilang sama kamu dari awal," katanya lagi saat menyadari bahwa Harry belum menjawab.

"Ga masalah. Kapan kamu pulang?" Pria itu menghela napas perlahan.

Kendall berdeham sekali sebelum menjawab, "Acaranya besok dan aku pulang ke London lusa."

"Oke, aku bisa jemput."

"Apa?" Gadis itu tampak terkejut. Namun, sebisa mungkin menahan nada bicaranya yang terkesan berlebihan itu.

"Aku bisa jemput. Kenapa? Ga mau?" Harry nyaris tertawa membayangkan wajah khawatirnya.

"Engga, maksudnya kamu pasti sibuk, kan? Lagian London sama Cambridge itu deket, jadi aku bisa pulang sendiri," jelas gadis itu dengan terburu-buru.

"Well, kalo gitu aku bakal telepon kamu lagi nanti. Semangat buat acaranya besok," ujarnya dengan tenang.

"Oke, bye!"

"Bye!"

Setelah mengatakan hal itu, Harry mematikan panggilannya. Ia menyempatkan sedikit waktunya untuk berpikir. Lagi-lagi ia menyadari bahwa selama ini hubungannya dengan Kendall sangatlah canggung, lebih lebih dari saat mereka berteman dan harus diakui bahwa itu cukup aneh, bahkan bagi dirinya sendiri.

Pria itu menggeleng pelan, berusaha menjauhkan segala pemikirannya barusan, tetapi itu tidak berhasil. Suara Kris terus berputar-putar di dalam pikirannya seperti radio rusak. Selama ini, ia selalu mempercayai Kendall. Dalam artian tidak menaruh curiga apapun padanya. Dia gadis yang cukup manis dan Harry bahkan tidak bisa berpikir bahwa ia telah melakukan semua rencana kotor itu dengan ibunya.

Ia merasa asing, tapi batinnya selalu mengingatkan bahwa itu adalah hal yang mungkin saja terjadi. Ia merasa kecewa, tetapi sejujurnya tidak begitu. Ia merasa terluka, tapi lebih terluka saat melihat mata biru Taylor berubah menjadi kemerahan dan penuh dengan air mata. Itu sangat berbeda dan membuatnya semakin tidak mengerti.

❄❄❄

"Dimana Harry?" Sarah bergerak untuk duduk lebih dekat dengan Niall.

PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang