part 24

55 11 0
                                    

"Kemarin tak seharusnya kamu menghindar."

Pengeran dengan tatapan dingin itu mulai lagi. Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa, di sisi lain Kakek Buyut bilang kalau menuruti saja apa yang dikatakannya.

"Apakah akan baik-baik saja aku menampakkan diri di hadapan raja?"

"Aku pikir begitu. Kamu punya seorang ayah? Bagaimana perasaanmu mengetahui ayahmu bersedih selama berhari-hari?"

Tentu sangat sakit. Sekalipun aku belum pernah melihat ayahku begitu bersedih, aku tahu itu akan menyakitkan. Bagaimana jika aku katakan jika ayahku adalah orang paling kuat yang pernah ada, ketika melihatnya selalu wajah bahagia yang ia pancarkan. Terlihat tak memiliki beban, tapi aku tahu dia juga manusia. Barangkali rasa sedih ia sembunyikan, aku sedikit bersyukur tak melihat wajah sedihnya sampai saat ini. Karena jika aku melihatnya, itu pasti menyakitkan seperti apa yang dirasakan pangeran tatapan dingin saat ini.

"Kakakmu..."

"Aku menyadari jika aku dan kakakku itu sangat bertolak belakang dalam hal apapun. Dia sangat visioner, dia suka menjelajah dan suka bekerja dengan orang-orang. Mirip seperti mendiang ibunda."

"Lalu bagaimana ratu..."

"Beliau meninggal saat melahirkan adikku. Seperti sekarang, masa itu juga hari paling bersedih bagi ayahanda. Maka ayahanda berusaha keras menjaga putri ketiga agar tak kehilangan seseorang lagi. Tapi takdir sungguh lucu."

Takdir memang kadang lucu. Membiarkan aku dan teman-temanku terdampar di sini, itu termasuk takdir yang lucu. Tiba-tiba kalau aku diberitahu wajahku mirip dengan putri ketiga, itu menurutku takdir yang lucu.

Setelah lebih sering mendengarnya bercerita, aku baru menyadari jika tak selamanya mata miliknya itu menatap dengan tatapan dingin. Saat bercerita, tatapannya berubah lembut dan menyejukkan. Saat tangannya membuat gestur mengetuk-ngetukkan jari di dagu berusaha mengingat sesuatu, dia bukanlah nampak seperti pangeran tatapan dingin.

Entah siapa yang pertama kali memberinya julukan itu, tatapan dinginnya berasal dari ketidakbiasaannya bertemu dengan orang banyak. Sangat berbeda dengan kakaknya, masa kecilnya dihabiskan bermain dengan adiknya di sekitaran istana. Bicaranya pun seperlunya. Tapi yang aku lihat saat ini adalah bagaimana ia dari tadi banyak bicara mengenai adiknya dan keluarganya. Dia tak menganggapku orang asing, aku bernapas lega. Aneh juga kurasa, aku seperti memiliki sisi lain dari diriku saat ikut mengobrol dengannya.

"Kalau adikku tumbuh dengan normal, dia juga pasti suka menjadi penari. Kamu juga harus menari dengan baik, Mirah."

Itu dia yang membuatku seperti memiliki sisi lain. Dia memanggilku Mirah, berkali-kali aku harus sadar kalau itu juga menjadi namaku di sini.

"Pangeran, kamu tahu tentang penyanderaan orang dari kerajaan Nagendra di sini?"

"Oh, yang itu. Aku sedikit tahu."

"Apa menurutmu itu adalah tindakan yang bagus? Maksudku, bisa saja orang yang dipenjara itu murni tak memiliki kesalahan. Bayangkan, bagaimana orang dari kerajaan sebelah sana ingin meracuni putri ketiga? Aku berani bertaruh mereka tak tahu apapun tentang putri ketiga."

"Itu bukan kewenanganku. Sementara ayahanda sakit karena terlalu larut dalam kesedihan, semua perintahnya wajib dipatuhi. Kenapa bertanya begitu? Apa yang membuatmu berpikir begitu?"

"Bukan apa-apa."

Gawat, membicarakan masalah kerajaan padanya sepertinya bukan hal yang bagus. Bagaimanapun yang dihadapanku ini adalah keturunan darah biru. Apa aku kelihatan seperti menentang sistem kerajaan? Kerajaan ini tak tahu benar bagaimana cara menegakkan keadian.

Destiny : The Third Daughter (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang