part 22

60 11 0
                                    

Pertemuan kali ini, bunga mawar yang berada di taman ikut andil dalam pembicaraan. Aku hanya bisa mendengarkan dengan seksama kalau saat kecil dia pernah tertusuk duri mawar untuk pertama kalinya. Sepertinya pangeran yang satu ini tak pernah merasakan tertusuk jarum jahit saat sedang menjahit piyama yang sobek. Aku hanya ingin bilang kalau hal buruk yang dialaminya lebih baik jika dibandingkan nasib orang lain. Untung dia tak bercerita kalau pernah tertusuk duri durian, aku akan sangat mengasihaninya kalau itu terjadi.

Jadi, saat ia dulu berusia delapan tahun, dalam hal ini putri ketiga masih berusia enam tahun, mereka masih sering bermain bersama. Permainan apapun itu yang bisa dilakukan di dalam istana. Hanya permainan kecil yang tidak memerlukan banyak tenaga, putri ketiga tak akan mampu bertahan dengan tubuhnya yang sesekali melemah. Mulai saat itu, darah sering keluar dari hidungnya. Sampai akhirnya selama beberapa hari dia hanya bisa terbaring di tempat tidur.

"Aku ingat sekali dia merengek ingin melihat bunga mawar di taman dengan darah di hidung yang belum sempat diusap. Dia itu polos sekali."

Aku bisa memahami bagaimana kebahagiaannya mulai terenggut. Ingin melihat bunga mawar, harusnya itu hal yang mudah dilakukan tanpa bantuan orang lain. Tapi baginya, semuanya tak bisa ia lakukan sendiri. Punya penyakit yang serius, mungkin dia masih belum mengerti. Tetesan darah di hidung dianggapnya bukan sebagai hal yang perlu dikhawatirkan.

Berbanding terbalik denganku dulu. Saat aku masih kelas tiga sekolah dasar, aku pernah sekali mengalami mimisan. Kalian tahu apa yang kupikirkan setelah itu karena demi apapun aku sedang asyik menonton kartun di TV saat tiba-tiba cairan merah mendarat di kakiku yang terlipat. Heboh betul, ibuku yang sedang memasak langsung terbirit-birit menemuiku.

"Bu...ibu...Meika mimisan. Tolong...ibu...kayaknya Meika punya kanker. Cepat bawa ke rumah sakit ibu. Ah, darahnya tambah banyak bu, takut bu..."

Aku sampai tak sadar kalau yang ibu gunakan untuk mengelap hidungku adalah serbet bekas bersih-bersih dari dapur. Pantas baunya tak enak waktu itu.

"Jangan ngomong sembarangan. Kanker apanya, kamu sih kalau mengupil jangan terlalu dalem, Mei, jadi berdarah kan. Sana cuci muka."

Ibuku tak seromantis ibu di sinetron yang langsung membawaku ke rumah sakit saat demam tak kunjung sembuh dalam sehari. Minimal tak sembuh dalam seminggu, baru aku akan dibawanya ke rumah sakit. Tapi itu tak pernah terjadi, aku ini anak yang sehat. Beruntungnya aku setelah mendengar pangeran bercerita tentang adiknya.

"Dia selalu suka jika setiap hari di samping kamarnya ada bunga mawar segar. Aku yang setiap hari mengganti bunga itu, dia senang bukan main. Ucapan terima kasih terus keluar dari mulutnya walau itu tak perlu. Bahkan sampai saatnya dia kesulitan berbicara, menggunakan isyarat menjadi jalan pintasnya."

Aku masih mendengar dengan setia.

"Ah, maaf aku jadi keterusan mengingatnya. Maaf juga membuatmu tak nyaman," lanjutnya

Aku menggeleng pelan. Tak salah menceritakan kisah sedih pada orang lain, asalkan dia memahami kalau ada dua tipe orang untuk itu. Tipe pertama, dia akan sepenuh hati bersimpati dan turut ikut bersedih mendengar ceritanya. Tipe kedua, dia mungkin hanya bisa mendengar dan berpura-pura bersimpati, bahkan tak memedulikan apa yang diceritakannya.

Nampaknya aku percampuran dari kedua itu. Karena pengeran memilihku untuk menjadi pendengarnya, aku selalu dikenal sebagai pendengar yang baik. Mungkin aku tak benar-benar bersimpati karena aku pun tak tahu bagaimana persisnya putri ketiga itu. Tak mungkin aku membayangkan diriku yang juga terbaring di kamar sambil memandang mawar di samping kasur. Atau mungkin iya, aku jadi membayangkan diriku terbaring di kasur istana. Dan itu bukan hal yang menyenangkan.

Destiny : The Third Daughter (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang