part 9

105 14 1
                                    

"Ah, bosan."

Di tengah ketiadaan Lasmi di dapur, seringkali kudengar keluhan dari mulut Kive. Setelah berbelas-belas kali menyalakan tungku api, akhirnya api itu menyala juga.

"Eh, bukannya Rakai bawa pemantik api elektronik ya, lain kali kita pakai itu saja."

Ide bagus atau tidak? Karena tidak yakin ibu-ibu temperamental itu menerimanya.

"Setelah daun singkong, sekarang daun pepaya? Lebih baik aku mati kelaparan saja."

"Mei, kamu mau makan daging?" tanya Kive

"Mustahil."

"Gak mustahil dong. Besok ayo Kita ke pasar lagi, akan kubelikan kalian daging."

"Mana bisa percaya padamu, Kiv."

"Kamu harus percaya, Mei," bela Tania

Pasti ada sesuatu yang membuat mereka bertingkah seperti itu. Apapun itu, asalkan mereka tak mengingkari akan membeli daging, aku tak masalah.

Selesai dengan kerja keras hari ini (aku tak tahu apa yang membuatku begitu lelah padahal hanya memasak dan menyapu halaman), Kive menyarankan agar kabur dari rumah.

"Jangan sampai jiwa penjelajahku sirna begitu saja."

Dengan kedok mencari daun semanggi yang diperintahkan Lasmi, sebelumnya Lasmi berpesan supaya cepat-cepat membawakanya daun itu setelah menemukannya dekat pesawahan. Kive menyeringai, waktu berharga ini tak boleh disia-siakan.

"Kive, bisa kamu antarkan ke tempat dimana Zein berada? Aku rindu, aku mau melihatnya."

"Serahkan saja padaku, Tan."

Aku tahu ini bukan ide yang bagus, tapi kalau sampai tak melakukan apapun untuk waktu yang lama, mungkin kami akan terjebak disini selamanya. Ini sudah hari ketiga sejak terjatuh dari jurang. Normalnya, aku dan teman-temanku sudah harus kembali ke rumah kemarin. Normal pula jika orang tuaku khawatir dan memutuskan memanggil tim sar untuk mencari keberadaanku di gunung antah berantah padahal sebelumnya  mereka melarangnya. Aku sudah berjanji pada ayah dan ibu akan pulang tepat waktu bersama Zein, jika tak pulang maka silahkan usir aku dari rumah dan cari anak baru, begitu ucapanku pada mereka sebelum memutuskan pergi mendaki. Matilah aku, setelah ini mungkin aku benar-benar diusir dan mereka sedang sibuk mencari anak baru.

Sebenarnya yang dilakukan Kive hanya memutari kampung kesana kemari, bilangnya yakin kalau Rakai dan Zein harusnya kalau tak bermain dengan kerbau di sawah pasti membabat habis tanaman dengan parang.

"Mereka curang, pasti diajak Suwiryo berburu pakai panah."

Di depan tempatku berdiri aku yakin sekali bangunan dengan gerbang besar itu adalah istana. Gerbangnya sedikit terbuka, beberapa orang yang tampak keluar masuk juga asing untuk kulihat dengan pakaian yang sedikit berbeda dari penduduk kebanyakan. Mereka menggunakan kalung, anting dan ikat pinggang emas. Beberapa juga ada yang memakai selendang, mirip seperti pakaian di film kolosal padahal bukan seleraku, aku dipaksa Zein menontonnya saat memilih film keluarga di bioskop.

"Kalian dengar itu? Suara gesekan parang di dalam istana, apa mereka sedang berlatih berperang di sana?"

Mungkin saja. Lalu aku melihat Ranu juga berdiri tak jauh dari tempatku berdiri.

"Ranu!!!" aku memberi kode supaya dia mendekat

Dia melangkah lincah sekali, benar-benar mengingatkan pada sepupuku yang hanya kutemui setahun dua kali saat liburan.

"Bapakmu mana?"

"Di dalam istana, sedang diperintah raja."

"Dengan dua orang temanku juga kan?"

Dia mengangguk. Enak sekali nasib Rakai dan Zein yang bisa menikmati indahnya istana sementara aku di rumah dipekerjakannya bagai babu.

"Istana ya?"

Kive lagi-lagi menyeringai, kapan lagi kami bisa mengunjungi istana kerajaan betulan. Mungkin saja di sana aku bisa disandingkan masakan daging yang lezat. Bukan daging babi dan tikus tentu saja.

"Hanya kaum bangsawan yang bisa masuk ke sana," kata Ranu yang tiba-tiba menohok jantungku

"Lalu bapakmu boleh masuk?"

"Laki-laki yang diwajibkan berperang boleh masuk ke sana, juga rakyat jelata yang mempunyai keperluan sangat penting," jawab Ranu

Apa-apaan pemisahan berdasarkan kasta ini. Tapi aku kagum pada Ranu yang sudah bisa memahami perbedaan dengan usianya yang masih belia.

"Tapi yah, sebenarnya aku juga harusnya ikut berperang dengan keahlian bertarungku, kau tahu? Harusnya aku juga boleh masuk ke istana," kata Kive

"Bertemu dengan pasangan juga harusnya merupakan keperluan yang sangat penting kan? Bagaimana kalau Zein terluka? Aku juga perlu masuk ke istana," kedengaran seperti rengekan yang keluar dari mulut Tania

Mereka memulai lagi. Aku tahu untuk sekarang kami tak punya apa-apa. Ya, kami rakyat jelata yang tak punya nilai di mata raja. Tapi menuruti segala peraturan yang ada adalah perlu. Aku tak boleh memasuki istana untuk sekarang ini. Kalau meminta sedikit olahan daging adalah hal yang penting, aku sudah memasukinya dari tadi.

"Ranu, apa hukumannya jika ada orang masuk sembarangan ke istana?" tanyaku

"Di penjara di ruang bawah tanah tanpa obor."

Lihat? Tania dan Kive tampaknya merinding setengah mati.

"Sudahlah, kalian jangan berbuat macam-macam. Kita tunggu saja sambil mencari apa yang Lasmi perintahkan."

Bahkan aku hampir lupa jika Lasmi sedang berharap pada kami. Sudah hampir kira-kira satu jam sejak aku keluar dari rumah dan belum menemukan apa yang Lasmi perintahkan pada kami, mencari tanaman semanggi.

"Mending kita cari tanaman semanggi saja," kataku

Ranu melanjutkan langkahnya, aku baru sadar ternyata dari tadi dia memakai gelang plastik yang aku beri kemarin. Gelang yang dikata murahan tetapi dia mau memakainya juga. Pasti di matanya itu benda yang paling keren, aku jadi bangga pada diriku yang telah menghadiahinya.

"Eh, Ranu, kamu mau kemana? Tak bermain bersama teman-temanmu?"

Aku berkata begitu karena sebelum berjalan kesini, aku melihat banyak anak-anak yang tampaknya sedang asyik bermain dengan permainan yang aku tak mengerti. Kupikir Ranu bergabung dengan mereka, tetapi setelah mengamati untuk yang kedua kalinya, dia tidak ada di sana.

"Teman yang mana? Aku tak punya banyak teman."

Ranu kemudian pergi lagi ke arah hutan belantara. Aku membiarkannya. Anak jaman dulu memang berbeda, hutan saja dijadikan tempat bermain. Mungkin karena itu saat remaja, laki-laki tumbuh dengan badan yang perkasa dan gagah. Berbeda sekali dengan badan Rakai dan Zein yang begitu kurus. Ah tapi kalau untuk Zein, badannya sangat ideal menurutku.

Aku bergabung dengan Kive dan Tania yang tampaknya sebal tak bisa masuk ke dalam istana.

"Tan, coba kita lihat para pengawal kerajaan itu, menurutmu siapa yang paling tampan?" Kive menunjuk para pengawal yang memang sudah berada di depan gerbang sejak tadi

"Tak ada yang lebih tampan dari Zein."

"Yang aku minta bukan membandingkan dengan Zein, tapi lihat di antara pengawal itu, mana yang paling tampan?"

"Emm...yang paling pinggir boleh juga."

"Nah kan, aku juga berpikiran sama. Badannya juga kelihatan paling atletis kan?"

"Iya sih. Kiv, kamu juga suka laki-laki? Kupikir kamu..."

"Jangan berpikiran sembarangan."

Aku benar-benar tak selera dengan obrolan dua orang itu. Lagian aku tak yakin para pengawal itu masih bujangan. Kelihatannya mereka semua sudah beristri mau sebagaimana tampan pun juga.

Keberadaan Ranu yang hampir menghilang ditelan rerimbunan tanaman menuju hutan mengalihkan lebih banyak  perhatianku. Hutan itu, tak takutkah dia dengan babi hutan atau harimau yang barangkali muncul tiba-tiba? Refleks kakiku melangkah seperti berusaha mengejarnya. Setidaknya lebih aman kalau Ranu pergi dengan orang yang lebih dewasa sepertku. Daripada bergabung dengan dua orang yang memperebutkan pengawal kerajaan kan lebih baik aku pergi.

Destiny : The Third Daughter (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang