36. Sorry
"Aku tidak tahu hidupmu bisa serumit ini," ujar Sultan.
"Aku masih tidak mengerti dengan semua ini," desah Vina. Di atas ranjang milik Sultan wanita itu berbaring terlentang dengan ekspresi rumit.
Sultan menoleh saat mendengar ketukan di pintu. Luvina masih bergeming.
"Sultan, mari makan! Ajak Luvina juga ya!" teriak ibunya dari balik pintu.
"Iya!" Sultan balas berteriak. Dia kembali menatap Luvina yang masih terlihat syok. Entah apa yang wanita itu pikirkan? Wajahnya benar-benar rumit untuk dibaca. "Luvina, mari makan dulu."
"Kau saja," jawab Luvina setelah beberapa detik. Tatapannya lurus ke depan, dengan manik hijau yang lagi-lagi kehilangan binar terangnya.
Sultan menghela napas, ditepuknya sebelah pipi Luvina dengan pelan. "Tidak boleh seperti itu, nanti kau sakit."
Luvina tetap bergeming, hanya manik hijaunya saja yang bergulir melirik Sultan. "Aku tidak sakit, aku ... sekarat."
"Jangan asal bicara!" bentak Sultan spontan sembari menunjuk Luvina dengan tangannya yang dililit perban.
Luvina hanya menanggapinya dengan berkedip-kedip, 'tak peduli.
"Makan dulu."
"Tidak--"
"Aku memaksa!"
Vina menghela napas, kepalanya bergerak ke samping kanan, berhadapan dengan Sultan yang masih terduduk. "Aku tidak bisa makan. Kau pasti mengerti."
Arrrrgggh, wanita benar-benar merepotkan! Jika Vina sakit 'kan dia juga yang dibuat khawatir.
***
Bugh! Bugh!
Bruk!
Pranggg!!
Suara pukulan serta benda pecah memenuhi kamar bernuansa putih itu. Barang-barang berserakan, serpihan kaca bercamput darah terlihat sangat mengerikan.
Adam sesaat membenarkan ucapan Sultan, bahwa dirinya sudah gila. Kakak macam apa yang jatuh cinta pada adiknya sendiri? Kakak macam apa yang dengan begitu brengseknya mencuri ciuman sang adik bahkan saat adiknya masih sangat-sangat polos dan dalam keadaan sadar tidak sadar?
Tidak ada pria yang lebih menjijikan dari Adam Fernandez.
Dia menyayangi Luvina, tapi dia menyakitinya.
Dia mencintai Luvina, tapi dia justru menghancurkan wanita itu.
"BRENGSEK! BRENGSEK! BRENGSEK!!" makinya pada diri sendiri.
Tubuh jangkung itu luruh, bersimpuh dengan kedua lutut menyentuh lantai. Terlihat sangat berantakan dengan wajah kacaunya yang basah.
"Sekarang bagaimana caranya agar aku mendapat maaf dari Luvina?" lirihnya sarat akan luka. Tangisnya kembali pecah, meraung-raung membuat ibunya dan beberapa pelayan semakin gencar berteriak di balik pintu. "Arrrggghhh! HAAHHH!!!"
"ADAM! KAU MENDENGAR MOMY? BUKA PINTUNYA, NAK!"
"ADAM!"
"Tuan Muda, bukalah pintunya. Kasihan Nyonya besar, kami tidak memiliki kunci cadangan!"
Adam menulikan telinga. Untuk kesekian kalinya dia mengangkat kepalan tinju, kali ini mengenai serpihan kaca. Darah yang sudah mulai mengering kembali basah dan bertambah banyak.
"Maaf. Maaf. Maaf--AARRGGHHH!" jeritnya frustasi.
"Aku janji akan menebus kesalahanku," gumamnya dengan suara sumbang.
***
Tiga bulan kemudian ....
"Ada apa lagi hah?!" Sultan nyaris melompat untuk menghajar Adam, jika saja Luvina tidak lebih dulu membentangkan sebelah tangan untuk menahannya.
"Luvina ...." Adam menunduk. "Aku minta maaf, kau boleh marah." Dia meneguk ludah susah payah, kerongkongannya kering, membuat pria itu merasa tercekat. Kali ini Adam memberanikan diri untuk menatap Luvina. "Setelah ini aku akan pergi ke luar negeri untuk mengurus perusahaan baruku ... mungkin aku juga akan menetap di sana. Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi." Wanita bersurai hitam masih diam, hanya menatap Adam tanpa mengatakan apa pun.
Adam melangkah mundur. "Sekali lagi aku minta maaf," ucapnya dengan senyum kikuk. Matanya kembali terasa panas, air mata berkumpul dipelupuk matanya.
Setelah merekam baik-baik wajah sang adik, Adam berbalik pergi. "Aku pergi."
"Kakak!" Vina memanggil dengan suara bergetar. "Aku memaafkanmu!" ucapnya setengah berteriak.
Adam menoleh dengan gerakan lamban, dia benar-benar terkejut. Tangannya terkepal, menahan diri untuk tidak memeluk Luvina yang kini menangis keras.
"Terima kasih, kau benar-benar baik, aku sungguh tidak pantas menjadi kakakmu." Lagi, sulung Fernandez mengukir senyum.
Luvina menggeleng, wajanya basah oleh air mata. Di sampingnya Sultan mendekap wanita itu dari satu sisi. "Tolong berjanji untukku ...." Luvina terisak-isak. "Berjanjilah untuk bahagia, lupakan perasaan terlarang untukku." Tangisnya kembali pecah. Vina memeluk Sultan lalu menjerit di dalam pelukan pria itu, "ak-aku menyayangimu, Kak!"
Karena pesan tersirat bukan tersurat~
See u❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Cacophobia [COMPLETED]
Romance[Jangan lupa follow ya teman!] CERITA INI DIIKUT SERTAKAN DALAM CHALLENGE MENULIS BERSAMA MAGEIA PUBLISHER DAN LENTERA SASTRA CAKRAWALA Bagaimana rasanya jika mengidap fobia langka? Misalnya mengidap Cacophobia seperti Luvina Fernandez, mahasiswi se...