part 11

94 13 0
                                    

Mulai hari ini aku jadi lebih berhati-hati saat berada dekat tanaman, jangan sampai mereka mendengar apa yang aku keluhkan. Bisa-bisa mereka menyerangku. Aku tak punya banyak waktu setelah pertemuan dengan Nagata di perbatasan kerajaan, itu memberiku sebuah harapan. Bocah kecil itu juga berkata harus melakukan pekerjaannya di kerajaan Rajendra, menjadi pesuruh untuk anak seusianya itu sudah dinamakan penindasan kalau di zamanku. Tapi tampaknya Naga senang-senang saja dengan semuanya.

Aku mencari Kive dan Tania yang kutinggalkan, terakhir kali mereka membicarakan tentang ketampanan pengawal kerajaan. Setelah bebas dari rerimbunan pohon dan tanaman, aku tak melihat mereka di tempat semula. Ranu yang menjadi penunjuk jalanku juga tampak pergi ke arah rumah.

"Ranu, lain kali jangan bolos ikut pelajaran. Katanya kamu mau menjadi pandai seperti Naga, makanya kamu harus belajar membaca."

"Iya kak."

"Aku mau mencari temanku dulu, kamu pulanglah dan bilang pada ibumu kalau kami akan pulang sebentar lagi."

Dengan tampang polosnya dia melangkah pergi. Memberi wejangan seperti itu, rasanya aku sudah menjadi orang yang dewasa. Bukan berarti aku tak pernah bolos pelajaran ya, kuberi nasehat seperti itu supaya terlihat keren di depan anak kecil saja.

Aku sangat percaya, Kive dan Tania tak akan meninggalkanku begitu saja. Mana berani mereka pulang ke rumah Lasmi tanpa membawa daun semanggi yang dimintanya, aku punya firasat akan dimarahi karena terlalu lama berada di luar rumah. Harusnya mereka ada di sawah kalau kuterka dari keberadaan daun semanggi, maafkan aku tak ikut membantu sementara aku membawa berita penting.

"Itu dia orangnya," teriak seseorang

Dua orang tampak mendekatiku.

"Darimana saja kamu?" tanya Kive

"Nanti kuceritakan, tapi kalau kalian mau tahu, aku punya berita yang bagus."

"Apa?"

"Tapi nanti saja deh, sebaiknya kita pulang dulu."

"Itu lihat, gerbangnya tak ada yang jaga, mau mengintip sedikit, Tan?" Kive menatap dengan akal bulus yang muncul di kepalanya

"Boleh juga, Kiv."

"Kalian gak dengerin ya? Ayo kita pulang sebelum dimarahi Lasmi."

"Meika takut dengan emak-emak cerewet itu nih?"

Jangan berlagak dulu Kive, tunggu sampai aku lihat kamu menundukkan kepala karena omongan Lasmi. Harusnya dapat dimengerti kalau di zaman manapun sosok ibu selalu disegani oleh anak-anak.

Dengan sedikit paksaan untuk mematahkan jiwa ketidaktaatan Kive, bahkan Tania mau-mau saja dipengaruhi olehnya akhirnya kami pulang ke rumah Lasmi sambil mengira-ngira bagaimana nasib Rakai dan Zein yang berada di dalam istana. Menikmati daging pangagang, itu satu-satunya yang ada di pikiranku.

Aku kembali berharap Lasmi tak meluapkan amarahnya. Benar saja, Lasmi sedang berada di dalam rumah sambil bersantai di kursi bambu. Terlihat nyaman sekali, aku jadi teringat kursi goyang yang sering dipakai nenekku.

"Kalian membawa daun yang dimintanya kan?" bisikku pada mereka

"Tentu, tanyakan pada dirimu yang tiba-tiba kabur, kamu pikir mudah mencari daun semanggi?"

Aku menggaruk-garukkan kepala merasa tak enak hati, tapi tenang saja akan kubayar itu dengan info yang aku punya.

"Mak Lasmi, ini daun semangginya. Maaf lama karena kami susah mencarinya."

"Bagaimana bisa lama, banyak sekali daun itu di dekat sawah."

Kive dan Tania berpandangan, seperti ada yang salah.

Destiny : The Third Daughter (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang