part 34

70 11 0
                                    

Bang Sandy sepenuhnya tahu tentang bagaimana nasib putri ketiga setelah kuceritakan padanya. Putri ketiga benar-benar ingin hidup, dia ingin punya banyak teman dan menghabiskan waktu bersama mereka. Rasanya akan menyakitkan jika mendengar ada seseorang yang mengakhiri hidupnya. Memang betul jika Tuhan menciptakan kehidupan dengan latar belakang yang berbeda-beda. Tapi pikirkan kembali, Tuhan juga tak memberikan cobaan bertubi-tubi jika bukan untuk sebuah penantian yang manis. Tuhan menciptakan kita, maka libatkanlah Ia dalam setiap rencana kehidupan.

Kami sama-sama merenung di atas batu. Bang Sandy tampak bersedih sekali. Aku jadi berpikir apa aku sudah menjalani hidup dengan benar. Setelah dipikir-pikir ternyata aku memiliki segala yang diinginkan putri ketiga. Tubuhku bugar, temanku banyak, dan orang tuaku lengkap. Setiap saat aku merasa senang, kadang bersedih tapi itu tak berlangsung lama. Aku adalah remaja yang normal, itu adalah salah satu hal yang diinginkan beberapa orang tak beruntung, seperti putri ketiga.

Sudah cukup berbagi cerita, kesempatan berbaur dengan alam tak boleh dilewatkan begitu saja. Jarang sekali ada tempat begini di daerah kota yang setiap menyusuri sudutnya pasti ditemukan bangunan tinggi. Tapi aku rindu, rindu akan masa depan.

Zein dan Tania memisah untuk bermain air. Kive juga tampak berani mendekati Bang Sandy berusaha untuk menyemangatinya. Di batu sebelahku, Rakai berbaring di atas batu mengamati lekat-lekat langit biru. Aku merogoh sesuatu di saku celanaku.

"Kai, ini jam mahalmu."

Dipancing seperti itu, Rakai langsung bangun.

"Betulan jamku? Jam yang sebelumnya ditukar dengan daging murahan itu?"

"Bukan murahan, jammu yang kemahalan."

"Kok bisa diambil lagi?"

Tempo hari Ranu mengejutkanku jika ia menemukan daun semanggi yang dicari-cari. Berkelopak empat, tapi itu sudah tak berguna karena kolektor itu sekarang sudah jatuh miskin. Tapi Ranu pandai, dia seakan tahu jika itu menjadi berguna kalau diberikan padaku. Di saat yang lain melepas rindu dengan warga lain di rumah Suwiryo, aku bergegas menemui kolektor sinting. Seperti yang diketahui jika kolektor gila akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang menjadi obsesinya. Aku menukar daun itu untuk menebus jam milik Rakai. Yah, aku tahu tak seharusnya jam seharga sembilan juta ditukar dengan daging seratus ribu. Dilihat dari sisi manapun, itu tak seimbang.

"Maafin aku, kudengar jam itu pemberian dari Papamu."

"Harusnya dari tadi minta maafnya. Gak apa deh, padahal Papaku bisa membeli yang baru lagi kalau mau."

"Papamu kerja apa sih? Jadi DPR ya?"

"Bukan, dia seorang diplomat."

"Aneh, bukannya Papamu lulusan teknik?"

"Itulah kadang-kadang cita-cita tak sejalan dengan realita. Itu juga yang menjadi alasanku tak punya cita-cita, nanti kalau tak sejalan, bagaimana?"

"Itu sih kalau orangnya gak mau berusaha."

Aku berdecak. Teman-temanku punya sisi tak warasnya tersendiri. Termasuk aku, sudah tahu air yang mengalir bertambah deras, tapi aku melompati batu demi batu untuk bermain. Tak tahu saja kalau ada satu batu yang ternyata licin, sialnya aku adalah anak kota yang tak terbiasa dengan ini. Tergelincir adalah hal yang mutlak, ditambah aku heran mengapa air mengalir begitu deras. Sial lagi, aku bukanlah Tania yang setiap minggu berlatih berenang. Terakhir kali aku mencoba renang gaya batu untuk penilaian pendidikan jasmani, itu gaya andalanku.

Aku kalah, terbawa arus adalah wajar untuk orang sepertiku. Aku berteriak meminta tolong, tentu itu didengar oleh setiap orang yang berada di sana.

Destiny : The Third Daughter (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang