Vote dan komennya jangan lupa ya;))
16. Degupan 'Tak Wajar
Katakanlah dia gila, wanita itu bahkan menolak mentah-mentah ajakan Sultan untuk bermalam. Dalam keadaan seperti ini otaknya benar-benar tidak bekerja.
Beberapa kali Vina menghela napas, duduk seorang diri di depan televisi sembari melamun.
Saat melirik televisi matanya justru menangkap wajah buruk rupa seorang gadis yang sepertinya menjadi korban bully. Berpenampilan cupu, berjerawat, rambut berantakkan--
Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin membasahi pelipisnya. Napasnya mulai sesak karena degupan 'tak wajar yang kian menjadi.
Mati-matian Vina berusaha berdiri, menyeret langkah menuju kamar tidur.
Sampai di kamar cewek berwajah pucat itu pontang-panting mencari obat. Lalu meminumnya dalam sekali telan.
Vina tahu obat tidak akan menyembuhkan Phobia-nya, hanya menekan sistem yang menyebabkan Phobia sementara. Tapi apa boleh buat? Ketika Psikoterapi pun 'tak dapat menyembuhkan Vina, kini wanita itu lebih memilih obat, yang bisa ia telan sewaktu-waktu jika Phobia-nya kambuh.
Bukan tidak ingin, tapi memang tidak bisa.
Lima tahun. Vina menjalani Psikoterapi selama lima tahun sejak ia divonis mengidap Cacophobia. Tapi nihil, tidak ada perubahan yang berarti. Walau psikiater Clara terus membujuk Vina agar tidak menyerah, tapi Vina yang saat itu berusia empat belas tahun sudah merasa lelah dan memutuskan untuk berhenti, berpasrah diri akan takdir pada dirinya.
Jantungnya kembali berdetak normal, napasnya juga mulai teratur. Perlahan kantuk menyerang membuat Vina membaringkan tubuhnya.
"Semoga saat bangun nanti semuanya akan lebih baik."
***
Vina bangun tepat pukul tujuh pagi. Padahal hari ini ia mendapat jadwal kuliah siang, tapi Vina justru bangun pagi. Tidak seperti biasanya.
Karena tidak bisa tidur lagi, akhirnya wanita itu memutuskan untuk membersihkan diri.
Nyaris menghabiskan waktu satu jam untuk mandi, kini Vina duduk di depan cermin dengan krim perawatan wajah di tangannya.
Ditatapnya wajah ayu seorang wanita di cermin itu. Rambut panjang terawat, alis tebal, sepasang mata yang sangat indah, hidung lancip, bibir merah jambu, serta dagu yang--
"Wait." Vina mendekat, memastikan sesuatu yang tertangkap bola matanya. Lebih dekat, semakin dekat, benjolan kecil kemerahan itu 'tak kunjung hilang. Itu artinya benjolan di dagu Vina nyata, bukan sekadar ilusi.
Seketika wajahnya memucat. Kerongkongannya mendadak kering. Sementara itu, tubuhnya terguncang hebat.
"Je-je-je-jera-jerawat ...."
"Aku tidak mungkin buruk rupa!" Kaki gemetarnya mulai berjalan mundur, Luvina menggeleng histeris. "TIDAK MUNGKIN!"
Brugh!
Prangggg!
Cermin itu hancur tepat ketika Vina mengayunkan tangan, melempar krim di tangannya ketakutan.
Rasa takut itu kian mencekam, seakan mencekiknya. Walau sebelumnya tidak pernah mati, tapi Vina merasa nyawanya sedang berada di ujung tanduk.
Tremor. Tubuhnya bergetar parah.
Safira yang baru saja pulang dari rumah sakit mendobrak pintu kamar puterinya--belingsatan.
"LUVINA!!"
"AARRRGGGHHH!" Vina sudah kehilangan kesadarannya. Histeris dengan tangan bercucuran darah. Entah sejak kapan tangannya sudah terkena pecahan kaca?
Safira merengkuh tubuh puterinya, menjauhkan serpihan kaca yang telah bercampur dengan darah dari jangkauan Luvina.
Menghubungi psikiater Clara, Safira mati-matian berusaha menenangkan puterinya.
"Tenanglah," ucap Safira disela isakkannya.
"Jelek, jelek, jelek." Wanita bersurai hitam itu terus menggumamkan kata yang sama. Wajahnya kian memucat.
"AARRRGGHHHH!!"
"Kau cantik sayang," Safira menggeleng histeris. "Kau puteri momy yang paling cantik."
"AARRRGGHHHH!!"
Wajah cantik Vina kini berlumur darah, karena tangan wanita itu yang terus bergerak mencakari pipinya sendiri.
"Luvina." Seseorang datang membuat Safira segera menyeka air matanya.
"Clara, ku mohon cepat tangani Luvina."
Clara mengangguk. Wanita dengan rambut bergelombang itu segera menghampiri Luvina, membisikkan sesuatu ke telinganya.
Perlahan Luvina mulai tenang, napasnya sedikit demi sedikit mulai teratur. "Bagus, kamu sudah mulai tenang. Sekarang ikuti intruksi saya." Dia memberi jeda. "Tarik napas dalam-dalam," Vina mengikuti intruksi itu. "Ke luarkan perlahan dari mulut."
Fyuuuhhh.
"Sekarang kamu istirahat. Yakin semuanya akan baik-baik saja."
Vina mengangguk, kemudian memejamkan matanya.
"Bisa bicara berdua?"
"Tentu," jawab Safira lalu mengajak Clara turun ke lantai satu.
Dua wanita cantik itu duduk berhadapan di halaman belakang.
"Luvina tidak bisa seperti ini terus-menerus." Psikiater muda itu menghela napas. "Apa anda benar-benar tidak bisa membujuk Luvina untuk kembali menjalani terapi?"
Safira tersenyum kosong. Jarinya saling bertaut. "Akhir-akhir ini hubungan saya dengan Luvina tidak bisa dikatakan baik."
"Dan sejak menjalani Psikoterapi waktu itu, dia memutuskan berhenti karena merasa tidak mendapatkan perubahan yang berarti." Safira menunduk sedih. "Sampai saat ini ... Luvina tetap tidak mau melakukan pengobatan apa pun."
Senyum menenangkan terukir jelas di wajah Clara. "Saya harap Luvina dapat berubah pikiran." Jeda tiga detik. "Penyebab terbesar fobia Luvina yang 'tak kunjung sembuh adalah orang-orang dalam masalalu yang menyebabkan traumanya masih berada di sekeliling Luvina."
"Beberapa tahun belakangan ini puteri saya tidak pernah bertemu lagi dengan orang-orang di masalalunya."
"Wah? Benar seperti itu?"
Safira mengangguk.
"Mungkin dengan begitu Luvina akan lebih mudah untuk sembuh. Walau saya lebih yakin berdamai masih menjadi solusi yang terbaik. Luvina hanya perlu menerima dan memaafkan, hanya dengan dua hal itu puteri anda akan terlepas dari masalalu yang membelenggunya."
Safira diam mendengarkan. 'Tak sanggup berkata-kata.
"Luvina butuh lebih banyak dukungan." Beringsut bangun. "Kalau begitu saya pamit."
"Hm, terima kasih."
Ini tidak semudah kelihatannya. Ini ... masalah yang cukup rumit.
Semakin banyak Vote dan Komen, akan semakin cepat update!See u❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Cacophobia [COMPLETED]
Romance[Jangan lupa follow ya teman!] CERITA INI DIIKUT SERTAKAN DALAM CHALLENGE MENULIS BERSAMA MAGEIA PUBLISHER DAN LENTERA SASTRA CAKRAWALA Bagaimana rasanya jika mengidap fobia langka? Misalnya mengidap Cacophobia seperti Luvina Fernandez, mahasiswi se...