Partner Bisnis

84 10 0
                                    

Cast : Momo//Jimin
Bakery au, business duo
Words : 970
Written by : Hiraethskies

Harum roti menyerbak di dapur dan merangkak keluar menuju ruangan luas dengan susunan meja dan bangku yang ditata sedemikian rupa. Bahkan harum itu berhasil keluar dari toko dan menyebarkan aromanya.

Beberapa pejalan kaki melambatkan langkah, menoleh mencari sumber aroma itu. Seketika perut mereka bergerumuh membayangkan lembutnya roti hangat menyapu lidah mereka. Sayangnya mereka hanya mengecewakan diri sendiri. Toko itu masih tutup; masih dalam proses akhir penyelesaian sebelum buka. Mereka pun hanya bisa menoleh dan meneliti keadaan toko sebelum melanjutkan perjalanan.

Pemilik toko roti itu adalah dua orang yang bertemu secara online, Jimin dan Momo. Awalnya Momo sering membuat komentar dalam laman sosial media Jimin yang kebanyakan isinya adalah foto roti buatannya (tentu saja, karena dia seorang pemanggang roti). Jimin selalu tersanjung dengan komentar Momo dan memutuskan untuk mengetuk kontak Momo untuk berterima kasih.

Percakapan sederhana itu perlahan berkembang menjadi sebuah ide besar. Membangun  toko roti. Jimin yang menjadi penanggung jawab bagian dapur dan Momo yang menanamkan modal serta menghandle banyak hal lainnya seperti; perizinan, keuangan, sampai masalah perpajakan.

Momo memang memiliki keluarga dengan kekayaan berlebih. Dia juga  menjadi pengusaha di berbagai bidang lainnya; mulai dari franchise rumah makan sampai bisnis perhotelan. Dari kecil dia sudah diasah untuk bisa menghasilkan uang dengan jerih payahnya sendiri.

Berbeda dengan Momo, Jimin tinggal di Jerman untuk menempuh karir profesionalnya sebagai pemanggang roti. Dia juga dari keluarga yang berkecukupan namun tidak sekaya keluarga Momo. Jimin harus bekerja sampingan di Jerman untuk menambah uang jajan.

Begitu tawaran Momo datang, Jimin merasa itu takdir yang diciptakan Tuhan untuknya. Dia ingin menjadi pemanggang yang bisa membagi kebahagiaan kepada orang lain, bukan pemanggang yang membuat roti cantik dengan bahan-bahan yang supermewah dan disuguhkan kepada golongan yang memang bisa membeli seonggok roti tersebut.

Keputusannya sudah bulat. Dia meninggalkan studi yang sudah dijalaninya dua tahun di Jerman dan kembali ke kampung halaman —Korea— untuk bergabung dengan bisnis Momo.

Jimin mendudukan diri di ujung meja panjang alumunium yang ditempatkan di tengah dapur. Apron yang kotor dengan tepung sudah dilepasnya, meninggalkan kemeja putih dengan lengan yang dilipat sampai siku. Pandangannya lurus kepada pemangang di hadapannya, memperhatikan perubahan adonannya menjadi bentuk roti yang sempurna.

Rambut cokelatnya terjuntai ke depan saat dia menunduk memastikan rotinya. Bunyi bel kecil terdengar, menyatakan waktu pemanggangan berakhir.

Dengan cekatan dia mengeluarkan pan tray dari dalam pemanggang. Dia sudah melakukan ini ribuan kali mungkin. Gerakannya cepat namun tetap berhati-hati, ia menaruh pan tray itu di atas meja.

Dua roti dengan bentuk menguncir berada di atas pan tray. Warna cokelat keemasan menandakan tingkat kematangan yang sempurna. Kue itu menggembung seakan jika tanganmu menekan permukaannya, dia akan membentuk lubang kecil sebelum bergerak kembali ke posisi semula. Aroma adonan yang khas membuat mulut siapapun basah, seakan bisa merasakan roti di mulut mereka.

Jimin tersenyum puas. Bentuk yang dipikirkannya semalam bisa dia realisasikan dengan sempurna. Bukan Jimin namanya kalau dia tidak bisa melakukan itu. Meski baru dua tahun belajar di Jerman namun dia sudah memiliki ilmu dasar dari ibunya. Istilahnya memang dia sudah memiliki bakat bawaan.

Semalam memang Momo mengirimkannya pesan; meminta dia untuk membuat menu baru lagi. Momo mau sesuatu yang unik. Dan inilah yang Jimin berikan Kue berbentuk kepangan dengan taburan perseley di atasnya. Gurih dan hangat.

Begitulah sistem kerja pembangunan bisnis toko roti itu. Momo memberikan ide tentang menu dan Jimin mengeksekusinya dengan sempurna. Pembukaan resmi sudah di depan mata, mereka harus bergegas memastikan semuanya sudah sempurna.

Jimin mengambil kain dan mengangkat pan tray si kedua sisi. Panas tentu saja menjalar ke permukaan jemarinya. Jimin sudah terlampau biasa. Bahkan panas itu tidak memberikan arti apapun.

Dia melangkah cepat menuju luar dapur menuju Momo yang tengah duduk di atas meja kasir. Semenjak datang, Momo sangat fokus dengan laptopnya, merombak desain menu yang mereka anggap kurang pas.

Suara temu antara pan tray dan permukaan meja marmer membuat Momo menoleh ke sumber suara. Manik matanya melebar, senyum lebar lantas tampak di bibirnya.

"Bagaimana?" tanya Jimin memastikan. Kedua tangannya menopang tubuh Jimin  dengan ditaruh di atas meja.

Momo terlihat menelan ludahnya ludahnya, "Ini terlihat menggiurkan. Aku tidak pernah meragukanmu, Park Jimin."

Senyuman Jimin melebar begitu mendengar pujian Momo.

"Boleh aku mencobanya?" tanya Momo.

"Awas masih panas," Jimin mengedarkan pandang, mencari kotak tissu yang ternyata ada di belakangnya. Dia menempatkannya di sebelah Momo.

Inilah momen yang paling Jimin tunggu. Gigitan pertama Momo dan reaksinya. Seperti sebuah pemicu, reaksi Momo selalu membuatnya ingin terus membuat roti. Ingin terus melihat senyum puas Momo dan pujiannya.

Momo langsung memasukkannya ke dalam mulut. Uap panas cepat menyebar dalam mulutnya dan dia lantas mengeluarkannya lagi dari mulut. Dia terkekeh pelan, "Masih panas."

"Hati-hati," Jimin memperingati lagi.

Tiupan kecil diberikan Momo, memastikan kue itu berkurang suhunya. Ketika ia rasa sudah bisa mentolelir panasnya, Momo menggigit dengan mantap. Alisnya terangkat begitu dia mengunyahnya.

Kunyahan yang lamban pun akhirnya berubah dengan cepat. Tak hanya alis, matanya pun ikut membulat. "Wah, ini lezat sekali. Benar-benar lezat."

Pujian sederhana itu berhasil membuat Jimin bersorak riang dalam hati. Jimin tidak menyembunyikan rasa senangnya.

"Aku bisa memasukkannya dalam menu sekarang juga," kata Momo semangat, "ini sungguh lezat. Bisa jadi menu utama juga. Apa kamu punya ide lainnya? Biar sekalian kutambahkan ke dalam menu"

Jimin menyeringai. Dia punya ratusan ide. Dan dia akan merealisasikan semuanya jika itu yang Momo mau. Jika itu akan membuat Momo tersenyum dan memujinya. Itu sudah cukup bagi Jimin untuk memvalidasi keahliannya .

"Aku akan kembali," kata Jimin, bergegas kembali ke dapur.

Ia memakai apron kotornya kembali. Mengeluarkan semua perlatan dan bahan-bahan yang sudah dia tempatkan di laci asalnya. Jimin menuangkan berbagai bahan dalam komposisi yang pas.

Bayangan Momo tersenyum dan memujinya lagi-lagi merasukinya. Dia seperti diberi mantra dan kehilagan akal.

Jimin menghentikan kegiatannya memecahkan telur. Dia tersadar. Apa yang dilakukannya saat ini hanyalah demi ulasan senyum yang tulus milik Momo.

Jimin melenguh pelan. Tidak seharusnya dia begini.

"Kenapa kamu seperti ini hm?" Jimin berdialog sendiri, "kamu sama dia hanya partner bisnis. Jangan berpikir aneh-aneh, Jimin. Lakukan saja pekerjaanmu."

𝐰𝐢𝐧𝐞 | 𝐛𝐚𝐧𝐠𝐭𝐰𝐢𝐜𝐞 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang