13. Ingin Bahagia

77 23 7
                                    

Tinggalkan jejak;))

13. Ingin Bahagia

Sembari mengerjakan tugas kuliah, Vina menjejalkan mini cookies ke dalam mulutnya. Beberapa kali wanita itu menguap lebar, bahkan melamun seperti saat ini--

Maniknya yang meredup tampak begitu kosong, hampa nan gelap. Saking gelapnya cahaya mungkin bisa tenggelam ke dalam manik hijau itu.

Vina berkedip. Kesepuluh jarinya kembali bergerak heboh. Dia harus segera menyelesaikan tugas individunya, karena ada tugas kelompok yang menantinya di depan mata.

"Hufftt," Vina menggembungkan pipi. Mood-nya benar-benar buruk. "Mengapa momy tetap keras kepala untuk menikah dengan bajingan itu? Padahal aku sama sekali tidak membutuhkan seorang ayah."

"Sayang!"

Tap ... tap ... tap ....

"Safira! Di mana kamu sayang?!"

Braak!

"Ke mana Safira?"

Vina menoleh, kaget melihat Alex berada di dalam kamarnya.

"Untuk apa anda masuk ke kamar saya?!" teriak Vina marah. "Pergi!"

Mengangkat alis, Alex bertanya menyebalkan. "Jika saya menolak?"

Vina mendesis, sebungkus cookies ia lempar tepat mengenai wajah Alex.

Rahang pria itu mengeras. Ditariknya tangan Vina hingga menubruk tubuh tegapnya.

"Lepas brengsek!"

Inilah yang membuat Vina tidak merestui hubungan momy-nya dengan pria bernama Alex. Dia benar-benar bajingan, brengsek, brengsek dan brengsek. Semua kalimat buruk memang pantas disandingkan dengan namanya.

Dia mengaku mencintai Safira, namun bukan sekali dua kali Vina melihat pria itu bersama wanita lain, dan sekarang Alex nekad mengganggu Luvina juga. Sungguh, Vina tidak tahu lagi harus mengatakan apa pada sang momy? Dengan mudahnya Safira tertipu akan paras Alex yang terlihat tampan dalam usianya yang sudah tidak muda lagi.

Vina benar-benar tidak habis pikir.

"Diam!" bentak Alex geram. Vina terus memberontak.

"Jangan kurang ajar!"

"Kau yang bersikap kurang ajar. Kau tahu? Tidak ada gadis yang bermulut kasar seperti dirimu." Tangan Alex terulur membelai pipi Vina dengan punggung tangannya. Bibir pria itu melengkung, mengukir senyum setan. Susah payah Vina menepis tangan Alex.

Sedikit ketakutan, Vina melirik gelisah ke sekeliling kamarnya. Memikirkan cara untuk terlepas dari bajingan yang tengah memeluk tubuhnya. Bahkan dengan kurang ajar menyudutkannya ke dinding.

Pria itu mempertipis jarak. Tidak tahan melihat bibir merah Vina yang bergerak-gerak seakan menggodanya.

Cup!

Vina memalingkan wajah, membuat bibir Alex justru bersentuhan dengan pipi cewek itu.

"Menantangku huh?"

Vina diam 'tak bersuara. Alex kembali mendekatkan wajahnya--

Bugh!

"Aarggh!"

"Mati kau!" teriak Vina penuh amarah. Sejengkal sebelum pria itu kembali melecehkannya, Vina meraih guci yang berada 'tak jauh dari jangkauannya kemudian menghantam kepala Alex sekuat tenaga.

"K-kau!" Alex mendesis marah. Tidak lama kemudian pria itu jatuh 'tak sadarkan diri. Darah yang mengalir dari kepalanya mengotori nyaris seluruh wajah pria itu.

"O'ow." Vina membekap mulutnya. Kaki jenjangnya melangkah mundur. "Dia ... benar-benar mati?" Meraih ponsel di nakas, Vina menghubungi sang momy agar segera pulang. Lalu kabur melarikan diri.

***

Meletakkan jus di atas meja, Helena ikut duduk di samping sang sahabat. "Ada apa? Alex sedang berduaan dengan Aunty Safira?"

Vina menggeleng. "Bukan."

"Lalu?"

Menghela napas, wanita berambut hitam itu menatap Helena dengan wajah datar. "Sepertinya ... dia akan menyusul dady-ku."

"Apa maksudmu?"

"Mati. Memangnya apa lagi?" ujar Vina gemas.

"K-kau membunuhnya?" Helena membuka mulut 'tak percaya. Matanya melebar kala mendengar kata 'mati' meluncur dengan lancarnya dari mulut Vina.

Vina berdecak, "tidak. Aku tidak membunuhnya, lagi pula belum tentu bajingan itu mati," jelas cewek itu membuat Helena memijat pelipisnya. "Bajingan sepertinya tidak mungkin mati hanya karena satu pukulan saja," lanjut Vina kurang yakin.

"Ckk! Ckk! Ckk!" Helena geleng-geleng kepala.

Ponsel Vina bergetar.

"Ya?"

"Luvina!" Vina menjauhkan ponselnya dari telinga. Belum apa-apa dia sudah diteriaki saja. "Apa yang kau lakukan? Belajar menjadi kriminal huh?!"

"Mom-"

"Dengar," Safira memotong. "Jika terjadi sesuatu pada Alex, momy tidak akan segan-segan menjebloskanmu ke dalam penjara."

Tut!

"Dasar gila," Vina memaki kesal. Dadanya naik-turun menahan emosi. Jika dia tidak memutus sambungan lebih dulu, entah berapa lama Safira akan terus menghakiminya. Vina jadi curiga, mungkinkah jika Safira bukan ibu kandungnya?

"Aunty?"

"Ya, aunty-mu!" jawab Vina judes.

"Ibumu!"

"Bukan untuk saat ini!" Wanita berambut hitam itu melotot berang. Harinya selalu saja segaduh ini. Kapan dia bisa hidup tentram?

Khayalan.

Mungkin hanya dalam khayalan hidup Vina terasa tentram nan damai. Tanpa masalah, tanpa luka ....

Memejamkan mata, Vina mengeluh dalam hati.

Tuhan ... aku ingin bahagia,
Aku ingin seperti mereka.

Tertawa tanpa luka. Bukan tertawa untuk menutup luka.

 Bukan tertawa untuk menutup luka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada yang nunggu?🙃

See u❤

Cacophobia [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang