part 2

324 34 0
                                    

Malam tadi Rakai berkoar-koar dalam grup chat tentang urban legend di gunung yang akan kita daki.  Sangat seram, membuatku berpikir dua kali untuk ikut mendaki besok hari. Tapi aku adalah orang yang pantang menjilat ludah sendiri. Lagipula Kive sudah berpengalaman dalam hal daki mendaki. Dia memang berbeda dari wanita biasanya. Aku sangat mengandalkannya dalam hal ini.

Sedikit kuberitahu tentang Kive. Nama aslinya adalah Kiara Veronica, nama yang sangat cantik jika dibandingkan dengan wajahnya yang macho. Dia tak mau dipanggil Kiara, apalagi Veronica. Cukup panggil dia Kive maka dia akan menatap dengan wajah machonya. Satu lagi, dia jago berkelahi karena dari kecil ikut pelatihan judo. Aku sangat menyayangi temanku yang satu ini. Jangan samakan penampilan dengan sifatnya karena walaupun begitu, hatinya sangat baik karena pernah berbagi makan siang ketika aku lupa membawa uang saku.

Kuberitahu juga tentang Rakai. Aku dan dia pernah sama-sama dihukum bernyanyi karena tak menyelesaikan tugas dengan benar. Waktu itu aku sangat siap dengan pita suaraku yang tak begitu buruk digunakan untuk bernyanyi. Rakai, dialah orang yang menghancurkan panggung hukuman yang ingin kujadikan panggung konserku dengan suara yang demi apapun lebih buruk dari piring pecah sekalipun. Maafkan aku, tapi aku memang orangnya suka mengkritik. Tapi Rakai adalah tipe teman yang tak membiarkan teman lainnya kesepian. Dia akrab dengan semua orang di kelas, aku bahkan hampir setiap hari bercanda dengannya. Aku juga sangat menyayangi temanku yang satu ini.

Giliran Tania, entah kenapa aku malas membicarakannya. Bukannya aku tidak adil, Tania adalah sosok yang intinya sangat Zein sukai. Dia gadis manis, feminim, dan manja. Aku pernah berbagi tempat duduk dengannya selama tiga hari dan aku belum menemukan apa yang istimewa darinya. Maafkan kritikku yang satu ini karena sekarang aku sedang menahan kesal. Di depanku, Tania dan Zein saling menautkan tangan melewati jalanan yang menanjak curam. Sementara aku di belakangnya, bersama Rakai.  Kive berada paling depan seolah menjadi penunjuk jalan.

"Kai, masih lama ya?" tanyaku

"Baru satu jam Mei...seperempat dari jarak juga belum nyampe."

Serius, aku baru merasakan bagaimana peluh menetesi kaosku sebanyak ini. Rasakanlah Mei, suruh siapa anak rumahan sepertimu mendaki gunung hanya demi sahabat yang tak tahu perasaanmu yang sebenarnya, batinku. Rakai sesekali berhenti dan menungguku selesai menarik napas dalam-dalam. Semakin ke atas napasku semakin sesak. Kali ini bukan karena sesak melihat Zein dan Tania yang saling memijat kaki dan berbagi minuman.

"Kita istirahat dulu guys," Kive yang berada paling depan menyahut

Bagus, memang seharusnya kita beristirahat dari tadi. Aku merogoh carrier bag-ku dan menemukan banyak obat penambah stamina dan pereda pegal. Aku sangat tahu siapa yang melakukan ini, pasti ibuku.

"Mei, kamu masih kuat kan?" tanya Zein

"Eh? Masih kuat kok. Liat nih kelakuan ibuku, masa kasih obat pereda pegal banyak banget."

"Ibumu kan memang begitu."

Zein peduli padaku, aku tersenyum. Sedikit kulihat wajah Tania yang tak suka karena Zein bertanya padaku. Aku malah membalasnya dengan senyum kemenangan. Maafkan aku, aku tak tahan tak bersikap seperti itu. Karena sejatinya, seorang sahabat dari kecil punya sedikit keunggulan jika dibanding pacar yang bahkan baru mengenal beberapa bulan.

Aku mendekati Rakai dan Kive yang sedang asyik mengobrol. Dari awal aku merasa mereka sangat antusias dengan perjalanan ini.

"Menurut catatan sih setengah jalan lagi Kiv, tapi kayaknya ga bakal sempat hari ini. Mending siap-siap bikin tenda, kasihan yang lain."

"Iya juga, yaudah ayo lanjut keburu malem. Sebentar lagi kita nyampe di pos buat bikin tenda."

Aku bersiap menggendong carrier bag-ku lagi. Rakai dan Kive kembali mengobrol sambil berjalan dan aku berada di belakangnya.

Destiny : The Third Daughter (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang