Yeonjun dan Dahyun duduk bersandingan, mereka tidak bicara. Kedua bibir seakan terkatup rapat, kepala mereka penuh dengan berbagai kemungkinan.
Keluarga Dahyun memutuskan mengakhiri pesta lebih cepat, menggiring tamunya keluar dan menahan Yeonjun dan Dahyun di ruang keluarga.
"Mati aku," gumam Yeonjun, tak dapat menghentikan kakinya untuk menghentak. Tangan Dahyun bergerak ke pahanya, menahan pergerakan kakinya.
"Biar aku yang urus."
Orang tua Dahyun serta Ryewon dan kekasihnya datang ke ruang tamu setelah mengucap perpisahan kepada para tamu. Langkah kaki mereka membuat Yeonjun kembali menggerakan kakinya.
"Saya sudah mengkonfirmasi ke keluarga Shin secara langsung," ayah Dahyun bicara langsung ke intinya, "Choi Yeonjun, itu nama aslimu?"
"Iya," jawab Yeonjun.
"Saya masih tidak mengerti mengapa kamu berpura-pura jadi bagian keluarga Shin—"
"—ini salahku Ayah," kata Dahyun
"—apa kamu menipu anakku?"
"Tidak, saya tidak ada niatan sedikitpun," elak Yeonjun mantap.
"Tapi kamu tinggal dengan kakakku, makan di rumahnya, apalagi kalau kamu tidak mempergunakan kakakku?" timpal Ryewon, menyudutkan Yeonjun.
"Biar aku jelaskan—"
"Tidak ada yang perlu dijelaskan, Noona."
"Bisakah kamu berhenti memotong ucapanku?" Dahyun bangkit dari tempatnya, "dia adalah temanku dan gedung apartementnya kebakaran beberapa bulan yang lalu. Dia tidak punya apa-apa lagi."
"Tentu saja," ibunya ikut pembicaraan, mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Dia menuliskan sesuatu di atas lembaran kertas cek, "ibunya yang hanya mantan pelacur dan ayahnya seorang buruh. Dia tidak mungkin punya apa-apa. Terima lah dan jangan ganggu anakku lagi."
"Ibu!" Bentak Dahyun, dia menggenggam tangan Yeonjun dan menepis cek yang diserahkan ibunya.
Yeonjun merasa sangat kecil dan tidak berdaya. Namun amarah menguasainya. Dia melepaskan tangannya dari genggaman Dahyun, "Tentu enak bukan merendahkan orang lain? Terima kasih sudah membuatku sadar betapa angkuhnya kalian."
Amarah ikut menyulut Dahyun melihat punggung Yeonjun menjauh. "PUAS KALIAN!?" bentak Dahyun sekencang mungkin.
Tenggorokannya sakit, tapi tidak sesakit dengan luka yang akobat ucapan ibunya di hati Yeonjun.
"Dia hanya akan menjadi beban," kata ibu Dahyun, melipat kedua tangan di dadanya, menghakimi Dahyun lewat tatapan, "lagipula kenapa kamu berbohong? Kamu bisa bilang kamu tidak punya kekasih daripada membawa dia."
"Baru sekarang Ibu bicara seperti itu! Apakah ibu tidak tahu seberapa berharapnya aku menanti Ibu untuk menanyakan kabar puterinya, tapi Ibu malah menceramahiku tentang pasangan!"
Ibu Dahyun terperangah lalu tertawa mengejek, "Astaga, sayang. Lihat gadis ini menyalak seperti anjing."
Dahyun beralih kepada ayahnya yang sedari tadi hanya menatap halaman rumah mereka dalam diam.
"Ayah bicaralah," ucap Dahyun lemah, merasa hanya ayahnya lah yang bisa menolongnya.
"Lebih baik kamu singkirkan saja temanmu. Dia tidak berguna."
—
Semua kejadian itu berlalu terlalu cepat. Keangkuhan keluarganya seakan mendarah daging, dia merasa paling waras di antara orang-orang yang gila atas nama baik.Pandangannya kabur, air mata menetes di pipi pucatnya. Semua rasa yang tertumpuk akhirnya tumpah juga, dia tak lagi kuasa menahan tekanan.
Cepat-cepat dia menghapus air matanya melihat Yeonjun berjalan mondar-mandir di depan rumahnya. Langkah Yeonjun sangat pelan. Dengan kepala tertunduk, dia memerhatikan sepatunya yang menendang kerikil-kerikil kecil.
Yeonjun berhenti, sadar akan kehadiran Dahyun. Dia tidak tersenyum, hanya menatap datar Dahyun yang ingin berlari menghambur kearahnya dan menerima pelukan yang biasa didapatkan ketika sedih.
"Maaf."
Dahyun akhirnya berucap, setelah mereka hanya berdiri berhadapan dalam diam. Satu kata yang ia harap dapat membungkus kembali hati Yeonjun yang sudah tertikam bekali-kali.
"Aku tidak pernah dipermalukan seperti itu sebelumnya," Dahyun mengigit bibirnya begitu mendengar ucapan Yeonjun yang langsung ke inti, "ini pengalaman baru. Terima kasih."
"Yeonjun," bibir Dahyun hanya sanggup memanggil namanya dengan pelan.
Mata bulat Yeonjun mulai basah, tergenang air mata. Beberapa kali dia membuka mulutnya, berusaha mencari kata yang tepat. Tapi air matanya malah tumpah, "Aku sadar ibuku memang melakukan sesuatu yang buruk dulu, tapi dia tetap ibu aku! Dia bukan lagi pelacur seperti yang dikatakan keluargamu itu."
"Aku minta maaf," gumam Dahyun lagi, mencerca keluarganya di dalam hati.
"Apa kamu risih denganku selama ini?" pertanyaan itu langsung ditanggapi dengan gelengan cepat oleh Dahyun, "sudah nyaris setahun aku menumpang, tentu saja kamu risih."
Suara tawa parau dan tak tulus Yeonjun terdengar. Dia mengusap air matanya dengan kasar.
"Aku akan pindah—"
"Yeonjun! Tidak! Dengarkan aku—"
"Kamu yang dengarkan aku!" bentakan serta jari telunjuk yang terarah kepada Dahyun, membuatnya bungkam. Dia tidak ingin kehilangan satu-satunya sahabat yang memahaminya dan menerima dia apa adanya. Ketakutan besar itu terasa makin nyata.
"Aku akan pindah ke rumah bibiku. Itu keputusan terakhirku dan kamu tidak bakal bisa mengubah pikiranku. Kamu tuliskan semua pengeluaran selama aku tinggal di tempatmu, aku bayar," Yeonjun melepas jasnya dan menyerahkannya kepada Dahyun yang tak berkutik, "senang bisa dekat denganmu."
Dan dia pergi, meruntuhkan jembatan yang menghubungkan mereka berdua.
Dahyun kini berdiri sendiri, ditengah kekacauan hatinya.
Dia kembali sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐰𝐢𝐧𝐞 | 𝐛𝐚𝐧𝐠𝐭𝐰𝐢𝐜𝐞 ✔️
FanfictionKumpulan short stories yang sayang buat dibuang dan dianggurin jadi draft. (Cast : BTS, Twice, TXT)