17. Smirk Devil

81 22 6
                                    


17. Smirk Devil

"Bagaimana kondisimu?"

"Cukup buruk," desah Vina frustasi.

Helena menghela napas. "Apa tidak sebaiknya kau menjalani terapi lagi?"

"Jangan mulai lagi Helena. Kau tahu aku tidak akan mau. Percuma."

"Aku khawatir, kau bahkan 'lepas kendali' hanya karena melihat orang jelek melalui televisi."

Vina menyandarkan kepalanya di kepala sofa, memejamkan mata, kemudian kembali menatap pantulan wajahnya di cermin kecil yang ia genggam nyaris dua puluh empat jam. "Bukan karena itu ... tapi karena jerawat yang tumbuh di wajahku. Helena tolong aku, samar-samar aku masih bisa melihat noda jerawat sialan itu!" rengek Vina dengan wajah nyaris menangis. Perutnya kembali terasa mual. Dia tidak mau menjadi jelek. Tidak mau!

Helena benar-benar khawatir akan kondisi Vina. Jika noda samar di wajahnya saja bisa membuat Vina sepanik ini bagaimana caranya Vina bisa tetap waras sedangkan wanita itu menolak keras untuk berobat?

"Aku ... tidak tahu harus apa," desis Helena putus asa.

"Aku melihat Safira menangis semalaman."

"Safira itu ibumu!" teriak Helena kesal.

Vina memutar bola mata. "Aku pikir ... dia sudah tidak peduli lagi padaku. Dia bahkan sudah tidak mau mendengarku lagi."

"Tidak ada seorang ibu yang tidak mempedulikan anaknya," Helena menjeda. Memijat kepalanya yang berdenyut sakit. "Kau tidak bisa menilai seseorang dari satu sisi saja."

"Kau ini kenapa? Tiba-tiba menceramahiku, heh?"

Anak ini ....

Helena menggeram kesal. Tidak tahu kenapa sampai hari ini masih betah berteman dengan orang semenyebalkan Luvina Fernandez.

***

"Kau minum obat?"

Uhuk! Uhuk!

Vina blingsatan, wajahnya memerah. Saat berhasil menelan semua obatnya, wanita itu berbalik hanya demi mendapati wajah tampan Sultan yang menatapnya khawatir.

Speechless, Vina segera menyeka bibirnya yang basah, tapi Sultan menahannya dan menyeka bibir Vina dengan ujung kemeja pria itu.

"Kau minum obat?" tanya Sultan dengan bodohnya.

"Tidak, aku minum racun!" kesal Vina.

"Apa itu obat penenang?" tanya Sultan sama sekali 'tak terpengaruh dengan bentakkan Vina.

"Kau tahu tentang fobiaku bukan?" Sultan mengangguk. "Tidak usah bertanya lagi."

"Ok, saya pergi," ujar Sultan kembali lagi pada mode beruang kutubnya.

Refleks Vina menarik pergelangan tangan Sultan. "Kau tidak boleh pergi!" Jeda tiga detik. "Setelah membuatku tersedak kau pikir kau bisa pergi begitu saja?"

Sultan mengangkat sebelah alisnya skeptis. Vina menghempas tangan pria itu kasar, bibirnya mengerucut kesal.

"Kenapa lagi?" desah Sultan lelah.

Cacophobia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang