Ketakutan bukan suatu hal yang perlu dihindari
Tidak apa sekali-kali takut
Namun ingatlah
Ketakutan akan terus menghantuimu jika kau terus menerus menghindarinya🌼🌼🌼
Nampaknya cuaca memang sedang tidak bersahabat, malamnya hujan kembali turun dengan lebat, namun kali ini tidak dengan petir dan guntur.
Setelah makan malam bersama, akhirnya keduanya memutuskan balik ke kamarnya masing-masing, Cadee sudah pindah kamar setelah sarapan pagi tadi, kini kamarnya berwarna putih dan luas, namun begitu jauh dengan kamar Aldric.
Pukul 9 malam, Cadee masih belum juga terlelap, teringat akan kejadian semalam. "Apa saat ini Aldric tengah ketakutan juga seperti kemarin?" Tanyanya dalam hati.
Lalu Ia memutuskan untuk pergi ke kamar Aldric, mengetuk terlebih dahulu dan masuk tanpa dipersilahkan.
Disana Cadee melihat Aldric yang tengah fokus dengan leptopnya, memperhatikan serius dengan kaca mata baca yang menggantung di hidung mancungnya, Cadee sampai ingin menarik hidung itu saking gemasnya.
Aldric yang mengetahui Cadee tengah melamun di dekat pintu, menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. "Apa kau hanya numpang melamun disini?" Sindirnya sarkas.
Cadee mengerjap lalu menggeleng pelan, mendekati ranjang dan duduk di sebelah Aldric dengan perlahan. "Aku pikir kamu demam seperti semalam, sekarang 'kan hujan lebat." Jawabnya takut-takut.
Aldric sampai ingin mengigit bibir mungil itu, segala yang dikeluarkan darinya tak pernah gagal untuk membuat Aldric gemas.
"Kau sedang mengerjakan apa?" Tanya Cadee penasaran dan melihat data-data dengan grafik dan angka-angka yang tidak dimengertinya.
"Hanya melihat-lihat." Jawab Aldric santai dan menutup leptop itu--menaruhnya di atas nakas.
Keheningan menyelimuti keduanya, Cadee bingung harus berbuat apa, begitu pun dengan Aldric yang pada dasarnya memang tidak banyak bicara.
"Mau aku buatkan teh atau kopi?" Cadee memecah keheningan disana, menatap mata hitam Aldric dengan lekat.
Tersenyum, Aldric lalu menggeleng dengan cepat.
Cadee kesal dan hendak turun dari ranjang untuk kembali ke kamarnya, namun tangannya ditahan oleh Aldric. "Mau kemana?" Tanyanya lembut sambil menahan senyum di bibirnya.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku." Cadee memajukan bibirnya dan menunduk, sangat imut sekali di mata Aldric.
"Aku sudah menjawab dengan gelengan." Jawabnya dengan ujung bibir yang berkedut menahan tawa.
"I-iya juga sih, tapi kan ..., Ah sudahlah aku akan ke kamar saja." Jawabnya kesal sambil memukul pelan lengan Aldric.
"Jangan." Jawab Aldric cepat. "Disini saja." Lanjutnya membujuk.
Cadee tidak bisa menolak, nyatanya diapun ingin berlama-lama dekat dengan Aldric, di sampingnya dia merasa selalu didengar dan diperhatikan, walau pria es hanya menimpalinya sesekali.
Kaca mata bacanya di taruh di atas nakas, lalu keduanya sama-sama tidur telentang, masih berjarak walau tidak terlalu jauh.
"Kau tau." Aldric membuka suaranya.
Cadee mengalihkan wajahnya menatap Aldric, namun yang ditatap masih fokus melihat ke langit-langit kamar.
"Aku mengidap Astraphobia, phobia pada petir, kilat dan guntur."
Cadee lalu tidur menyamping dan menopangkan tangan kanannya pada kepala, menyimak dengan serius akan penjelasan yang sangat sulit diucapkan seorang penderita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unimaginable Destiny [MIKHELSON'S SERIES 1] (Completed)
Ficção GeralAldric Anthony Mikhelson pewaris Mikhelson Group, perusahaan gas terbesar di dua negara. Pria dengan segala kekayaan berlimpah, penguasa dunia bisnis dan memiliki ketampanan yang diluar batas wajar. Pria dingin dengan segala sifatnya yang membuat pa...