part 1

819 51 2
                                    

Main characters

Meika

Zein

Rakai

Tania

Kive

*Cerita ini hanya fiktif belaka. Jangan lupa tinggalkan jejak yes

Part 1

Ada yang bilang jika liburan akan sangat menyenangkan jika dihabiskan bersama orang-orang tersayang. Akan aku akui itu jika kali ini aku berhasil membujuk sahabatku yang bernama Zein. Sahabat dari kecil, bahkan kita pernah mandi di satu bath up yang sama ketika masih sekolah dasar kelas dua.

Mengunjungi pusat sains, sepertinya Zein akan suka tempat itu. Dulu sekali aku dan Zein sering pergi berjalan-jalan. Tak sepenuhnya jalan-jalan berdua karena kami ditemani orang tua setiap akhir pekan di awal bulan. Iya, itu dulu sekali. Sekarang, setiap berjalan bersamanya saja aku harus waspada. Zein sudah punya pacar. Namanya Tania, dia gadis manis yang pernah ada. Aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang mulai berhati-hati jika berada di dekatku. Detik ini juga aku harus tahan menerima penolakan kalau Zein tak mau pergi ke pusat sains hanya berdua denganku. Aku paham, dia tak ingin menyakiti hati pacarnya.

Tapi aku adalah Meika, sahabat Zein yang harusnya Tania tak menganggapku sebagai saingannya, tapi begitulah wanita ketika sudah punya pacar. Mereka akan selalu waspada pada siapapun yang berada di dekat pacarnya. Kalau saja aku punya perasaan cinta pada Zein, barulah Tania boleh menganggapku sebagai saingannya. Tapi kenyataan seperti itu memang terjadi. Betul sekali, aku sangat mencintai Zein dan jangan sampai Tania tahu. Biar aku berjuang sendiri dengan caraku.

***

Tak akan ada liburan yang menyenangkan kali ini mulai minggu depan. Aku tak sengaja mendengar di kelas kalau Zein dan Tania akan pergi kencan di taman hiburan. Ya ampun aku baru ingat kalau Zein tak suka dengan tempat seperti itu. Dia punya trauma dengan wahana komidi putar saat kecil. Melihatnya mengangguk menerima permintaan Tania, aku seperti ditimpa kenyataan kalau Zein memang sangat mencintai Tania dan baginya aku adalah butiran debu yang selalu menempeli kehidupannya. Padahal pusat sains lebih cocok untuknya, sungguh. Aku curiga Zein juga akan mau jika diajak Tania pergi ke salon. Kan sudah dibilang, Zein sangat mencintai Tania.

Jam kosong aku manfaatkan berdiam diri di pojokan kelas. Meratapi nasib karena teman-temanku pasti punya agenda liburan masing-masing yang tentu akan menyenangkan. Termasuk dua orang yang juga sedang mengobrol di sampingku.

"Kiv, kayanya lebih seru kalau lebih banyak orang. Apalagi gunung itu terkenal angker sih, mana berani kalau berdua doang."

"Siapa yang mau kita ajak coba? Kebanyakan mereka lebih suka diajak ke mall."

Aku mendengar jelas apa yang mereka bicarakan, tapi aku tak peduli karena masih asyik meratapi nasib. Rakai, salah satu dari mereka melirikku.

"Sshh...Mei...Meika"

Aku berbaik hati memenuhi panggilannya karena kalau tidak, perhatian semua orang di kelas akan tertuju padaku yang sedang berdiam diri di pojokan.

"Apa sih Kai.."

"Mau gak ikut kita?"

"Kemana?"

"Climbing, pas liburan nanti."

"Hah? Seorang Meika mendaki gunung? Gak banget deh, mending rebahan di rumah."

"Tuh kan," ujar Kive

Aku berkata begitu bukan berarti pemalas. Kupikir kegiatan seperti itu hanya bisa dilakukan seorang lelaki. Kecuali Kive, menurutku dia bukan wanita tulen. Wajar saja dia sangat menyukai kegiatan yang memacu adrenalin. Lagipula daripada mendaki gunung, lebih baik kugunakan waktuku menonton drama yang sempat tertunda karena tugas sekolah.

Rakai mendengus, baginya kegiatan mendaki harus dilakukan beramai-ramai. Bukan hanya berdua saja dengan wanita jadi-jadian macam Kive.

"Eh aku pernah dengar kalau Zein suka hal yang berbau dengan alam. Coba kamu ajak dia Kai."

Apalagi ini, Zein memang suka hal yang berbau dengan alam. Secara dia pernah bergabung dengan klub pecinta alam tapi aku yakin Zein menolaknya. Kan dia sudah punya agenda kencan liburan nanti.

Aku melihat Rakai menghampiri meja Zein dan mengobrol dengannya. Tania juga ada di sana, aku ingin mengetahui jawabannya walaupun aku sudah tahu Zein akan menolaknya.

"Kiv, Zein dan Tania mau ikut katanya."

Aku melebarkan mata. Sejak kapan instingku meleset seperti ini? Lagipula aku tak yakin Tania menerima sepenuh hati rencana liburan itu. Seorang wanita metropolitan menjajaki medan terjal akan terasa mustahil. Sama sepertiku, tapi karena ada Zein, kenapa tidak? Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Kai, aku mau ikut dong."

"Tadi bilang mending rebahan di rumah, gimana sih."

"Gak apa, ikut aja. Makin ramai Makin asyik," balas Kive

Kive dan Rakai berpandangan penuh kemenangan. Tampaknya mereka begitu bahagia banyak orang yang mengikuti agenda liburan mereka. Sementara aku tersenyum senang karena bisa merasakan mendaki berdua bersama Zein. Tak sepenuhnya berdua, Iya aku tahu jadi diamlah.

***

Sebenarnya tak enak hati meminta Zein datang ke rumah. Ibuku, dia orang yang amat protektif. Mendengar anaknya akan pergi mendaki rasanya aku seperti diceramahi habis-habisan. Singkatnya, ibuku ingin bilang kalau aku memiliki fisik yang lemah untuk melakukan kegiatan itu. Padahal ingin sekali aku beritahu kalau aku pernah tiga kali memenangkan adu panco di kelas. Pernah juga aku menjadi juara lomba lari mengelilingi kolam ikan. Tapi aku tak memberitahunya, karena aku tahu itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan.

Zeinlah yang bertugas membujuk orang tuaku. Ini strategi ampuh, karena orang tuaku tak meninggalkan sedikit pun keraguan pada seorang Zein.

"Lagian kenapa tiba-tiba mau ikut mendaki?"

"Ya gitu deh. Soalnya bosan kalau di rumah terus. Makasih udah ngebujuk ayah sama ibu."

"Santai. Kan udah dibilang, kalau ada apa-apa bilang aja."

Ya, aku ingat perkataannya yang katanya kalau butuh sesuatu tinggal bilang padanya. Tapi itu sedikit sulit karena hampir setiap hari aku membutukannya. Harusnya Zein tahu aku juga membutuhkannya mengelap peluhku sehabis pelajaran olahraga atau mengantarkanku ke uks jika nyeri saat datang bulan menyerangku. Sayangnya, semua itu hanya Tania yang mendapatkannya.

"Zein, katanya ayahmu mau pergi ke Singapura ya?"

"Iya, lusa dia pergi. Bunda juga ikut."

"Oh, kalau begitu setiap waktu makan datang saja ke rumah. Ibuku yang bilang begitu."

"Gak usah deh, jadi ngerepotin ibumu terus."

"Bukan ibu yang masak kok, aku yang masak."

"Serius? Seorang Meika bisa memasak?"

"Jangan ngeledek ya Zein. Pokoknya datang saja ke rumah nanti."

Zein mengiyakan perkataanku. Sudah lama rasanya tidak berkumpul dalam satu meja makan lagi. Terakhir kali saat merayakan kelulusan SMP dua tahun yang lalu. Di halaman belakang rumahku, dua keluarga sepakat mengadakan pesta untuk kelulusan anak-anak mereka.

Dering telepon berbunyi di sakunya.

"Sebentar ya Mei, ada telepon dari Tania."

Zein menjauh, tak begitu jauh karena aku masih bisa mendengar obrolan mereka. Baru tiga menit, aku bisa mendengarnya.

"Pokoknya aku gamau kamu sakit ya, Tan."

Lima menit, aku masih mendengarnya. Obrolan semakin romantis dan aku ingin berteriak kenapa Zein tak memikirkan perasaan sahabat yang berada di belakangnya. Aku lupa, Zein kan tak tahu perasaanku dan baginya aku hanyalah seorang teman yang tumbuh bersama dari kecil. Bodohnya aku.

Destiny : The Third Daughter (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang