part 33

69 10 0
                                    

Di mata warga Nagendra, kami kumpulan orang aneh juga tampak mendapat perhatian dari mereka seperti awal bertemu. Selepas perang tempo hari, tak sedikit yang memuji kami dalam mengungkap kebenaran. Ah, padahal niat kami hanya ingin membebaskan diri. Kehadiran Bang Sandy juga semakin menjadi daya tarik. Awalnya mungkin mereka akan membenci karena isu dia terlibat dalam peracunan putri ketiga. Sekarang dia terbebas, Pak Cokro bahkan kembali menawarkan anak gadisnya pada Bang Sandy setelah ditolak Rakai dan Zein.

Justru Kive yang maju menantang dan menolaknya.

"Maaf, Pak Cok, dia masih harus menyelesaikan banyak hal."

Di tengah-tengah suasana kampung Nagendra yang juga sedang mempersiapkan pesta perdamaian, datang Nagata berlari ke arah kami.

"Kak, bagaimana cara kalian kembali, apakah sudah tahu caranya?" tanyanya tiba-tiba

"Belum tahu, mungkin tinggal lakukan hal yang sama seperti ketika sampai di sini."

"Ya, itu bisa dicoba. Di buku catatan ramalan halaman terakhir, penulis rupanya meramal kalian."

"Apa??"

"Awalnya tak yakin, tapi setelah berdiskusi dengan Kakek Buyut dan Nyi Wulan aku yakin itu kalian."

"Apa katanya?"

"Malam purnama, ketika yang seharusnya kembali maka akan kembali. Jika tidak, kalian akan menunggu purnama berikutnya untuk bisa kembali."

Kalau begitu malam ini. Kemarin malam aku melihat bulannya sedikit lagi akan penuh. Meski tak pandai berhitung, aku bisa mengira-ngira.

"Memang betul malam ini. Pesta panen selalu diadakan di hari malam purnama."
Rasanya agak mendebarkan. Lagi-lagi aku tercengang pada ramalan.

***

Yang seharusnya kembali maka akan kembali. Perjalanan gila apa lagi kali ini. Malam-malam buta menyusuri hutan, aku yakin bahkan beberapa orang malas melakukannya. Tapi bagi kami ini adalah sebuah keharusan. Tak ada alasan untuk menunggu lebih lama lagi, aku dibuat terharu ketika seluruh penduduk di pesta panen mengucapkan selamat tinggal pada kami. Beberapa dari mereka membawakan makanan, jimat, serta surat yang ditulis di kertas kusut. Benar-benar potret sebuah perpisahan.

Pertama kali datang, kami ditatapnya dengan tatapan sinis. Saatnya pulang, kami ditatapnya dengan tatapan hangat. Mereka orang-orang baik, dua kerajaan yang tak tercatat dalam buku sejarah sangat menarik. Seterusnya, satu-satunya harapanku adalah mereka selamanya berdamai. Nyatanya banyak orang yang selama ini menginginkan itu. Tak akan ada lagi kekacauan yang dibuat. Mereka tinggal di bawah langit berbintang yang sama, makan dari tanaman yang tumbuh di atas tanah yang sama, bercermin pada kekacauan yang bahkan terjadi di masa depan, aku mempertanyakan mengapa harus ada permusuhan.

Berteman adalah hal yang paling baik. Sama seperti yang aku rasakan malam ini, katanya kami hanya harus mengikuti kemana arah terbangnya kunang-kunang. Jangan takut, bahkan bulan bersinar mengikuti. Senter yang menyorot hanya ada tiga dari enam orang yang berjalan, sehingga setiap orang yang mempunyai senter berjalan dengan orang lainnya yang tak punya senter.

"Jangan nempel-nempel padaku, Kai."

"Kamu bawa senter gak becus, sini aku aja."

"Gak."

Di depanku ada Kive yang dengan senang hati memberikan senternya pada Bang Sandy. Anak itu tersenyum-senyum saja sejak perjalanan bermula. Aku menatap lurus ke depan, tak ingin melihat ke samping karena itu akan membuatku sakit hati.

Kunang-kunang yang terbang pelan entah sampai kapan mau berhenti. Suara-suara serangga mulai membuatku merinding. Untungnya, carrier bag yang kubawa tak berat sama sekali. Entah kemana semua isinya. Untung Lasmi tak membuangnya, bahkan dia malu mengakui mencuci baju-baju aneh kami saat kami tak ada. Kalau tahu dia baik begitu, tentu aku tak akan membantah perintahnya. Tapi sisi menyebalkannya tak bisa kuterima begitu saja.

Destiny : The Third Daughter (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang