part 16

72 9 0
                                    

Sandy, dia menyebutnya sebagai mahasiswa semester akhir. Agaknya Naga tak mengerti saat berbincang dengannya sambil memberi makan kuda beberapa minggu lalu. Digambarkan dengan wajah yang kadang menampakkan kepanikannya di setiap suasana.

"Waktu pertama kali bertemu aku merasa kasihan padanya. Banyak penduduk yang menjadikannya bahan tontonan dan dia kelihatan panik sekali."

"Kami bisa memahami kepanikan itu," balas Zein

Untung saja, aku ditakdirkan datang ke dunia bersama teman-teman yang  errr, entah aku harus bersyukur atau tidak berteman dengan mereka yang beberapa memiliki masalah dengan akhlaknya. Kive misalnya.

Selama mengerjakan pekerjaan di sekitar kerajaan, Nagata dan Sandy menjadi sering berbicara. Karena Naga masih dihitung sebagai anak-anak, wajah tenangnya mungkin membuat Sandy nyaman dibanding penduduk lain yang kadang menatap dengan wajah sangar.

"Bang Sandy nasibnya sama denganku, dia tak punya ibu. Tapi dia lebih beruntung karena masih punya seorang ayah."

Kadang-kadang Naga dan Sandy menghabiskan waktu senggangnya dengan bersantai di bawah pohon. Di situ Sandy meluap-luapkan keluh kesahnya, bagaimana dia bisa berada di sini padahal waktu itu dia juga sedang mendaki. Bedanya dia mendaki sendirian, sungguh sangat jantan. Pemikiran yang sama sepertiku saat menghadapi situasi seperti itu, sebenarnya mengapa tiba-tiba aku dan teman-temanku berada di sini. Harusnya kami sudah menancapkan bendera di puncak lalu pulang dengan selamat.

Bukankah sudah kubilang kalau Naga adalah anak yang sangat luar biasa. Pengetahuannya sangat luas bahkan gaya bicaranya terlihat berwibawa. Karenanya dia tak punya teman hingga suatu hari saat dia hendak mencari buah sawo di hutan, dia bertemu dengan bocah kecil yang menangis. Bocah itu menyuarakan isi hatinya karena teman-teman seusianya kadang-kadang memang tak bisa diajak berteman. Permasalah yang klasik dalam pertemanan bocah, saling mengejek. Ayahnya, Suwiryo, memang pengabdi setia pada Raja Nagendra. Kelihatan seperti terlalu mencari perhatian, tapi ketahuilah, apakah salah jika kita menaruh kesetiaan pada sesuatu yang kita tempati? Kurasa tidak.

"Waktu aku seumuran Ranu, waktuku juga kuhabiskan dengan menangis. Sampai ada orang yang dikenal orang sebagai Kakek Buyut, dia mengurusku dengan syarat aku juga harus membantunya ikut bekerja untuk kerajaan."

Kurang lebih tiga minggu Sandy dicapnya sebagai penduduk baru di Kerajaan Rajendra, lumayan lama. Keluarganya mungkin sudah mengadakan tahlilan sepeninggalnya. Tak ada yang tahu kalau sebenarnya dia masih hidup, hanya berbeda dimensi. Aku jadi berpikir kalau sebenarnya aku sudah mati, dunia yang kita tempati semacam tempat dimana orang-orang mati yang membuat kehidupan baru. Pikiranku semakin liar, Naga dengan baik hati mematahkannya.

"Aku sudah mempelajari dari beberapa buku, kalian tak sepenuhnya mati. Bang Sandy juga berpikiran begitu tapi jika suatu saat kalian bisa kembali ke asal, kalian masih bernyawa."

"Yang kamu bilang tak sepenuhnya mati, jadi, maksudmu?"

"Aku juga tak tau caranya bagaimana orang dari masa depan kembali ke asalnya. Bang Sandy pernah memutari hutan mencari jalan keluar, tapi dia selalu melewati jalur yang sama selama tiga jam dia berjalan. Kalau kalian memang tak bisa kembali, kalian akan menghabiskan sisa umur di sini."

Tidak, tidak, masih banyak yang ingin kulakukan di rumah maupun di sekolah. Menghabiskan waktu di sini terlihat sangat membuang-buang waktu.

"Tapi untuk terhubung ke dunia kalian, aku bisa melakukannya."

"Bagaimana caranya?"

"Harusnya tak dibicarakan di sini. Penduduk bisa datang sewaktu-waktu."

Sudah lama kami memikirkan agar bisa menyebrangi batas kerajaan ini, hanya tinggal melangkah. Tetapi memperhitungkan hukuman sangat perlu. Lagipula kami bukan bagian dari dua kerajaan itu, harusnya tak dikenakan hukuman.

Destiny : The Third Daughter (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang