10. Kisah Kelam?Beberapa tahun yang lalu ....
Luvina gemetar ketakutan. Tangan kecilnya berusaha menyingkirkan tangan besar yang melingkari perut ratanya dengan hati-hati.
"Andre ...."
"Hmm?" Andre menyahut pendek, dia terlalu asik mengecup belakang leher Luvina. "Kamu wangi sekali sayang."
"Aku mau pulang," cicit Luvina ketakutan. Dia bahkan tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan. Andre membalik tubuh Luvina, membelai pipi mulus wanita cantik itu dengan tangan besarnya.
Mata sayu cowok itu menatap Vina penuh harap. "Aku antar pulang setelah kita selesaikan ini." Detik berikutnya cowok itu membopong tubuh Luvina dan menjatuhkannya di atas ranjang. Vina meringkuk, kian ketakukan. Sedikitnya dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Jangan seperti ini, aku mohon." Manik hijaunya menyorot hampa.
Andre yang baru saja mengukung tubuh Vina mendongak untuk menatap wajah kekasihnya.
"Kenapa sayang? Kenapa tidak ingin melakukannya denganku? Apakah aku terlalu buruk rupa untuk menjadi teman tidurmu?" tanya Andre dengan raut kecewa.
Vina menggeleng berlebihan. "Bukan, bukan itu maksudku."
Kali ini Andre tersenyum, mendekatkan wajahnya ke wajah Vina. "Kalau begitu, biarkan aku melakukannya."
'Tak bisa mendebat lagi, bibir Vina lebih dulu dibungkam oleh bibir tipis milik Andre. Vina mendorong dada bidang Andre sekuat tenaga hingga cowok itu melepaskan ciuman panasnya.
Terengah-engah, Andre menurunkan ciumannya ke leher Luvina, tangannya tidak tinggal diam dengan membuka satu per satu kancing kemeja Vina tanpa melepaskan ciumannya.
Vina kian gemetar, air meleleh menyusuri pipinya. Dia tidak ingin melakukan ini dan Andre harus mengerti. Itu sebabnya, Vina menarik rambut hitam Andre dengan sisa keberaniannya hingga cowok itu mendongak. Manik hitam yang dipenuhi kabut gairah itu menatap Vina marah. Vina menangis sesegukkan.
"Aku tidak mau melakukan ini. Tolong biarkan aku pulang." Vina memohon.
Andre menjauh dari tubuh Luvina. "Aarrrgh!" teriaknya sembari menjambaki rambut--frustasi.
Dalam sekali tinjuan cermin besar di kamarnya hancur berserakan. "Jadi kau benar-benar 'tak ingin aku sentuh ya? Ok." Andre mendesis marah. Membuang muka enggan menatap kekasihnya. Jika dia memang tidak cukup tampan untuk meniduri gadis secantik Luvina, dia akan memantaskan diri agar Vina 'tak bisa lagi menolaknya. "Jika aku memang tidak cukup tampan untuk tidur denganmu, aku akan berusaha untuk menjadi kekasih yang sempurna untukmu, dengan begitu kau 'tak akan menolakku lagi 'kan, Luvina? Ayok katakan apa yang harus aku lakukan?"
Vina beringsut duduk, mengancingkan kembali kemejanya dengan tangan gemetar. "Bukan begitu Andre, kau tampan. Kau sangat tampan, bukan itu alasanku menolakmu. Aku memang tidak ingin melakukannya sebelum menikah." Vina menelan ludah susah payah. "Lagi pula kita masih sekolah, bahkan baru saja memasuki jenjang SMP." Kali ini Vina menunduk.
Lagi, Andre mendesis, "omong kosong! Aku tidak percaya. Kau membuatku kecewa Luvina." Kaki panjangnya berderap menghampiri Vina, membuat gadis bersurai cokelat kian merapatkan tubuhnya ke headboard ranjang. Ketakutan.
"Diam di sini!" desisnya sembari mencengkeram rahang Vina kuat.
Lalu Andre pergi meninggalkan Vina. Pintu kamar ia kunci dari luar membuat Vina meraung histeris.
Bugh!
Bugh!
"Buka pintunya!" teriak Vina sembari menggedor pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cacophobia [COMPLETED]
Romance[Jangan lupa follow ya teman!] CERITA INI DIIKUT SERTAKAN DALAM CHALLENGE MENULIS BERSAMA MAGEIA PUBLISHER DAN LENTERA SASTRA CAKRAWALA Bagaimana rasanya jika mengidap fobia langka? Misalnya mengidap Cacophobia seperti Luvina Fernandez, mahasiswi se...