part 27

54 12 0
                                    

Aku bercerita pada Kive dan Tania tentang pertemuan dengan pangeran pertama yang berlangsung singkat itu dengan disertai caci maki. Tak lupa juga kuceritakan tentang orang dengan pengikat kepala merah saga. Tentunya mereka tak akan melupakan apa yang dikatakan Naga tempo hari tentang pengakuan Bang Sandy dari dalam penjara.

Aku belum berani memastikan, aku berniat memberi tahu ini pada Kakek Buyut besok hari. Kebenaran dan keadilan akan tersibak sebentar lagi.

"Huh, akan lebih mudah jika Bang Sandy sendiri yang memberi tahu apa yang faktanya terjadi. Kenapa dia mau repot-repot dipenjara," ungkap Tania

"Dibanding itu semua, tidakkah kalian penasaran bagaimana wajah Bang Sandy itu? Kita bahkan belum pernah bertemu, dia harus mentraktir jika kita sudah terbebas dari sini."

"Dia itu kan mahasiswa, barangkali dia adalah mahasiswa yang keren dan tampan apalagi jika kita melihatnya memakai jas almetnya."

"Aku tak begitu yakin, kalau dia mahasiswa semester akhir harusnya dia tak semempesona itu. Coba bayangkan saja dia memiliki rambut yang gondrong dan kumis yang tak simetris, itu lumrah terjadi pada mahasiswa semester akhir."

"Ah, kata siapa. Yang kutahu semua mahasiswa laki-laki terlihat kece dan mempesona."

"Dimana kamu lihat semua mahasiswa itu, Tan?"

"Di Instagram."

Kive mendecih,

"Instagram bahkan punya berbagai filter yang bisa membuat hidung tampak mancung dan jerawat hilang, kamu jangan mudah tertipu."

Aku tak mengerti lagi tentang mereka berdua, padahal aku sedang serius membicarakan orang dengan pengikat kepala merah saga itu. Dia tampak dekat dengan pangeran pertama. Siapapun itu, aku akan tahu jawabannya.

Sementara itu, di bilik kamar kami ini (seharusnya ada empat orang penari yang tidur dalam satu kamar, satu penari di kamar ini memutuskan untuk pindah karena tak mau satu kamar dengan orang yang dianggapnya perusak wibawa seorang penari) kami lebih leluasa melakukan sesuatu dengan tak mendapat delikan tajam dari perempuan-perempuan berwajah lancip.

Suara alunan musik terdengar dari dalam wadah. Aneh, ponsel ini tak menunaikan fungsi aslinya sebagai alat komunikasi. Tapi untuk menghibur diri sangat berfungsi.

"Kecilkan volumenya, Kive. Nanti yang lain dengar bagaimana?"

"Biar mereka kebingungan. Yang penting malam ini kita pesta."

Alunan musik pop semakin terdengar keras memecah bilik kamar. Berterima kasih pada Ranu yang telah membawakan ponsel ini bersama kami. Kami bukanlah penari yang tampil untuk merayakan festival panen, kami lebih cocok menari ditemani lagu pop seperti ini. Rasa stres hilang begitu saja, tak terasa kalau kami ada di zaman antah berantah.

"Aku sangat suka lagi ini, Kiv Tapi aku lupa judul dan nama penyanyinya, bisa beritahu aku?"

"Aku juga lupa, apapun itu lagunya cocok untuk teman berjoget."

Lebih dari lima menit musik itu masih menggaung di bilik kamar, aku juga tak bisa tak menggeleng-gelengkan kepala mendengar lagu  bergaung memecah ruangan.

***

Sudah lumayan lama aku berada di posisi dengan tubuh kaku begini. Kasur yang aku tiduri beraroma mawar nan harum sedikit membuat aku tenang. Ketika membuka mata, betapa terkejutnya aku mendapati aku sedang berada di alam terbuka yang luas. Warna-warni bunga terlihat sepanjang mata memandang. Merah, kuning, hijau di bawah langit yang biru. Bunga-bunga cantik itu dikerumuni kupu-kupu yang sama menakjubkannya. Sebuah tamankah? Tapi tak ada seorangpun di sini selain perempuan dengan untaian rambut panjang sedang mengajak kupu-kupu itu bermain. Dia bertelanjang kaki, melihatnya tak kesakitan, aku berasumsi jika rumput-rumput yang diinjaknya amat lembut.

Destiny : The Third Daughter (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang