part 35

95 13 0
                                    

Aku berjinjit menggapai tembok penghalang dua rumah. Pakaianku amat rapih hari ini, minggu kesekian kalinya dimana menghabiskan waktu di hari minggu dengan menghirup udara segar itu lebih menyenangkan dibanding bergumul di balik selimut bagai koala busung lapar.

"Zein ayo! Dasar lelet."

Menyadari teriakanku tak dogubris, aku melompati tembok itu dan...mendarat dengan tidak elit. Suara tubuh jatuh terdengar oleh diriku sendiri, ah untung yang di bawahku itu rumput-rumput halus nan lembut.

"Bunda! Ada maling nih."

Zein tepat keluar dengan posisiku yang tak bisa dibilang bagus. Aku bangkit dan menghampirinya.

"Maling bego mana yang dateng pagi-pagi!" kataku

Hari minggu ini kami berlima membuat janji bertemu di kafe tempat Bang Sandy bekerja. Banyak hal yang harus dirayakan. Ujian akhir telah berlalu, aku hanya harus menunggu acara perpisahan dilaksanakan yaitu minggu depan. Betapa bahagianya aku mendengar di grup chat jika Bang Sandy juga telah lulus mengerjakan tugas skripsinya. Dia hanya harus menunggu acara wisuda dilaksanakan.

Berapa bulan telah berlalu? Sekitar lima bulan kurasa. Waktu yang lama dan aku menyadari setelah kembali dari gunung itu, waktu amatlah berharga. Energiku penuh, rasanya banyak hal yang harus aku lakukan. Kabar baik dari seorang Meika adalah belum pernah aku merasa sesenang ini, apalagi saat melihat soal ujian tempo hari yang bagai menari-nari di depan mata. Amat mudah, aku yakin dapat nilai memuaskan. Pokoknya aku bahagia.

Jangan tanya bagaimana hubunganku dengan Zein kemudian, semuanya oke. Aku mulai menerima kenyataan, setelah dipikir-pikir memang sebaiknya aku dan dia tetap seperti ini.

Roda sepeda berhenti di depan halte, di sana sedang duduk salah seorang teman. Senyumnya kemudian sumringah melihat kedatangan kami.

"Ayo, yang lain pasti udah nungguin kita."

Tania duduk di balik punggung Zein sambil memegangi pinggangnya. Roda sepeda kembali melaju, sengaja aku percepat supaya bisa mendahului mereka. Hei, aku tak dibayar untuk menonton pemandangan yang masih sedikit menyakitkan.

"Ayo balapan, yang kalah traktir es krim jumbo."

"Curang, mana bisa. Kamu gak ngebonceng siapa-siapa, Mei."

"Zein, emangnya aku berat ya?"

"Eh bukan begitu, Tan. Maksudnya, setiap orang emang harus mengeluarkan tenaga ekstra saat beban bertambah."

"Tuh kan, berarti aku berat ya?"

"Enggak kok."

"Bohong."

"Yaudah iya."

"Dih jahat."

Aku jadi berpikir kalau punya pacar akan merepotkan. Untuk sekarang, berteman dengan semua orang adalah pilihan yang terbaik.

Kafe yang terletak di pinggir jalan sepertinya tak terlalu ramai meski sekarang hari minggu. Aku baru ingat kata Bang Sandy jika itu kafe baru. Beruntung dia langsung diterima bekerja untuk membayar wisuda katanya. Jalan keluar bisa datang dari arah mana saja, Bang Sandy akhirnya mulai mengerti tentang itu.

Memasuki pintu kafe, aku langsung disambut oleh pegawainya yang gagah perkasa di balik seragam baristanya. Aku yakin kafe ini akan populer dalam beberapa waktu dekat.

"Ini dia orangnya yang berjingkrak-jingkrak pas ujian selesai," celetuk Kive

"Lega, akhirnya penderitaan belajar selesai."

"Selesai? Memangnya kamu gak ikut ujian masuk perguruan tinggi?" tanya Rakai

"Loh? Memangnya harus belajar lagi?"

Destiny : The Third Daughter (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang