Vote⭐⭐⭐
Komen.19. Declaration Of Love
Cinta memang tidak cukup dengan kata-kata, namun cinta perlu dipertegas dengan beberapa kata.
Adam tiba di depan kamar Vina dengan napas putus-putus, pria itu baru saja pulang dari Prancis karena urusan pekerjaan.
Mendengar Luvina sempat kambuh beberapa hari lalu membuatnya tidak bisa berhenti khawatir. Apalagi Safira sampai mendatangkan psikiater ke kediaman mereka.
Dok ... dok ... dok ....
Pintu diketuk tiga kali, namun 'tak ada jawaban dari si pemilik kamar. Adam kembali mengetuk pintu di depannya, kali ini lebih keras.
Tetap tidak ada sahutan.
Akhirnya dia memilih untuk membuka pintu kamar Vina yang kebetulan tidak terkunci. Ah, walau pun terkunci Adam akan tetap masuk dengan mendobrak pintu itu. Tidak peduli walau si pemilik kamar akan marah.
"Vin--" Adam mengurungkan niat untuk berteriak, saat dilihatnya Luvina tertidur dengan pulas di meja rias. "Ckk, apa yang dia lakukan sampai tertidur seperti ini, huh?"
Melangkahkan kaki menghampiri Vina, pria itu mengulurkan tangannya, membelai surai hitam sang adik. Dia menghembuskan napas lega karena wanita di hadapannya tampak baik-baik saja.
Detik berikutnya Adam membawa tubuh Luvina untuk dibaringkan di tempat tidur.
"Aku merindukanmu," ucap Adam sembari mengusap pipi Luvina. Cowok itu berjenggit kaget saat tiba-tiba saja Luvina mencekal tangannya. Tirai mata itu terbuka, menampilkan manik hijau yang begitu indah.
"Kakak." Vina beringsut duduk.
Adam tersenyum. "Bagaimana keadaanmu?"
"Kapan kau kembali?"
Menghela napas, dia menjawab, "baru saja."
"Bukankah seharusnya kau pulang minggu depan?" tanya Vina keheranan.
"Pekerjaanku sudah selesai." Manik biru itu menatap manik hijau di depannya dalam. "Sepertinya kau tidak senang aku kembali ...," kata pria itu dengan nada merajuk.
Mendengar itu Vina segera menubruk tubuh Adam, melepas rindu dengan pelukan. "Aku merindukanmu."
Beberapa saat Adam menahan napas, kemudian dengan perlahan membalas pelukan Luvina.
Sisa malam dihabiskan kakak beradik itu untuk mengobrol, hingga Vina terlelap di pangkuan si pria ber-hoodie abu.
"Kau tumbuh dengan baik Luvina ... semakin hari kau semakin cantik." Adam terkekeh karena ucapannya sendiri. Pria itu membenahi bantal di tempat tidur dan memindahkan tubuh si cewek Cacophobia dari pangkuannya.
"Selamat tidur," ucap Adam setelah meninggalkan kecupan ringan untuk Luvina.
***
Mentari datang, menyebarkan sinar hangat yang menyentuh kulit.
Adam ke luar lebih dulu dari dalam mobil ketika sampai di kampus--demi membukakan pintu untuk Vina.
"Thanks." Bibir tipisnya mengukir sunggingan manis. "Helena sudah menungguku, aku langsung masuk ya."
"Hm, belajarlah dengan baik."
Cup.
"Bye!"
Vina berlari pergi. Sementara Adam berubah sinting hanya karena satu kecupan di pipinya. Pria itu terus tersenyum sembari sesekali menyentuh jejak bibir Vina di pipinya.
Hari ini, Vina memakai rok jeans di atas lutut berwarna baby pink dengan atasan model sabrina berwarna putih. Kecantikannya semakin memancar di bawah sinar matahari pagi.
Saat sedang berlarian mencari Helena, Vina justru menemukan Sultan yang tengah memandangnya.
Senyum cantik merekah hingga ke matanya. "Sultan!"
Yang dipanggil memalingkan wajah dan mempercepat langkah. Membuat Vina mendecak lidah.
Wanita berambut hitam itu kembali berlari demi menyusul pria tampan yang kerap dipanggil Sultan.
Saat jarak di antara mereka kian terkikis Vina melompat menubruk punggung Sultan sambil tertawa. Sultan nyaris terhunyung mencium lantai jika saja tangannya tidak sigap menahan tubuh Luvina dan segera menjaga keseimbangan.
Pria itu berdecak. Manik tajamnya mendelik ke arah Luvina. "Berhenti berbuat ulah, kau benar-benar menyebalkan."
"Tapi aku benar-benar cantik," tukas Vina pongah.
Sultan membenarkan tubuh Vina di punggungnya yang sedikit merosot agar kembali tegap. Vina mengeratkan tangannya di leher Sultan.
Di balik punggung tegap Sultan, Vina mengulum senyum, wajahnya tampak berseri-seri. Sampai akhirnya dia menempelkan pipinya di bahu Sultan. Tidak mau membuang kesempatan untuk melakukan banyal hal bersama sang pujaan hati. "Aku mau makan."
"Lalu?" jawab Sultan 'tak acuh.
"Bawa aku ke cafetaria."
Pria itu mendengkus. "Banyak maunya!"
"Biarkan saja, lagipula kau tidak akan bisa menolak keinginanku," ucap Vina percaya diri.
"Siapa bilang?"
Vina mengangkat wajahnya lalu berbisik di telinga Sultan, "aku." Melihat Sultan membuka mulut, Vina bertindak agresif dengan mencium pipi pria itu.
"Luvina!" desis Sultan kesal.
Vina kembali menyentuh pipi Sultan dengan bibirnya. Kali ini dengan gigitan yang cukup kuat.
Sultan memaki. Vina tertawa.
"Turun."
"Tidak mau."
"Aishh! Kau memang menyebalkan."
"Ayok makan."
"Lama-lama kamu yang saya kunyah!" bentak Sultan saking kesalnya. Lagi-lagi Vina tertawa. Lihatlah, Sultan si cowok kutub bahkan tidak lagi menjaga image-nya.
Sultan menurunkan Vina saat sampai di pintu masuk. Tampak pasrah diseret Vina memasuki cafetaria kampus yang tidak pernah sepi oleh pengunjung.
Bersama Sultan, Vina lupa segalanya. Dia bahkan melupakan niatnya untuk menemui Helena, parahnya bahkan tidak mempedulikan mata kuliah paginya hari ini.
Kesal menunggu makanan. Vina berniat mengusili Sultan, walau ... tidak benar-benar mengusili sih.
Dia mengulurkan tangan. Menggenggam tangan Sultan di atas meja. Sultan mengangkat sebelah alisnya.
"Sultan ...."
"Hm?"
"Mau menjadi pacarku?" pintanya dengan wajah super polos.
Di depannya, Sultan tersedak ludahnya sendiri.
HAHAHAHA
Ajak yang lain buat baca Cacophobia ya, biar makin rame.
See u later❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Cacophobia [COMPLETED]
Romance[Jangan lupa follow ya teman!] CERITA INI DIIKUT SERTAKAN DALAM CHALLENGE MENULIS BERSAMA MAGEIA PUBLISHER DAN LENTERA SASTRA CAKRAWALA Bagaimana rasanya jika mengidap fobia langka? Misalnya mengidap Cacophobia seperti Luvina Fernandez, mahasiswi se...