part 8

114 14 0
                                    

Ide yang bagus dari Tania. Jadi kami pergi ke sungai lebih cepat dari kemarin. Kami mandi saling bergantian. Saat yang lain mandi, yang lainnya menjaga intens. Jangan sampai dia datang dari arah seperti biasanya. Ada juga penduduk lain yang pagi-pagi sudah berada di sungai.

"Jangan khawatir, Kasman biasanya tak datang di waktu begini. Kalian mandi sajalah," kata seorang perempuan muda

Belum lama aku berendam tiba-tiba perempuan muda itu berteriak.

"Aaa ada Kasman kedua."

Aku panik menutupi diri dengan kain yang sudah basah. Siapa lagi Kasman kedua? Kampung ini benar-benar tak bisa membuatku tenang. Benar saja, dari balik pohon bambu kemudian aku melihat perawakan laki-laki dengan pakaian khas penduduk setempat.

"Astaga, itu bukan Kasman. Itu Kiveman."

"Kiveee...jangan bikin panik dong. Buatlah dirimu seperti wanita baru boleh ke sini," teriak Tania

Kive hanya menyengir kuda. Dia menyeburkan diri ke sungai, mencipratkan air kemana-mana. Perempuan muda yang tadi berteriak hanya menatap heran sekaligus was-was.

"Dia perempuan kok," ujar Tania menjawab keheranannya.

Tak ada jam yang bisa kugunakan untuk memperkirakakn waktu. Tapi melihat matahari yang mulai nampak dari arah timur, aku segera cepat-cepat menyelesaikan mandi. Penduduk lain pun banyak yang sudah berdatangan. Beruntung aku datang lebih pagi, membayangkan berendam bersama dengan puluhan orang yang aku tak tahu mungkin saja salah satu dari mereka menderita bisulan atau panuan bisa membuatku stres.

Aku selesai lebih dulu, di dalam air tadi aku menahan perih karena luka di kaki yang belum kering. Aku harus membalutnya lagi dengan perban agar tak terinfeksi.

"Berendam di sungai seru juga," kata Kive di perjalanan pulang

Betul, aku setuju. Apalagi di sekelilingnya yang kulihat hanya pemandangan hijau nan menyegarkan mata. Kalau saja aku bisa berada di sana lebih lama, tapi kampung ini benar-benar tak aman. Orang gila Kasman bisa datang sewaktu-waktu membuat puluhan perempuan heboh dan mengumpatnya supaya pergi. Merepotkan, harusnya penduduk sedikit kreatif dengan membangun bilik mandi sendiri, mengalirkan air melalui pipa, dan memasang shower di dalamnya. Sadar Mei, kamu sedang bukan berada di zamanmu.

Sekembalinya dari sungai, aku tak tahu rupanya Lasmi dan Ranu selesai lebih dulu membersihkan diri. Bahkan kulihat satu ember kain sudah dicuci. Aku terlalu menikmati suasana sehingga tak menyadari keberadaan mereka di sungai. Dia memberi kami pakaian sementara kain yang menempel di tubuhku ini dikeringkan di bawah sinar matahari.

"Ini, pakai. Siapa yang menyuruh kamu pakai pakaian begitu? Perempuan tak punya tatakrama," oceh Lasmi pada Kive

Kive menggeleng. Dia tak mau memakai kain itu, dia tak punya payudara, maksudku, payudaranya sangat kecil untuk ukuran seorang wanita.

"Aku sudah repot-repot membeli untuk kalian, tak mau menghargai pemberian orang hah?"

Aku memberi kode supaya menurutinya saja. Kemudian, Lasmi tampak berani menyeret Kive ke dalam kamar. Kive berteriak keras meminta tolong, saat itu pula aku tahu dia sedang ditelanjangi. Rakai dan Zein yang tiba-tiba muncul entah dari mana ikut bingung kenapa Kive berteriak seperti itu. Teriakannya seperti wanita normal, tapi tingkahnya tidak.

"Lihat saja Kai, Kive akan memberikan kejutan," kataku

"Eh, kalian darimana?" tanya Tania

"Mandi di sungai."

"Sungai...maksudmu?"

"Sungai yang isinya puluhan bapak-bapak dan anak muda. Mereka mandi sambil mengobrol yang gak etis, ya kan Zein?"

Destiny : The Third Daughter (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang